Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Janda Bolong

5 Oktober 2020   21:37 Diperbarui: 5 Oktober 2020   21:44 102 0

"Aku mau janda bolong, Bang," rengekku pada lelaki berhidung standar yang sedang berbaring di sampingku. Lelaki itu tidak menjawab. Ia masih fokus menatap layar ponsel yang menyala. Berulang kali aku menggoyang bahunya, tapi hanya gumaman yang ia keluarkan.

"Bang! Kalau abang nggak mau, aku aja besok ke hutan belakang rumah. Kata Kak Ita di situ banyak janda bolong tumbuh liar." Aku kembali bersuara.

"Nggak boleh, Manis. Kamu sedang hamil besar. Nggak bagus main-main ke hutan. Pamali kata orang tua, mah." Bang Paijo menjawab juga. Namun, jemarinya masih asyik berselancar di ponsel sejak satu jam tadi.

"Jadi gimana juga?" tanyaku kesal. Wajar, toh, kalau aku kesal. Berulang kali diajak ngobrol, tapi tanggapannya datar begitu.

"Ya, besok Abang yang cari. Kamu siapin aja potnya!"

Berhari-hari aku menanti, Bang Paijo tak kunjung menunaikan janjinya. Keinginanku untuk memiliki janda bolong sudah tak tertahankan lagi. Entah kenapa begitu menggebu, padahal sebelumnya aku tidak terbiasa menanam bunga. Kurasa keinginan di saat hamil begini memang aneh-aneh.

Banyak memang yang menjual jenis tanaman itu di sosial media. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, akan tetapi karena ingin berhemat, aku tidak mau tergiur untuk membeli, disebabkan untuk membeli pot dan pupuk saja sudah menguras tabungan untuk melahirkan. Bang Paijo bukanlah suami yang punya penghasilan berlebih, syukur gajinya bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, sisanya kumasukkan ke tabungan plastik berbentuk ayam. Pun tanaman itu banyak tumbuh di hutan, hanya memerlukan tenaga dan waktu saja untuk mengambilnya.

"Bang! Udah seminggu. Mana juga janda bolongnya? Abang nggak mau cariin? Apa perlu aku minta tolong sama suami orang?" Rasa kesalku semakin menjadi-jadi.

"Iya, iya! Besok pagi-pagi Abang berangkat. Siapkan saja perlengkapan Abang. Beberapa lembar baju sama pakaian dalam!

"Lha, ke hutan ngapain bawa perlengkapan baju segala?"

"Kan, mana tau harus bermalam. Karena banyak yang harus dicabut. Siapin aja buat jaga-jaga.'

"Ya udah!" seruku bersemangat. Apa pun itu, demi janda bolong aku siap.

Akhirnya Bang Paijo puj berangkat. Berbekal serantang nasi berserta lauknya, juga satu bungkusan yang berisi beberapa lembar pakaian serta dalaman sesuai permintaanya. Aku berdiri di teras depan sambil melambaikan tangan. Kuelus perut yang kian membesar sambil berbisik penuh harap, "sabar, Nak. Ngga lama lagi tanaman itu akan menghiasi teras kecil kita."

***

Sudah dua hari kepergian Bang Paijo. Aku masih bersabar menanti, barangkali memang banyak sekali tanaman yang harus dicabut. Lumayan, bisa dijual nanti. Hasil dari penjualan bisa dipakai untuk kebutuhan kami setelah kelahiran si baby nanti. Aku tersenyum sendiri sambil menghayalkan rencana ke depan. Semua terlihat mudah tanpa hambatan.

Pagi berganti siang, siang pun di selimuti kelam. Malam menjelang, Bang Paijo tak kunjung datang. Aku kian resah menanti, bukan perkara janda bolong, melainkan suamiku yang entah ke mana pergi. Pagi-pagi sekali aku sibuk berdiri di pinggir jalan setapak menuju hutan. Menunggu di sana dengan debaran jantung yang tak keruan. Sesekali aku berpas-pasan dengan beberapa ibu-ibu yang hendak mencari kayu ke hutan. Mereka menatapku heran, seakan bertanya, "ngapain pula perempuan bunting berdiri di sini pagi-pagi buta?"

Aku tak tahu sekarang jam berapa. Yang kurasa perut sudah keroncongan dan pusing sesekali melanda. Beberapa saat kemudian aku melihat Kak Minah dan beberapa temannya mendekat. Masing-masing mereka membawa goni, cangkul serta parang. Sebelum aku menegur, Kak Minah terlihat tersenyum ke arahku. Namun, aku bisa merasa jika senyumnya tidak seperti biasa.

"Ayu, ngapain di sini?" tanyanya sambil mendekat. Melihat kedatangan mereka, aku memilih duduk di atas rumput beralaskan sandal yang tadinya kukenakan.

"Aku nungguin Bang Paijo, Kak."

"Loh, kenapa nunggu di sini? Kamu pucat banget, keringetan lagi. Yuk, kami antar pulang." Raut wajah Kak Minah terlihat perihatin.

"Udah empat hari Bang Paijo pergi, Kak. Aku suruh nyariin janda bolong. Pingin juga nanem tanaman itu di pot kayak Kakak sama Kak Ita. Tapi ngga balik-balik."

"Ya ampun, Ayu. Suamimu itu bukan cari tanaman janda bolong di hutan. Tapi, cari janda beneran di kampung sebelah. Kemarin kulihat dia ke kota, boncengan sama si Marni. Pegangan pinggang lagi."

Apa? Aku kepincut tanaman janda bolong, eh, suamiku malah mencari janda sungguhan? Salah aku apa? Aku merasa pohon-pohon yang ada di depan seolah berputar. Suasana menjadi gelap, samar-samar masih bisa kudengar suara Kak Minah, "Ayu, eh Ayu. Ya, ampun. Pingsan? Angkat! Bantu angkat!" dan tak lama suara itu lenyap seketika.

Ternyata Bang Paijo terpincut janda bolong sungguhan. Rasanya pot beserta tanah yang telah kusiapkan ingin kukumpulkan dalam jumlah yang banyak. Bukan sekadar untuk menanam bunga, namun sekalian menguburkan mereka berdua sekaligus!

****

Sekian.
Aceh, 5 September 2020

Betewe, kisah ini hanya fiktif belaka. Jangan terkecoh judul, ya. Itu jenis nama tanaman yang lagi vairel .
Namanya? Ya, kayak di judul itu. Janda Bolong.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun