[caption id="" align="alignnone" width="604" caption="Andi Achmad bersama Pak Harto (istimewa)"][/caption]
SETIAP kali menyambut acara tujuhbelasan, saya selalu teringat mendiang ayah mertua saya. Beliau salah seorang tokoh pejuang pembela kemerdekaan yang telah memimpin sejumlah pertempuran melawan penjajah. Beliau pernah ditangkap dan ditawan, bahkan divonis mati oleh Belanda. Ia seorang datu (raja) yang di akhir hayatnya justru mengamanahkan dimakamkan bersama teman-teman seperjuangannya, bukan di pemakaman raja-raja. Bagi pejuang di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah bekas Kerajaan Luwu, namanya sudah tidak asing lagi:
Andi Achmad Opu To Addi Luwu. Beliau adalah salah satu tokoh sentral perjuangan kemerdekaan di daerah ini. Perannya sangat penting, termasuk dalam mengintergrasikan Kerajaan Luwu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beliau adalah orang pertama yang mengetahui berita mengenai adanya proklamasi kemerdekaan RI pada 18 Agustus 1945 dari informasi temannya, seorang Jepang yang bernama Sakata. Bersama M Yusuf Arif, beliau pulalah yang memprakarsai pertemuan tokoh pemuda dengan membentuk organisasi semi rahasia bernama Soekarno Muda, yang merupakan cikal-bakal terbentuknya laskar bersenjata, PRI/PKR Luwu. Beliaulah juga yang menyampaikan sekaligus meyakinkan ayahnya,
Sri Paduka Datu Luwu Andi Djemma (Pahlawan Nasional) untuk tidak ragu menyatakan Kerajaan Luwu sebagai bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya merasa beruntung pernah mengenal beliau secara dekat, setelah menikahi salah seorang putrinya. Karena kedekatan itulah, saya tak hanya jadi anak mantu. Lebih dari itu, saya juga berfungsi sebagai sekretaris pribadi beliau. Dari beliaulah saya mendapatkan sejumlah dokumen penting sejarah perjuangan membela kemerdekaan di Tana Luwu, juga memahami arti nasionalisme yang sesungguhnya. Sedikit tentang perjuangannya. Dari dokumen resmi beliau -- yang menjadi acuan pokok penyusunan sejarah perjuangan di bekas wilayah Kerajaan Luwu -- saya mengetahui jika beliau pernah memimpin sejumlah pertempuran di wilayah Luwu (saat itu meliputi sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) melawan Belanda, baik di darat maupun di laut. Dari dokumen itu pula saya mengetahui jika beliau pernah ditangkap dan ditawan Belanda, bahkan kemudian divonis mati di Penjara Cipinang. Tentang vonis mati,
alhamdulillah, beliau tidak jadi dieksekusi lantaran adanya pengakuan kedaulatan Negara RI berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denn Haag. Beliau -- yang mengantongi sejumlah tanda jasa baik satya lencana maupun bintang termasuk "Bintang Gerilya" -- ini pun dibebaskan dari tawanan Belanda, pada 2 Februari 1950. Sedikit tentang beliau setelah bebas dan pulang ke Sulawesi Selatan. Beliau mengabdi menjadi pegawai negeri sipil dengan sejumlah jabatan penting, juga pernah menjadi Bupati Luwu, dan anggota DPRD Sulsel. Sedangkan dalam adat, beliau memangku jabatan Datu Luwu menggantikan Ibu Agung Permaisuri Andi Djemma, Andi Tenripadang Opu Datu yang mangkat Tanggal 31 Juli 1994. Jabatan ini dipegangnya hingga akhir hayatnya. Tentang nasionalisme. Dalam berbagai kesempatan ketika beliau masih hidup, pengagum pikiran-pikiran Bung Karno ini selalu mengingatkan, bahwa besok lusa dia mangkat, dirinya ingin tetap bersama teman-teman seperjuangannya. Beliau sepertinya ingin mengikuti jejak ayahnya, pahlawan nasional Andi Djemma Datu Luwu yang dimakamkan di taman makam pahlawan. Tentang kepergiannya. Andi Achmad yang lahir 23 Agustus 1923 ini mangkat pada 29 September 2002 di Makassar. Sesuai dengan amanahnya, ia pun dibawa ke Palopo. Rakyat menangisi kepergiannya. Di perbatasan Luwu, ribuan masyarakat rela berdiri di sisi jalan sepanjang hampir seratus kilometer memberikan pernghormatan terakhir kepada beliau. Setelah disemayamkan semalam di Istana Datu Luwu, beliau lalu dimakamkan secara adat dan militer. Pemerintah daerah di wilayah Luwu Raya (Kabupaten Luwu, Luwu Utara dan Kota Palopo) kala itu menginstruksikan penaikan bendera setengah tiang selama tiga hari berturut-turut. Sedangkan Dewan Pemangku Adat mengeluarkan maklumat "mabbarata" (berkabung) bagi rakyat Luwu selama 40 hari. Sebagai penghormatan terakhir, mendiang Sri Paduka Datu Luwu Andi Achmad Opu To Addi Luwu pun dianugerahi gelar anumerta "Opu Mpelai ri Lalebbata". Menjelang peringatan kemerdekaan seperti ini, saya selalu mengingat beliau. Semasa hidupnya, sekitar tujuh tahun saya selalu mendampingi beliau menghadiri upacara peringatan detik-detik proklamasi. Meski usianya kala itu sudah renta, tapi setiap menjelang tujuhbelasan semangatnya seperti muda kembali. Kini beliau telah tiada. Beliau sudah pernah diusulkan menjadi menjadi pahlawan nasional. Meski beliau sudah tiada, namun saya selalu mengingat pesannya, antara lain tentang nasionalisme. Beliau mengatakan, "Saya berharap generasi sekarang bisa menanamkan dalam pikiran dan tindakannya sesuatu hal
, yaitu
apa yang seharusnya saya berikan kepada bangsa ini, bukan apa yang seharusnya saya ambil dari bangsa ini . Itulah nasionalisme yang sesungguhnya."
KEMBALI KE ARTIKEL