Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Senyum Senja Part 1

22 Mei 2013   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:12 311 0

Sepasang kaki berbalut sepatu skete putihmelangkah semangat mengikuti alaunan misik pop menuju kampus. Pemilik sepatu itu langsung duduk di kursi tepat di depan meja dosen dan sampai selesai kuliah.

Sebenernya, masih pengen mendapat pelajaran lebih lama sih … tapi jam sudah menujuk jam dua dan nggak mungkin gue belajar terus sampai besok! Langsung pamit kepada teman-temanya” Assalamuallaikum! Semuanya saya pulang dulu!”

Cowok itu memasang headpone di kepalanya, kemudian meraih buku karya Harimurti yang tadi dibacanya ketika lagu-lagunya diputar tanpa dimasukan kedalam tas. Dia begitu asyik sendiri sampai tidak memperhatikan cewek yang lewat di depanya dan menghapirinya.

“Zha, gimana belajarnya?” tanya Nurul.“Bikin jam belajarku jadi bener,” sahut Rheza sambil terus mengotak-atik ponselnya.“Bagus, kalo gitu. Tapi, gua kangen baca post baru di blog lo yang ditulis pagi buta. Biasanya pikiran lo waktu insomnia suka ngaco!” sambil cengegesan Nurul menggodanya.

“Lo sih, emang paling suka kalo tiba-tiba gue curhat colongan pas lagi galau tengah malem!” Rheza sambil ketawa gokil dari wajahnya yang manis.

Nurul geleng-geleng kepalanya sambil berdecak, “ Suka amat lo ama lagunya Alter Bridge.?”

Will they open their eyes And realize we are oneon and on we stand alone, nyanyi Alter Bridge, Open Your Eyes”! Rheza sambil menjulurkan lidahnya ke arah Nurul.

“Iya, deh, iyaaa,” sahut Nurul sekenanya. “Dan nggak ada juga yang bisa ngalangin Ibu Erika buat ketemu lo hari ini.”

“Demi apa, lo?” Rheza langsung berpaling menatap cewek yang dua tahun usianya lebih muda darinya itu.

Nurul mengangguk dan mengiyakan. “Lo dipanggil sama Ibu Erika di ruangannya.”

Rheza menatap Nurul dengan penuh tanda tanya.

“Sekarang,” tegas Nurul. “Kalo nggak disuruh Ibu Erika manggilin lo, gue nggak akan keluar dari ruangan. Banyak yang harus aku kerjain.”

“Tau deeeh, Asisten dosen paling rajin se-bandung!” canda Rheza seraya berdiri dan menyandang tas gendongnya.

“Gue gitu lho!” dengan gaya angkuh yang kocak tapi cantik wajahnya, Nurul mengangkat kerah seragam Almamater Universitas yang dipakainya.

Najong” tukas Rheza, kemudian merangkul pundak Nurul dan berjalan bersamanya menuju pintu ruangan Ibu Erika “Ada apa, nih, Ibu Erika manggil gue? Bakal naikin nilai gue, kali, ya?”

“Mungkin. Bagus, tuh! Siapa tau gaji gue juga naik,” timpal Nurul yang balas merangkul pinggang Rheza sahabatnya.

“ Lebih bagus lagi kalo gue dapet kerjaan baru! Jadi asisten dosen juga!” Rheza ngakak sambil memandang wajah Nurul dari samping lalu berlari mendahuluinya menuju ruangan Ibu Erika.

“Heh! Enak aja mau ngambil kerjaan gue! Langkahin dulu mayat gue! Sial! Pakai ngelus-ngelus pipi geu segala, lagi!” Seru Nurul sambil mengusap-usap pipinya yang jadi sasran tangan jail Rheza.

…………………..

Ibu Erika adalah dosen paling gaul yang pernah Rheza kenal. Usinya sudah 40 tahun tapi wajahnya masih kencang dan cantik. Tubuhnya langsing, aktif dan punya inovasi dalam mengurus mahasiswanya. Dia menjabat sebagai Wakil Kemahasiswaan FBS, sekaligus istri dari Harianto Marianto pemilik radio anak muda paling popular di Jakarta. Sudah dua tahun Rheza mengenalnya, sejak kampus ini menerimanya sebagai mahasiswa.

“Fina apa kabar, Ibu? Betah, nggak dia di Jakarta?” tanya Rheza yang kini duduk di salah satu dari dua kursi putar yang keliatan mahal harganya di ruangan Ibu Erika itu.

“Sampai kapan kamu nanyain anak saya terus?” sahut Ibu Erika dengan gaya juteknya yang khas.

Rheza cengengesan “Namanya juga usaha , Ibu … “ Candanya.

“Bersaing saja dengan cowok-cowok lain yang juga mau jadi suami pewaris semua perusahaan,” Kata Ibu Erika santai.

“Aku tau itu berat, Ibu. Lebih baik saya mencari putri yang lain aja,” timpal Rheza berlebihan, pura-pura sedih. Karena hubungan mereka sudah akrab. Rheza adalah mahsiswa yang sering berurusan dengan Ibu Erika bahkan mendapat bimbingan istimewa darinya. Rheza yang tidak canggung dengan Ibu Erika yang sebenernya humoris.

‘Ya, ya, ya … Raja Drama. Tidak apa-apa, karena itulah yang sekarang kita butuhkan sekarang. Drama,” sahut Ibu Erika mengantung.

Kampus mau bikin reality show, apa gemanamaksudnya, Ibu?” tanya Rheza.

Ibu Erika mengepalkan kedua tanganya di atas meja dan menatap cowok yang duduk di hadapanya dengan serius.

“Saya akan membuat film untuk di diputar dan dinikmatai pada acara ulang tahun kampus kita yang ke duapuluh tahun ini.” Kata Ibu Erika

“Wow! Keren, Ibu! Filmnya Tentang apa?” ujar Rheza.

“Saya baru menjelaskan ketika kamu menyela barusan, Rheza.” Ibu Erika memicingkan matanya.

Rheza nyengir. “Sori Bu. Ayo, ayo, lanjutkan. Seru nih.”

“Betul. Saya sangat serius soaal film ini. Nggak susah-susah, ceritanya seputar aktivitas dan permasalahan kampus kita ini. Fiksi, tapi harus kampus ini banget” jelas Ibu Erika. “Nah kamu bersedia?”

Rheza melongo. “Bersedia apa, Bu? Kalo dijodohin sama Fina, sih aku setuju-setuju aja.”

“Itu sih, memeng obsesi kamu!” ujar Ibu Erika sambil mengetok pelan kepala Rheza. “Kamu bersedia menulis scenario film ini? Saya tahu kamu suka menulis.”

Rheza jadi lebih terperangah. “Ibuserius?”

“Kapan sih, saya ngak serius?”

“Sering, Ibu Erika.”

“Ya, tapi sekarang saya serius.”

“Kalo gitu gitu aku juga serius.”

“Betul?”

“betul. Siapa juga yang bakal nolak jadi suami Fina ?”

“Kenapa jadi balik lagi ke anak saya? Ini soal film”

Rheza tergelak. “ Sori Ibu. Fina terlalu mempesona buat dilupakan. Oke! Aku bersedia! Dari dulu pengen nyoba nulis sekenario film. Ceritanya aku yang bikin atau Ibu udah punya?”

“Ceritanya dari saya. Baiklah, rheza jadi saya pengen film bercerita tentang ….”

…………………..

Rheza duduk memeluk kedua kakinya, bercumbu dengan matahari senja yang memancar sangat anggun; angun berhembus meniup wajahnya yang lelah. Buat Rheza, tak ada tempat yang paling nyaman selain bediam di puncak bangunan, salah satunya roof tof-nya kampusnya, gedung kampusnya sejak menjadi mahasiswa di lantai 4 gedung itu. Ini adalah tempat favorit Rheza. Dia takan pernah melewatkan matahari apalagi jika hatinya sedang sedih. Dari headset dipasang di telinganya mengalun lagu sendu Ariel Peterpan band kesukaan Rheza.

Rheza Ramansyah Prasetyo adalah mahasiswamuda di kampus ini. Umurnya baru dua puluh satu tahun. Kuliahnyamenganjak semester empat dan mestinya dia sedang sibuk-sibuknya dengan mata kuliahnya yang padat. Tetepi, banyaknya kegiatan selain kuliah membuat Rheza tidak punya cukup waktu untuk fokus dan duduk mengerjakanya.

Otak rheza sekarang sibuk; bukan mengerjakan tugas kuliahnya , melainkan mengelola cerita yang tadi di paparkan oleh Ibu Erika. Akan dikembangkan seperti apa, akan menjadi film yang bagaimana. Ini kesempatan besar bagi Rheza.

Senyum Rheza merekah begitu mengingat akan doanya tahun lalu. Film-film keren selalu memukaunya sehingga membentuk sebuah mimpi ingin membuat cerita seperti salah satu dari mereka. Kini tuhan memberikanya kesempatan melalui Ibu Erika, Rheza tidak akan menyia-nyiakanya. Malah semakin yakin, Tuhan mungkin menjawab permohonan umat-Nya pada suatu yang tidak terduga. Kejutan indah memang selalu berarti.

………………

Rheza berlari menuruni tangga rumahnya, kakinya berdera rebut. Karna memakai sepatu sket putih kesayangannya, hampir saja Rheza terjatuh. Jelas saja Rheza panik, tiga puluh menit lagi dia harus sampai di kampus.

Kejadian pagi ini cukup membuat rheza kesal. Memang, dia salah sudah bangun terlambat, tetapi menurut Rheza, Om Hendra tidak akan rugi menolongnya dengan mengantarnya ke kampus.

Setelah turun dari angkot, Rheza masih harus berjalan agak jauh ke kampus kesayanganya karena ada jalanya yang berlawanan arah. Cowok itu melirik jam di tangan kirinya, sudah pukul 08:55. Lima menit lagi saya sudah harus duduk di meja belajar, jika tidak aku akan di damprat Nurul, walaupun mereka sahabat dekat harus tetap profesianal, yang selalu mengingatkan agar kuliahnya disiplin.

Langkah –langkah semakin cepat. Lagu Broken-ya Seether mengalun keras lewat headset iPod yang di pasang di telinganya. Music itu yang selalu membuatnya semangat.

Sudah setengah jalan, harusnya Rheza berlari, tetapi dia menghentikan langkahnya begitu melihat seorang nenek yang duduk di depen Melanium hotel. Sosok nenek itu membuatnya penasaran.

Sudah renta – menurut tebakan Rheza, umurnya sudah kepala tujuh seperti Nini, panggilan untuk nenek dari ibunya. Kulit keriput nenek. Itu gelap karena sering terbakar sinar matahari, kacamata yang dipakainya retak sana-sini, kerudungnya lesuh dan menggunakan kebaya yang sudah lama dan kotor. Di depan nenek itu di gelar plastik; diantara tertera belasan tasbih.

Rheza berdiri dihadapanya, mematikan lagu dari iPond, lalu bertanya, “ Nenek, jualan tasbih ini?”

Si nenek berpaling menatap Rheza dan tersenyum lebar, memperhatikan giginya yang rapi tetapi kusam dimakan usia.

“Iya Jang,” katanya ramah

“Berapa harganya?” tanya Rheza seraya meraih sebuah tasbih berwarna hijau.

“Sepuluh ribu.”

“Saya beli satu.” Langit tersenyum kemudian member si nenek selembar uang sepuluh ribu.

“Alhamdulillah. Terima kasih jang.”

“Nenek baru, ya, jualan disini?” tanya Rheza, merasa belum pernah melihatnya sebelum ini.

“Biasanya keliling, jang. Tapi, sudah tidak kuat berjalan jauh pakai tongkat. Jadi Rusdi menyuruh berjualan disini saja,: jawab nenek itu

Rheza tidak tahu siapa Rusdi yang dimaksud, tetapi dia menyadari kalau disamping nenek itu tergeletak sebuah tongkat kayu yang digunakannya untuk membantunya berjalan.

“Kaki nenek pincang karena tertabrak mobil waktu mencari anak nenek.” Beliau bercerita tanpa diminta.

Rheza sangat ingin mendengar ceritanya lebih lanjut, tetapi ini sudah pukul 09:00

“Nek kapan-kapan saya mau dengar cerita Nenek. Tapi, sekarang saya buru-buru. Saya harus kuliah dulu ya, Nek.” Kata Rheza sopan.

“Iya, Jang. Iya, silahkan.” Senyumnya tulis si nenek mengantar melajutkan perjalanya ke kampusnya.

Entah mengapa, pertemuanya dengan nenek penjual tasbih tadi membuat Rheza senang, senyumnya tidak bisa hilang sepanjang hari itu. Walaupun Nurul terus ngomel karena Rheza baru dating untuk mengikuti pelajaranya jam 09:15.

-------------

Rheza melihat Nita di depan setudio 6, berdiri menunggunya dengan wajah tanpa ekspresi.

“lama. Temen-temen udah masuk duluan,” kata Nita dingin

“Sori … macet.” Rheza cengengesan karena merasa bersalah.

Nita langsung memimpin Rheza ke setudio 6 yang sudah gelap dan menuju ke kursi mereka.

“Weeey! Rheza” sapa Wulan teman kampus yang juga menonton film bersama mereka.

“Hai, Lan!” bisik Rheza, tidak mau menggangu orang lain yang sedang asyik menonton film.

Nita dan rheza sudah bersahabat sejak semester 1, Cuma meraka kuliah berbada fakultas. Nita fakultas Ekonomi dan Rheza Sastra. Karnasering main bareng, Rheza jadi kenal dengan teman-teman Nita. Salah satunya wulan dan ….

“Putri …” Rheza mematung begitu melihat cewek yang duduk disamping kiri Wulan.

Sejak dikenalkan oleh Nita, Rheza langsung menyuakai Putri. Cewek itu cantik, tubuhnya tinggi dan langsing, berkulit putih dengan rambut panjang dan beponi pinggir, dan dia tampak pendiam. Diantara teman-teman Nita, putri paling yang tidak akrab dengan Rheza.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun