Kami hanya punya sehelai seragam berwarna biru yang dipakai sehari dalam seminggu. Di hari lain, kami bebas belajar dan bermain dengan pakaian harian. Hanya ada satu arena permainan, yang dipakai bergantian. Itupun hanya ayunan dari ban bekas, di rumah Bu Guru bukan di sekolah. Jadi, kami harus keluar dari area sekolah, pingsut untuk menentukan siapa yang duluan mendorong dan siapa yang menumpang, untuk bergantian memanfaatkan fasilitas di rumah pribadi Bu Kus, guru kelas kami.
Di sekolah, juga nyaris tak ada penjual jajanan. Bukan karena dilarang. Melainkan kami,para siswa, memang jarang berbekal uang. Saat haus, kami menuju rumah Mbah Tinah, dukun pijat bayi, yang menyediakan kendi di amben ruang tamunya yang sangat sederhana. Gratis. Bahkan, saat rumah kosong, pintu rumah Mbah Tinah, yang berada tepat di sebelah ruang kelas, tetap dibiarkan terbuka agar kami tetap leluasa meminum air dari kendinya. Tidak ada embel-embel 'rumah kejujuran', namun kami secara otomatis tidak pernah punya pikiran untuk mengambil barang saat tak ada orang.
Ada sehari dalam seminggu, yang selalu kami tunggu-tunggu. Setelah pemeriksaan kuku, kami akan menerima seplastik kecil bubur kacang hijau atau susu. Sejujurnya saya tidak yakin, uang sekolah kami yang terbatas bisa mengganti biaya susu dan membayar gaji guru. Di antara TK-TK yang lain, TK ini memang yang termurah dan nyaris tidak laku.
Memang, saya hanya bisa mengingat gambar rintik hujan yang memenuhi halaman buku, saat Bu Kus mengajarkan dasar menuliskan angka '1'. Juga mengingat tanda silang, yang disambung menjadi gambar ikan.
Namun, di sekolah yang seperti itulah, saya bertemu dengan orang-orang tulus yang tidak pernah merasa berkorban. Betapa beruntung, dibentuk oleh guru dan lingkungan yang asah, asih, dan asuh. Sekolah yang beralas tanah, dengan dinding papan yang jarang-jarang, yang tidak menyediakan mainan, namun begitu membekas sampai sekarang. Sekolah yang membuat saya merasa, bahwa fasilitas dan kemewahan tidak selalu menjadi jaminan bagi kualitas pendidikan.