Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pak Beye Mengidap Amnesia Sejarah?

1 Desember 2010   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:09 922 4
[caption id="" align="alignleft" width="334" caption="Ilustrasi:matanews.com"][/caption] DULU, saat masih duduk di bangku SD, saya pernah bertanya kepada guru sejarah mengenai Jogjakarta, terkait statusnya sebagai daerah istimewa. Saat itu, saya merasa negara telah melakukan diskriminasi terhadap satuan-satuan pemerintahan daerahnya. Ibarat orang tua, saya menganggap Republik ini telah membeda-bedakan anaknya. Pertanyaan itu muncul, karena pada saat itu saya menganggap Jogjakarta sebagai sebuah daerah tidak berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Akan tetapi mengapa hanya  ia  (dan juga Aceh) yang distimewakan? Oleh guru saya,  saya diberi pengertian bahwa hal tersebut merupakan pelaksanaan amanat konstritusi. Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 18B menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Penjelasan itu tersebut ternyata tidaklah memuaskan saya. Saya malah tambah penasaran ingin mengetahui di mana letak keistimewaan Jogjakarta sehingga mendapatkan predikat tersebut. Rasa penasaran tersebut kini terjawab sudah. Ketika ribut-ribut soal Presiden SBY (Pak Beye) yang menyinggung monarki Jogya, saya mencoba mencari literatur yang berkaitan dengan sejarah Jogya. Saya pun menemukan jawabannya: Republik ini ternyata memberi keistimewaan karena jasa Sultan dan Paku Alam yang sepenuhnya berjuang untuk Republik. Fakta sejarah inilah yang kemudian tidak dilupakan oleh negara. Karenanya, pemerintan pada saat itu merasa perlu untuk menghargainya, dengan menjadikan Provinsi DI Yogyakata, seumur hidup dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur dan Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur. Setelah Sultan IX wafat, kedudukan gubernur diteruskan Paku Alam VIII hingga juga wafat. Itulah salah satu bentuk pengakuan dan penghormatan Republik ini terhadap keistimewaan Yogyakarta. Belum lama ini, Presiden SBY atau Pak Beye  mengeluarkan pendapat yang bikin heboh. Ia menyebutkan sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi. Terus terang pendapat ini membuat banyak orang yang bingung, termasuk saya. Tak percaya rasanya jika ini dikeluarkan oleh seorang kepala negara, terlebih lagi jika menengok latarbelakangnya, seorang militer dengan pangkat jenderal,  lulusan terbaik Akabri pula. Sejatinya, Pak Beye tidak mungkin tidak memahami akan hal itu. Bagi sejumlah pengamat, pendapat ini dianggap telah mempertontonkan betapa Pak Beye tidak memahami sejarah. Tapi menurut saya, ini terlalu berlebihan. Saya yakin Pak Beye memahami benar bila Sultan menjadi gubernur dan Paku Alam menjadi wakil gubernur itu adalah bagian dari bentuk penghormatan negara atas keistimewaan Jogyakarta. Akan tetapi, saya justru melihatnya sebagai bagian dari manuver politik.  Diakui atau tidak pemerintahan Pak Beye sepertinya ingin membonsai peran Sultan di panggung politik. Sebenarnya jika pemerintah memang mau menghormati sejarah, maka tidaklah  perlu repot-repot menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta. Menyempurnakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta, itu saja sudah cukup. Titik! Bukankah undang-undang itu sudah lengkap mengatur DI Yogyakarta kecuali menyangkut penetapan kepala daerah? Dan kalau hanya soal ini,  maka usulan agar dibuatkan saja pasal bahwa Sultan otomatis menjadi gubernur dan Paku Alam wakilnya, itu sudah cukup. Tidak perlu sampai mengobok-obok keistimewaannya, hingga harus mengeluarkan pendapat bahwa ini bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi segala. Karena itu bagi saya,  pendapat yang mengatakan Yogya itu monarki, menunjukkan amnesia sejarah. Atau paling tidak, si empunya pendapat itu pura-pura lupa sejarah.  Adakah Pak Beye mengidap amnesia sejarah? Wallahu a'lam bissawab

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun