Ah, aku memang belum beruntung. Lagi-lagi aku gagal. Sejak gelombang-1 tahun 2011 aku melamar beasiswa ini (dulunya bernama AED) sampai gelombang-3 tahun 2013 ini namun masih gagal. Artinya sudah 3 kali melamar tapi tetap ditolak. Entah kenapa. Aku sempat depresi sejenak saat membaca pengumuman waktu itu. Saat itu aku sedang mengajar kelas Bahasa Inggris level Basic di Pusat Bahasa UNRAM. Aku berikan siswaku tugas yang aku kira-kirakan bisa mereka selesaikan dalam waktu 10 menit. Cukuplah waktuku untuk mendownload link pengumuman tersebut yang di share via facebook melalui HP. Tapi sebelumnya aku sempat membalas SMS temanku dengan bertanya, “Ada nama saya ndak Mbak?” Lalu temanku tersebut hanya menjawab, “Baca sendiri aja ya!”
Membaca balasan SMS itu, aku sempat merasa ragu meneruskan proses downloading pengumuman tersebut. Apakah aku lulus? Atau mungkinkah gagal lagi? Namun demikian, dibalik keraguanku itu ada keyakinan bahwa lamaranku kali ini pasti tembus alias lolos. Betapa tidak, aku sudah benar-benar melototi berkas lamaranku terutama di beberapa pertanyaan essay. Ada sekitar 10 pertanyaan. Terus terang aku sungguh mendalami tiap soal essay tersebut lalu kemudian mengoret-oret jawaban hingga dalam 3 sampai 4 hari baru aku finalkan jawaban fix nya. Selain itu, aku juga sudah mencoba menulis beberapa artikel terkait dengan bidang yang aku ambil (Education Technology) di media online seperti Suara Merdeka, NTB Terkini, dan Lombok Post hanya untuk melengkapi syarat (optional) beasiswa ini. Kemudian aku juga mencoba berkirim email meminta surat rekomendasi kepada Dr. Donna Shaw, salah seorang program coordinator The University of Oregon, US. Intinya, aku sudah do the best lah untuk bisa tembus beasiswa ini.
Nasib berkata lain. Aku ternyata gagal. Ya, aku gagal! Namaku tidak tercantum dalam daftar peserta yang dinyatakan lolos ke interview. Aku membaca hasil download dari link tersebut berulang-ulang mencari-cari namaku. Namun nihil. Namaku tidak ada. Artinya aku telah gagal. Gagal untuk ketiga kalinya. Sedih? Pasti. Kecewa juga iya. Ada sedikit kegelisahan dalam hatiku waktu itu. Bukan kegelisahan, tapi mungkin tepatnya keanehan. Aku merasa ada kejanggalan dengan beasiswa ini. Beberapa syarat utama telah aku penuhi. Bukan bermaksud sombong, IPK dan score TOEFL ku jauh melebihi standar yang disyaratkan (IPK 3.00 dan TOEFL ITP 450). Selain itu, syarat optional (artikel dan sertifikat penghargaan, organisasi, training, dll) aku coba selipkan. Dan yang paling menguras pikiran dan waktu adalah 10 pertanyaan essay seperti yang aku tuliskan diatas sampai menghabiskan 3-4 hari untuk menjawab 1 pertanyaan. Tapi ternyata gagal! Ada apa sebenarnya? Apa ada yang kurang dari berkas yang aku lampirkan? Tidak ada. Apakah melewati deadline pengiriman? Tidak juga. Aku mengirimnya sekitar 2 minggu sebelum deadline, itupun menggunakan jasa pengiriman express 1 hari.
Berbagai macam pertanyaan “aneh” menyelimuti otakku dan berusaha mencari jawaban sendiri waktu itu. Sampai-sampai aku berpikiran apakah jangan-jangan berkasku tidak sampai ke kantor IIEF Jakarta karena tukang kirimnya salah alamat? Atau mungkinkah berkasku jatuh dijalan saat tukang kirim tersebut mengendarai kendaraannya? Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran bodoh menggerogoti otakku waktu itu. Ah, tapi semua itu tak akan mengubah apa-apa. Andai saja aku bisa mengubah kalimat di lembar pengumuman itu yang berbunyi, “keputusan panitia bersifat final dan tidak bisa di ganggu gugat”, menjadi, “maaf, terjadi kesalahan panitia. Akan diadakan seleksi ulang berkas”, atau menjadi, “bagi yang tidak tercantum namanya, mohon mengecek pengumuman lanjutan dihalaman berikutnya”. Huft!
Ini memang bukan pertama kali aku dinyatakan gagal dalam seleksi beasiswa S2. Bahkan ini termasuk yang ke-5 kali gagal setelah melamar sana sini (Prestasi, ADS, Turkiye Scholarship, dan New Zealand). Tapi entah kenapa kali ini aku benar2 merasa depresi. Mungkin karena usaha yang aku lakukan dan waktu yang aku habiskan untuk “menyempurkan” berkas lamaran ini. Ah, sudahlah. Nasi telah menjadi bubur. Aku memang sampai stress tak semangat belajar dan mengajar beberapa hari kemudian. Tapi support dari keluarga dan teman-teman akhirnya bisa membuatku bangkit lagi. Sejak itu aku mulai mencari informasi lebih dalam lagi mengenai beasiswa ini untuk persiapan melamar gelombang berikutnya bulan Oktober. Aku pelajari detail brosur dan websitenya. Aku coba berinteraksi dengan peserta yang lolos tahun-tahun sebelumnya melalui twitter dan facebook.
Setelah beberapa hari berkutat dengan internet mencari tahu informasi seputar beasiswa PRESTASI, aku mendapat kesimpulan yang aku rangkum sendiri dalam benakku. Ternyata ini beasiswa menitikberatkan pada aktifitas sosial dan organisasi, atau dengan kata lain seberapa besar peran kita dalam masyarakat dan sumbangsih kita bagi orang banyak. Ini mungkin bukan hal baru karena memang beberapa yayasan beasiswa seperti ADS, Fullbright, STUNED, DAAD, dan lainnya juga akan memberi nilai lebih bagi pelamar yang memiliki kegiatan sosial dalam masyarakat. Tapi ada spekulasi yang aku ciptakan sendiri bahwa PRESTASI lebih banyak menilai aktifitas sosial kita setelah membaca beberapa berkas teman yang lolos ke interview. Ya, aku memang meminta beberapa teman mengirimkan softfile berkas lamaran mereka setelah diskusi cukup panjang melalui jejaring sosial Facebook dan Twitter. Aku sempat berpikir mungkin ini sebuah tindakan “curang”. Tapi sekali lagi, ini merupakan sebuah usaha untuk membentuk spekulasi pribadi dalam rangka perbaikan diri dengan tidak ada sedikitpun niat mengutip atau mengcopy paste berkas orang. Ada seorang teman menolak mengirimkan berkasnya dengan alasan supaya reduksinya beda. Mungkin dia berpikir aku akan terjebak sehingga akan mengikuti alur atau cara dia menjawab formulir lamaran. Tapi lagi-lagi aku tekankan bahwa ini adalah upaya merakit kesimpulan-kesimpulan pribadi karena tentu saja akan memproduksi tulisan dan isian yang jauh berbeda karena memang didasari dengan hal-hal berbeda juga seperti latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, prestasi, organisasi, dsb.
Sedikitnya ada 3 pelajaran berharga yang bisa aku tarik dari hasil diskusi dan pencarian informasi selama ini. Pertama, pantang menyerah. Ya, aku memang sudah melamar beasiswa S2 ini itu sebanyak 5 kali. Mungkin ini belum seberapa dibanding dengan seorang teman dari Aceh yang bercerita sudah melamar berbagai jenis beasiswa lebih dari 7 kali dan akhirnya usahannya membuahkan hasil dengan tembus beasiswa super prestisius FULLBRIGHT sekitar tahun 2012 lalu. Tidak perlu jauh-jauh, cerita teman sekerjaku yang telah melamar hampir lebih 10 kali namun sampai kini belum berhasil. Namun ia tetap semangat dan tersenyum melalui hari-harinya serta bertekad untuk terus mencoba dan mencoba. Aku mungkin terlalu picik untuk terlalu kecewa atau depresi akibat gagal hanya karena baru melamar 5 kali. Ya, pantang menyerah mungkin kata yang pas untuk ditujukan kepadaku. Huft..!
Kedua, kenali jenis beasiswa. Seperti yang aku uraikan di atas, beasiswa PRESTASI “sepertinya” menekankan pada aspek aktifitas sosial dan organisasi masyarakat. Aku menggunakan kata “sepertinya” karena memang itu merupakan hasil kesimpulanku sendiri setelah banyak diskusi dengan para alumni beasiswa ini. Aku merasa menemukan sesuatu yang menarik saat berinteraksi dan berdiskusi langsung dengan orang yang merasakannya sendiri daripada membaca informasi dari internet atau ikut seminar beasiswa dsb. Jadi itulah kemungkinan besar yang menyebabkan aku gagal beasiswa ini karena memang aku bukan type orang yang socialize alias tebuka. Ya, aku cenderung bersikap terutup dan jarang bergaul dengan masyarakat luar atau berorganisasi. Lagi-lagi ini aku nyatakan sebagai kesimpulan pribadi. Entah apa alasan sebenarnya aku gagal beasiswa PRESTASI itu diluar analisaku.
Ketiga, berdoa. Ya, aku merasa kurang memanjatkan doa selama ini. Aku masih ingat kata-kata seorang teman yang kini sedang menempuh S2 di Belanda melalui beasiswa STUNED. Dia mengatakan bahwa saat-saat menunggu pengumuman dulu, dia tidak hanya berdoa meminta kemurahan Allah SWT, tetapi juga ia meminta doa dari orang tua untuk diberikan restu. Aku sempat meminta pendapatnya bagaimana dengan aku yang kedua orang tuanya sudah tiada. Kepada siapa aku meminta restu? Dia menjawab: Kunjungilah kuburnya! Doakan mereka dan mintalah restunya! Sebuah jawaban yang cukup bisa menggetarkan hatiku. Selain itu, aku juga sempat mendapat SMS dari dosen S1 aku dulu yang mengatakan bahwa ini bukanlah akhir. Allah sedang merencakan waktu yang tepat buatmu!
Sungguh sebuah perjuangan yang tidak mudah mewujudkan mimpi untuk meraih cita-cita beasiswa S2. Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, hanya ada satu yang bisa aku lakukan. Tawakal! Ya, tawakal atau pasrah kepada Allah atas usaha yang telah aku lakukan. Aku yakin Allah sedang menyusun rencana yang indah buatku nanti. Allah maha melihat usaha hambaNya. Semoga tahun depan aku sudah bisa menatap dari dekat Opera House di Sydney, atau melewati Golden Gate di San Fransisco, atau mungkin mendengar bunyi BigBen di London. Amin ya Rabbal’alamin...!?!?!?
Mataram, agustus 2013.