Seorang kawan menceritakan tentang gaji guru-guru "sukuan" yang kecil. Sebenarnya kami tidak peduli sampai kami tahu bahwa sekolah-sekolah yang mereka perjuangkan adalah sekolah pinggiran di desa-desa pelosok. Desa adalah lambang ketentraman kawan, dan sampai saat aku masih duduk di bangku SD, aku masih berenang di "jomblangan", danau kecil di samping sekolah. Aku tersengat mengetahui bahwa salah seorang kawan kami hanya mendapat gaji "seratus delapan puluh ribu rupiah" atas perjuangannya mengajar anak-anak desa di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTS). Sekolahnya berada di desa yang sebagian anak-anaknya masih kental dengan siraman agama, sehingga sekolah yang ada pun berupa MTS. Kawan ini adalah seorang sarjana teman, dan dia mau mengajar di desa-desa. Lalu aku berpikir, apa yang dia dapat di sekolah kecil yang hampir semua masyarakatnya adalah warga miskin.
Sebuah ironi tentang majas-majas kemanusiaan yang tak ada batasnya. Sebuah prosa nyata tentang paradoks negeri ini. Tidak tahu mengapa aku menjadi bersemangat pada aura kemarahan pada diriku. Tiba-tiba aku sadar bahwa siapa lagi yang mengajar anak-anak itu, kalau bukan mereka (Guru-guru bantu,..), lalu pantaskah mereka mendapat lebih??". Siapa yang memikirkan nasib mereka??" Para raja negeri ini??" Para menteri??" Politikus??" Praktisi pendidikan??" Kita??".
Kebiasaan kita hanya mendengar, lalu mencoba melihat sedikit, kemudian berkomentar tentang apa saja yang dapat diucapkan. Tanpa merubah apapun,....aku sampaikan semuanya dalam batasan orang awam. Aku juga demikian.
,....anak-anak desa berhak sekolah, supaya mereka tahu bahwa puncak "mimpi-mimpi" mereka adalah nyata. Sehingga apapun itu, guru-guru mereka adalah yang terbaik....!!