MASIH teringat romansa cinta istimewa beberapa tahun lalu. Ketika saya memandang genangan basah setinggi lutut yang dibelah para warrior pukul 07.00 pagi Jakarta itu. Banjir adalah sahabat bisu dan nafas kami para peniti jalan protokoler Jakarta. Meski beberapa kali disingkap dan tersisih ke pori-pori jalan, air tetap setia memeluk kembali dengan hangat kaki ini meskipun bulu kaki memberontak teriak tenggelam olehnya.
KEMBALI KE ARTIKEL