Tidak mudah menjadi seorang Joko Widodo. Itu sudah pasti. Sebab segala tindak tanduknya sebagai Presiden akan selalu mendapatkan komentar negatif dari oposisi. Bahkan untuk perbuatan yang baik sekalipun.
Kita jadi teringat kisah Agus Salim. "Leiden is lijden!", memimpin adalah menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" yang pernah dimuat di Majalah Prisma (1977).
Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional, diplomat ulung dan disegani dunia. Namun, hidupnnya sangat sederhana dan terbatas dari sisi materi.
Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah 'sacrificing', bukan 'demanding'. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.
Dalam konteks berkembangnya teknologi informasi hari ini, ungkapan "memimpin adalah menderita" masih berlaku, namun memiliki penampakan yang lain. Apalagi pemimpin yang benar-benar amanah, bekerja sungguh-sungguh dan lurus, maka semakin menderita.
Dan, untuk saat ini, Jokowi bisa dikatakan sedang mengalaminya.
Betapa tidak, meskipun dirinya benar-benar bekerja untuk rakyat, tetapi suara miring yang berusaha mendelegitimasi dirinya masih saja terjadi. Asalnya, tentu saja dari pihak oposisi.
Kita bisa menunjuk banyak kasus untuk hal ini. Misalnya, yang paling belakangan adalah suara miring dari Fahri Hamzah, politisi yang (dulunya) dari PKS.
Dalam sebuah pernyataan di media, Fahri menuduh bahwa segala rapat kabinet dan pengelolaan pemerintahan Presiden Jokowi saat ini hanya bernuansa untuk meraih kemenangan di Pemilu. Konsekuensinya, menurut Fahri, seluruh kebijakan Jokowi selama empat tahun ini, hanya untuk mengejar suara elektoral dan kemenangan di Pemilu saja. Tak ada logika rakyat di belakangnya.
Tentu saja, tuduhan dari Fahri Hamzah ini sungguh problematis. Sebab, itu berbeda dengan tujuan dan manfaat pembangunan yang benar-benar telah dirasakan oleh rakyat hari ini. Artinya, tak seluruhnya tepat bila semua kebijakan Jokowi hanya untuk Pemilu.
Plesetan isu, tuduhan bias data, dan kebohongan adalah makanan sehari-hari Presiden Jokowi.
Andaikan suara itu berisi kritikan dan masukan yang bernas dan substantif, sebenarnya tak masalah. Justru lebih baik dan publik bisa memakluminya. Sebab saat ini adalah zaman demokrasi dan era keterbukaan informasi.
Namun sayangnya, suara miring dari oposisi itu lebih banyak berisi kebohongan, fitnah, dan ujaran kebencian. Ini yang sangat-sangat disayangkan. Kelompok oposisi yang diisi oleh Gerindra, PKS, PAN, dan barisan lainnya, ternyata bekerja tak sesuai ekspektasi.
Ujung-ujungnya, bukan kualitas demokrasi yang makin membaik. Sebaliknya justru dari kelakuan mereka itulah polarisasi yang tajam terjadi di masayarakat. Pasalnya, selain menyebarkan isu yang tidak benar, pihak oposisi itu juga kerap menggandeng isu agama dalam menjalankan laku oposisionalnya.
Politisasi agama (dan identitas lainnya) ini yang seolah menjadi bahan baku untuk menghantam pemerintahan Presiden Jokowi. Kritikan berbasis surga dan neraka dari pihak oposisi ini yang paling laku, sekaligus sangat membahayakan bangunan kebangsaan kita.
Fahri, dan oposisi lainnya, adalah penampakan lain dari tantangan "memimpin adalah menderita" hari ini. Namun bukan terletak pada orangnya, tetapi lebih pada isu dan informasi sesat yang kerap disebarkannya.
Karena pemimpin yang telah terbukti bekerja nyata, sederhana, dan mengabdi untuk rakyat saja justru kerap dituduh macam-macam. Jokowi yang telah bekerja untuk memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia masih saja dianggap hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Padahal sudah jelas, dia membangun ini-itu bukan untuk keluarganya, anak-anaknya, kroni-kroni, atau orang di sekitarnya saja. Berbeda dengan pemimpin otoriter dan korup yang berkuasa 32 tahun lalu.
Tetapi, terlepas dari tuduhan Fahri di atas, memang benar kok Jokowi itu bekerja dan memimpin Indonesia hari ini hanya untuk menang. Ya, tapi memenangkan hati rakyat, tentunya.
Sebab, apa yang telah dikerjakannya itu memang terbukti telah bermanfaat dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyatnya. Dan, menariknya dia mau menanggung beban menderita dari suara miring oposisi untuk itu.
Mau menjadi pemimpin seperti Jokowi? Kamu nggak akan kuat, biar Pak Jokowi saja.