Hermansyah, sudah pagi-pagi benar tiba di kampus. Pukul 7 pagi, ia bersama empat temannya sudah berkumpul di Economart, tempat praktek mata kuliah kewirausahaan FE UNJ. Economart sendiri layaknya toko swalayan, bedanya semua kegiatan perdagangan dilakukan mahasiswa dan berada di dalam kampus.
Kali ini, Herman bertugas menjajakan barang dagangan keliling kampus. Jelang pukul 8, ia bersiap-siap, aneka minuman kemasan dan makanan ringan disusun dalam sebuah keranjang. Agar dikenali sebagai mahasiswa praktek, Herman Cs wajib mengenakan seragam khas Economart, rompi krem yang berkantung banyak.
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Koperasiangkatan 2010 ini memiliki waktu seharian menjajakan dagangan. “Pokoknya asal ada keramaian, ya ditawarkan,” ujar herman.
Seluruh mahasiswa FE UNJ wajib melakukan praktek kewirausahaan seperti Herman. Mata kuliah kewirausahaan sendiri bersifat wajib bagi beberapa program studi di FE UNJ. Selain Economart, FE UNJ juga menyediakan lahan praktek wirausaha lainnya, yakniArtha Aksara.
Menurut Herman, sebelum menjalankan praktek, per kelompok diberikan modal Rp.300.000,-, penggunaanya diserahkan kepada mahasiswa. Karena dituntut nilai tinggi tergantung omset penjualan, dalam praktek wirausaha ini, kebanyakan mahasiswa memilih berdagang keliling di samping membuka dagangan di Economart. “Kalau pendapatan yang didapat tinggi, nilai mata kuliah kewirausahaannya juga tinggi,” papar Herman.
Di UNJ, praktek kewirausahaan serupa juga dijalankan Jurusan IKK, FT UNJ. Praktek mata kuliah kewirausahaan Jurusan IKK hampir mirip dengan pelaksanaan praktek di FE, mahasiswa diberikan modal lantas diharuskan menjajakan barang dagangan.
Di program studi Tata Boga Jurusan IKK, mahasiswa yang sudah terbagi dalam kelompok berisikan enam orang dipercaya untuk menciptakan resep masakan. Keterampilan ini diserahkan kepada mahasiswa tahun ketiga, setelah resep tersedia mereka meraciknya hingga dapat terjual.
“Jurusan awalnya memberi modal sebesar Rp.500.000,- perkelompok yang dijadikan modal awal untuk praktek dalam seminggu,” Ucap Ari fadiati, dosen Program Studi Tata boga. Ari juga mengatakan, tiap kelompok dituntut menangguk untung Rp. 1,5 juta per hari.
Bagi mahasiswa yang enggan berlomba mengejar keuntungan tersebut, Jurusan masih mengizinkan mereka bertugas sebagai pelayan di Beranda Café, Beranda Pastry, Terrace Mart,semuanya adalah tempat praktek wirausaha milik FT UNJ.
Praktek kewirausahaan di FE maupun FT inipun dianggap sejalan dalam menyongsong UNJ sebagai Enterpreneur University. UNJ berorientasi wirausaha ini sendiri sudah berjalan sejak tahun 2003, semasa Sutjipto menjabat rektor, tapi pengembangan kurikulum wirausaha terkesan jalan ditempat, sebagaimana diperlihatkan FE maupun FT.
Namun begitu, UNJ terlihat tak sendiri, pengembangan kurikulum wirausaha di kampus lain pun sama mandegnya, seperti kejadian di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), praktek wirausaha juga dijewantahkan dengan berjualan saja. “Disini (UPI-Red) mahasiswa juga diberi modal untuk berdagang, setelah itu mereka bebas untuk jual apapun dan berkeliling kampus,” ujar Edi Suryadi, Dekan Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB) UPI.
Padahal menurut Hirmana Wargahadibrata, Dosen Teknologi Pendidikan UNJ yang pernah mengikuti Program Global Faculty 2010 Ewing Marion, Kauffman Foundation yang berfokus pada pendidikan kewirausahaan, hakikat wirausaha adalah pendidikan karakter. “Kalau yang berjualan itu sih bukan wirausaha tapi wiraswasta,” lanjutnya.
Makna sejati Enterpreneur kerap terabaikan, di UPI malah lebih melenceng. Mahasiswa yang tidak berkesempatan mengeyam mata kuliah kewirausahaan mesti mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN), berupa pembahasan kewirausahaan secara teori dan praktek berjualan.
Sementara, dalam arti sederhana Enterpreneur adalah seorang yang bisa bersikap dan berpikiran kritis. Ia diharapkan mampu mengoptimalkan seluruh potensi demi kehidupan lebih baik.
Edi Suryadi memang menyadari kekeliruan memahami entrepreneur sehingga implementasi pendidikannya berwatak sempit, jual-menjual saja. Tapi ia tak sepenuhnya menyalahkan pengertian ini. “Secara filosofis memang salah, tetapi secara pragmatis memang harus dilakukan,” katanya.
Di lain sisi, praktek wirausaha yang lebih mengedepankan tujuan pragmati inipun bukan tanpa sebab.Praktek wirausaha yang bisa menghasilkan keuntungan ini ternyata seiring sejalan dengan kebijakan otonomi kampus sebagai buntut dari liberalisasi pendidikan.
Lebih parah lagi tatkala nilai kretivitas serta kepekaan terabaikan, justru pelaksanaan matakuliah wirausaha minim evaluasi. “Kita (UNJ-red) belum melakukan evaaluasi terhadap kurikulum entrepreneur, ”ujar Zainal Rafli, pembantu rektor bidang akademik UNJ.
Hal tersebut juga diakui pihak UPI. “Dalam bidang akademik tidak ada evaluasi secara khusus mengenai kurikulum entrepreneurship,” tambah Tjutju Yuniarsih, kepala Direktorat Akademik UPI.
Skala Nasional
Saat ini, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), hingga Februari 2011, dari 119,4 juta angkatan kerja, 8,12 juta masih menganggur. Dari 8,12 juta, 21,54 persen berasal dari perguruan tinggi. Pemerintah cukup kelimpungan mencarikan solusi pengangguran ini.
Enterpreneur pun hadir seolah membawa angin segar buat pemerintah menangani wajah perekonomian sarat pengangguran ini. “Menyadari tingginya angka pengganguran terdidik maka kita tawarkan program kewirausahaan menjadi program kemahasiswaan,” kata pria yang kini menjabat Wakil Menteri sekaligus Penggagas Program Mahasiswa Wirausaha.
Maka tak heran Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti) sebagai kepanjangan tangan Kemendiknas kepada perguruan tinggi kian getol menjajakan program wirausaha bagi mahasiswa. Salah satunya melalui PKM (Program kreatifitas Mahasiswa) dan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha).
Khusus kali pertama dilaksanakan PMW, Dikti malah berani mengucurkan dana sebanyak 108 milliar. Tiap perguruan tinggi mendapat jatah sampai Rp. 2 Miliar, sedang kampus sekelas politeknik medapat Rp. 500 juta. Rincian penggunaan dana ini, 70% diserahkan langsung sebagai modal kepada mahasiswa, sisanya dikutip untuk biaya pelatihan yang diadakan perguruan tinggi.
Pada 2010, di UNJ terdapat 30 kelompok mahasiswa yang beruntung mendapatkan dana PMW. Tiap kelompok ini terdiri dari 4-8 mahasiswa, serta per kelompok bisa mengantongi modal sampai Rp. 40 Juta.
Apri Sidik, mahasiswa Bimbingan Konseling angkatan 2007 salah satu penerima program PMW mengatakan, untuk lolos tiap kelompok wajib menyerahkan proposal usaha. “Nanti dipresentasikan di depan perwakilan Dikti. Akan dinilai layak atau tidaknya untuk mendapat bantuan,” ujar mahasiswa yang mengajukan pembuatan bisnis pembiakan ikan ini.
Sayangnya, kata Apri, mayoritas mahasiswa yang ikut PMW sebatas termotivasi menangguk modal puluhan juta saja. Buktinya, tak jarang ditemukan kelompok PMW yang tak merealisasikan rencana bisnis atau bisnis yang mereka kelola berjalan amburadul.
“Ada yang lebih parah, uang hasilnya malah digunakan untuk kepentingan pribadi hasilnya usahanya kandas di tengah jalan,” jelas Apri. “Seharusnya ada tim untuk Monitoring dan Evaluasi, tapi hingga sekarang (Juni-red) belum ada monitoring atau evaluasi.”
Di UNJ, pelaksanaan PMW terkesan asal-asalan. Tak ada kata sesal akibat PMW yang gagal, terpenting bagi UNJ banyaknya kelompok mahasiswa yang menikmati dana segar ini. “Yang utama adalah kemampuan mahasiswa membaca peluang,” seloroh Fakhrudin Arbah, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Diterbitkan dalam Majalah DIDAKTIKA Edisi 41 Oktober 2011
rubrik Laporan Utama