Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Hepatitis C, the disease and virus...

7 Juli 2012   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 1283 1

Setelah sekian lama punya account Kompasiana, baru kali ini mencoba utk menulis.. Nama saya Angga dan saya seorang PhD student di Jerman dengan bidang virology sebagai fokus studi.. Kebetulan saya diberikan kesempatan untuk menimba ilmu dan belajar lebih jauh mengenai virus Hepatitis C (HCV) di lab Prof Thomas Pietschmann, orang yang pertama kali mengembangkan cell-culture-able HCV sebagai model studi penyakit hepatitis C (http://www.nature.com/nm/journal/v11/n7/full/nm1268.html).. Jadi sebelum beliau mengembangkan model ini, studi mengenai HCV,  terutama untuk pengembangan langkah pencegahan dan pengobatan, lebih menggunakan surrogate virus (virus yang mirip dengan virus aslinya dan untuk HCV digunakanlah Bovine Viral Diarrhoea Virus (BVDV)) atau system replicon (HCV yang tidak lengkap secara genomic DNA).. Hal ini dikarenakan HCV, walau ia sangat infectious di dalam tubuh, tidak bisa berreplikasi dengan baik di dalam sel kultur. Sedangkan untuk studi pengembangan pencegahan dan pengobatan virus ini, diperlukan suatu model yang lengkap dan benar-benar  mencerminkan sifat dari si virus yang asli.

Sebenarnya apa sih HCV itu? HCV adalah virus jenis positive-strand RNA virus yang menyerang hati (liver) manusia sebagai organ target utama. Virus ini digolongkan menjadi beberapa genotype (genotype 1-7) dan beberapa subtype (1a,1b, 1c, 2a, 2b, 3a, 4a, dst). Sampai saat ini ada sekitar 130-170 juta manusia yang diduga terinfeksi oleh virus ini. 80% dari pasien penderita HCV akan menjadi penderita hepatitis C kronis (menahun) di mana sekitar 10-30%-nya dalam 30 tahun akan memburuk menjadi sirosis hati. Apabila sudah menjadi sirosis, maka kemungkinan untuk menjadi kanker hati (hepatocarcinoma) sangatlah besar. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang sempurna untuk penyakit ini. Pengobatan yang sudah ada pasaran rata-rata masih menggunakan pengobatan yang sudah digunakan sejak lama yaitu terapi dengan interferon dan ribavirin. Terapi ini memiliki durasi yang lama, tidak nyaman digunakan, dan efek samping yang sangat besar, baik ke tubuh atau ke dompet. Harga terapi ini di Indonesia berkisar dari Rp40-150 Juta dengan durasi sekitar 42 minggu. Terapi ini, walau mahal, juga tidak dapat menjamin 100% kesembuhan dan bahkan bisa jadi tidak efektif bergantung dari jenis genotype virus yang menginfeksi (Terapi interferon kurang memberikan respon yang baik terutama untuk virus-virus bergenotype 1 ). Baru - baru ini sudah terdapat obat baru berjenis protease inhibitor (Telaprevir dan Boceprevir) yang sudah disetujui oleh FDA dan dapat digunakan di pasaran. Sayangnya obat-obatan ini hanya bersifat sebagai pelengkap dan peningkat kemungkinan kesembuhan dan tetap harus dikombinasikan dengan terapi interferon sehingga beban biaya yang harus dikeluarkanpun menjadi lebih besar.. Saya sendiri kurang tahu apakah obat baru ini sudah terdapat di Indonesia atau belum.. kalaupun ada, belum tentu semua orang bisa mengakses terapi ini dikarenakan masalah klasik utama: mahal..

Di Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 4 juta penderita HCV (Walau data pastinya saya tidak tahu).. Permasalahan utama dari HCV adalah penyakit ini sejenis dengan penyakit laten, yang sering tanpa gejala selama bertahun-tahun sehingga seseorang tidak sadar bahwa ia telah tertular.. Untuk mendiagnosis, diperlukan uji antibodi yang kadang kurang akurat dan tes virus RNA dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) yang memiliki tingkat akurasi lebih tinggi. Sayangnya biaya tes PCR ini masih amat mahal di Indonesia (Kalau tidak salah sekitar Rp 2 juta). Sehingga hal ini menyebabkan pendataan epidemiology HCV yang akurat di Indonesia masih memiliki hambatan. Diagnosis awal HCV sangat penting dan berpengaruh dengan ketepatan terapi dan tingkat kesembuhan. .

Berbeda dengan Hepatitis B, Hepatitis C lebih ditakuti juga karena belum adanya vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi virus ini. Pengembangan vaksin utk HCV terhambat oleh 2 masalah utama, factor dari si virus itu sendiri dan model studi untuk pengembangan vaksin. HCV merupakan virus yg sangat mudah bermutasi. Ketika HCV menginfeksi sel hati, ia menyuntikkan materi genetiknya yang berupa positive RNA ke dalam sel hati. Materi genetik ini yang serupa dengan normal messenger RNA (mRNA) manusia akan diterjemahkan (translated) dengan mudah menjadi  protein-protein si virus. Salah satu protein yang penting untuk proses replikasi si virus adalah protein NS5B (RNA-dependant RNA-polymerase) yang berfungsi untuk mengopi dan melipat-gandakan materi genetik si virus. Sayangnya NS5B ini memiliki tingkat ketelitian yang rendah sehingga ketika proses pengopian berlangsung, banyak terdapat eror alias mutasi di dalam RNA kopian. Bisa dibayangkan jika di dalam tubuh pasien yang terinfeksi dapat terproduksi sekitar 1 triliun partikel virus di setiap harinya di mana sebagian besar virus sudah mengalami mutasi.  Hal ini yang menyebabkan keberadaan HCV di dalam tubuh manusia bukan sebagai single virus, melainkan berbagai jenis virus yang disebut dengan quasispecies virus. Virus-virus ini mengkodekan protein yang memiliki sedikit perbedaan-perbedaan di tingkatan asam aminonya yang dapat mempengaruhi afinitas dari antibody yang terbentuk dari proses vaksinasi.. Walau pada awalnya antibody-antibody ini sanggup menetralisir sebagian besar virus, akan tetapi virus-virus yang lolos akan terus bermutasi dan beradaptasi. Salah satu faktor lain yang menghambat perkembangan vaksin HCV adalah ketiadaan animal model untuk HCV.. HCV hanya bisa menginfeksi manusia dan primata tingkat atas seperti simpanse.. Penggunaan simpanse sebagai animal model sudah amat terbatas karena masalah etika dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, focus penelitian di bidang HCV akhir-akhir ini salah satunya adalah pengembangan small animal model, seperti mencit, yang notabene mudah dan relatif murah untuk dilakukan studi.. Kenapa HCV tidak dapat menginfeksi mencit? Salah satu alasannya karena sel-sel hati tikus tidak memiliki receptor yang sesuai sehingga HCV dapat berinteraksi dengan permukaan sel hati dan kemudian masuk (menyuntikan materi genetiknya).. Selain itu, kompabilitas genetik dan sistem immune bawaan tikus diduga menghambat replikasi dari si virus.. Walau saat ini, sudah ada mencit chimera (tikus yang dicangkokkan sel hati manusia), sayangnya mencit-mencit ini masih teramat mahal (1000 US$ permencit) dan tidak memiliki sistem imun yang lengkap sehingga tidak ideal untuk digunakan dalam studi pengembangan vaksin.

Untungnya semenjak ditemukan sistem sel kultur untuk studi HCV, pengembangan obat-obatan HCV mengalami percepatan yang luar biasa. Setidaknya, langkah demi langkah sudah bisa dilakukan oleh manusia untuk membuat virus ini tidak lagi menjadi si tak tersembuhkan. Salah satu terobosan terbesar terjadi di tahun 2011 di mana perusahaan obat Pharmasset (yang kemudian diakusisi oleh Gilead dengan angka yang menakjubkan seharga US$ 11 miliar) menemukan kandidat obat PSI/GS-7977 (nucleotide NS5B inhibitor) yang diklaim berhasil lolos uji klinis fase 2 dengan tingkat kesembuhan 100%. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan terapi hepatitis C seluruhnya dengan jalur pemberian obat secara oral (hanya perlu dikombinasikan dengan ribavirin yang juga diberikan secara oral) dan menghilangkan ketidak-nyamanan dan efek samping yang luar biasa dari terapi interferon (interferon diberikan secara injeksi dan mengakibatkan gejala-gejala yang serupa dengan demam akibat flu). Diprediksi obat ini akan diluncurkan ke pasaran sekitar tahun 2015 dan konon katanya akan membuat riset HCV tidak lagi menarik karena sudah bisa disembuhkan.. Hanya saja untuk para penderita hepatitis C di Indonesia, kapan obat ini akan bisa diakses di Indonesia? Entahlah.. harganya juga tentu akan memerlukan kocek yang lebih dalam…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun