Sumber gambar: penulis
Aku suka caramu berbicara denganku
Aku suka caramu menatapku
Aku harap aku bisa membuktikan cintaku padamu
Tapi apa itu berarti aku harus berjalan di atas air?
Ketika kita semakin tua kau akan mengerti
Ketika aku bilang,
“Hidup ini tidak sesederhana dan semudah itu.”
***
Hujan. Terus saja mendatangi kota kecil yang tenang ini. Seakan ingin membuat tempat ini menjadi lebih bernada dari biasanya. Jika ada yang bisa membuat kota ini menjadi penuh dengan suara, hujanlah yang sanggup.
Duduklah aku di sana, di sebuah bangku yang berada di aula taman kota, berlindung dari tetes-tetes hujan. Aku mengarahkan pandanganku ke langit, tetapi bukan melihat awan atau apapun yang ada di sana, aku hanya sekedar… mengarahkan pandanganku ke sana.
Aku menghela napasku. Merasa terbebani dengan apa yang menimpaku. Merasa menjadi keberadaan yang paling tidak beruntung di dunia ini. Merasa dunia telah menjadi musuhku. Aku lelah… dengan semua ini.
Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat kami menjadi sendirian di dunia ini. Setidaknya… itu yang aku rasakan. Hanya berdua, berusaha untuk terus berjuang melawan nasib.
Aku mengalihkan pandanganku ke sebuah surat yang ada di tanganku. Dalam surat ini terdapat harapan dan juga… kesedihan. Surat ini merupakan jawaban atas masalahku, tapi di saat yang bersamaan, menjadi masalah baru bagiku.
Hujan akhirnya berhenti. Namun awan mendung masih berlayar di langit. Merasa sebaiknya aku segera pulang sebelum hujan turun kembali, aku beranjak dari bangku lalu berjalan pulang. Ke tempat dia berada.
Di perjalanan aku terus memikirkan surat yang sekarang ada di saku jaketku ini. Apa aku harus membicarakan surat ini dengannya? Kira-kira apa pendapatnya tentang isi surat ini? Jika aku tahu sesuatu, maka itu adalah kalau aku tidak tahu sama sekali.
Jauh dalam lubuk hatiku sebenarnya aku tahu, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi keadaan kami ini. Tapi satu sisi dihatiku tidak ingin mengakuinya. Tidak ingin menghadapi kenyataan kalau kami harus berpisah.
Aku lebih tua darinya. Aku lelaki sedangkan dia perempuan. Aku yang seharusnya membuat keputusan. Seharusnya aku tegar dan menjadi penopangnya. Tetapi… aku malah…
“Ibu, apa hujan akan turun lagi?” kata seorang anak kecil yang sedang berjalan bersama kedua orang tuanya. Mereka berjalan ke arahku dari arah yang berlawanan.
“Hmm, apa kamu tidak suka hujan?” tanya balik ibunya.
“Iya, aku benci hujan. Kalau hujan turun kita nggak bisa keluar bersama.”
“Tenang saja,” sahut sang ayah. “Toh, hujan tidak akan turun untuk selamanya.”
Mendengar perkataan sang ayah dari keluarga itu, aku menghentikan langkahku. Keluarga itu terus berjalan melewatiku. Perkataan ayah dari anak kecil itu terus terngiang di kepalaku. Seperti bergema di pikiranku.
Hujan tidak akan turun untuk selamanya
Aku reflek tersenyum. Mungkin jawaban yang kucari lebih sederhana dan lebih mudah daripada yang kukira. Aku membulatkan tekadku lalu berjalan penuh semangat menuju rumah.
***
Sesampainya di depan pintu tempatnya, entah karena alasan apa aku sedikit ragu. Yang harus aku lakukan hanya membuka pintu lalu melangkah masuk. Tapi kenyataannya, aku hanya berdiri di sana, tidak melakukan apapun.
Kemudian aku teringat kembali kejadian yang sudah berakhir untuk beberapa waktu yang lalu. Itu adalah dimana aku dan dia bertengkar atas sesuatu. Aku ingat saat itu dia, dengan wajah sedih dan air mata di bola matanya, berkata…
---
“Memangnya kenapa, Kak?! Apa Kakak sebenarnya membenciku?!”
“Apa kau bercanda?! Aku tidak akan mempertimbangkan hal ini kalau aku membencimu!” jawabku waktu itu.
“Bohong! Kakak pasti membenciku!”
“Tidak! Aku suka caramu berbicara denganku! Aku suka caramu menatapku! Aku harap aku bisa membuktikan cintaku padamu! Tapi apa itu berarti aku harus berjalan di atas air?!”
“?!”
“Ketika kita semakin tua kau akan mengerti. Ketika aku bilang kalau hidup ini tidak sesederhana dan semudah itu.”
Dia terdiam mendengarku. Kupikir aku telah membuatnya sedih dengan perkataanku, tapi kemudian… dia tersenyum.
“Kakak… barusan kau bilang…,” ujarnya seraya mengusap air matanya. Ia lalu tersenyum manis dan berkata, “cintaku padamu, ya?”
Waktu itu aku bisa merasakan wajahku memanas karena malu. Untuk membela diriku aku berkata, “Bo-Bodoh! Kau dengar yang kukatakan tadi nggak sih?”
“Hmm? Yang bisa kuingat hanya ucapanmu tentang cintamu padaku,” jawabnya dengan memiringkan sedikit kepalanya dan meletakkan jari telunjuk kanannya di pipi kanannya.
Setelah itu aku terus berusaha untuk membuatnya lupa tentang ucapanku itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk melupakannya. Waktu itu dia senang sekali. Dan gara-gara itu kami sampai lupa kalau sedang bertengkar.
---
Aku tersenyum mengenang kejadian itu. Perasaanku jadi lebih tenang sekarang. Dengan mantap aku membuka pintu rumahku lalu berkata, “Aku pulang!”
“Ah, Kakak,” katanya menyambutku. “Apa Kakak mau minum? Atau mau makan? Atau mau... di-ri-, aduh!?”
Aku mengelus pipinya sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. “Kenapa kau selalu mengatakan itu? Sudah berkali-kali kubilang untuk berhenti mengucapkan kalimat konyol itu.”
“Ehehe,” ujarnya sambil menjulurkan sedikit lidahnya.
“Kau belum makan malam, kan?” tanyaku.
“Belum.”
“Kalau begitu gimana kalau malam ini kita makan di luar?”
“W-Wah?! Sungguh?! Asyik!”
“Ya sudah, siap-siap sana, kita langsung berangkat begitu kau siap.”
“Baiiik!” jawabnya lalu berlari ke kamarnya.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Lalu aku meraih surat yang ada di saku jaketku. Aku tersenyum sebelum akhirnya meremas surat itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Surat yang berisikan tentang tawaran ibuku untuk menjodohkanku Dan ini… adalah keputusan akhirku.