Dan dalam puisiku, diam diam ku pandang wajahmu. Mengukur hatiku, hatimu.Pelan pelan bisa membuatku lebih percaya, untuk lebih mencintaimu.
Selalu bayangmu menjejali ingatan. Membawa satu persatu peristiwa yang tak terduga. Seperti malam ini, mengulang melankolia yang datang tiba tiba dari segala penjuru, seperti musim yang tak bisa kutahan. Aku dan dirimu membasuh peluh di persimpangan, menjadikannya hujan di balik pelangi. Rindu itu, datang di titik titik ranjang, sms ataupun telepon, tapi ku lebih suka bibirmu yang berlipstik. Berkumpul di hati, menjelma embun, menetes di jendela.
Pada wajahmu, pada matamu yang kesepian. Kubaca banyak cerita tentang air mata yang jatuh, lalu memilih menjadi jalan jalan yang membawa jarak yang tak bisa kembali. Yang ingin kutulis dalam satu puisi bermelodi. Tiap baitnya bisa menggigit  angin. Terdengar sampai ke hati, jiwa ataupun membuatku lebih lama untuk memikirkanmu.
Yang kutahu, sebuah cinta tak akan pernah habis untuk di katakan. Tak penting dari sisi manapun. Karena ingatan tentangmu sudah menuntaskan rindu, pada ribuan kenangan. Barangkali, semua akan bermuara di hati lalu tumbuh berulang ulang, hingga kepulanganku yang terakhir nanti.
Dan sekarangpun, huruf huruf puisi akan panas dingin. Luruh satu satu, saat mengecup sepi yang tak sempurna. Maka biarkan, ku menemui sekali lagi untuk menumbuhkan bunga bunga yang tinggal menunggu waktu.
Padepokan Halimun, 07 Desember 2011