Perjalanan Pertama;
Melintasi Agama dan Persaudaraan
Film Journey into The West atau yang lebih dikenal dengan Kera Sakti, memberikan gambaran pada kita akan bagaimanaempatorangpengembara,begituberatnyamencarisebuahmaknaKEBENARAN(Truth). Perjalanan yang panjang untuk mancapai satu maqam atau tempat tertinggi dalam terminologi keabadian. Akan tetapi, ada satu dari beberapa pelajaran yang sangat menarik,yakni tidak adanya rasa perbedaan antar mereka, walaupun tiga dari pengembara adalah siluman dan yang lain adalah manusia. Perbedaan- perbedaan tersebut dapat di-eliminir dengan saling menghargai satu tujuan diantara mereka yakni kebenaran dan maqam keabadian tadi.
Bertolak dari film tersebut manusia memiliki fitrah untuk beragama yang tak dapat ditawar, karena fitrah ini telah melekat dan terbawa pada diri manusia sejak kelahirannya, sebagaimana disampaikan Quraish Shihab menyitir dustur ilahi, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah).[i]“Agama”, akhirnya inilah yang banyak dipegang dan dijadikan pedoman oleh masyarakat Indonesia, mungkinkarena qudrah dan irodah Allah banyakulama-ulamaPersiayangberlabuh,bermasyarakathinggamenjadibagian darimasyarakat Indonesia.
Akan tetapi, kegalauan terjadi pada abad 15 hijriah ini dimana satu agama saling memandang rendah agama lain, kasarnya adalah saling menjelekan. Memang satu kesukaran bagi seorang yangmenganut satu agama untuk memandang agama lain dengan rasa cinta dan rasa hormat.[ii]Sebenarnya dikatakan oleh William Temple dalam bukunya Nature, Man and God, bahwa pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seorang manusiadengan Tuhan.[iii] Dari dua hal tersebut dapat diambil benang merah, seharusnya saling menghargai tujuan dalam beragama untuk mencari Tuhan, adalah halyangseharusnyadipandangolehsetiapmanusia.WawasanAl-Qura’an,QuraishShihab menyatakan, “rasa keberagamaanadalahterpatrinyarasakesuciandalamjiwaseseorang”.[iv]SyechAbdullahbinThohir mengatakanberbaik sangka-lah kepada sekalian mahluk Allah (selama tidak ada/ tampak kejahatannya, kalauada gejala itu kita boleh curiga).[v]
Melalui asumsi kita sebagai manusia, pertentangan dalam berinteraksi merupakan hal yang lumrah, akan tetapi jika pertentangan itu malah membuat kita gampang untuk meng-kafir dan me-musyrikan saudara kita, maka istilah apa yang tepat untuk mengakomodir hal tersebut?. Pertentangan ini menjadi isu yang besar dan melahirkan suatuledakan anarkisme dan perpecahan di masing-masing pemeluk agama, sebut saja tragedi Ambon, Palestina, Philiphina, Australia merupakan dokumentasi yang buruk pada dunia keberagamaan kita, karena tak segelintir pemeluk agama yang kandas. Mengenai perpecahan, Al-Qur’an telah menyiratkan kepada kita sebagai manusia bahwa tidaklah patut saling bermusuhan hanya karena beda keturunan, bangsa dan agama, manusia adalah umat yang satu, maka Allah mengutuspara Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberiperingatan.[vi] Rasjidi menyitir, bahwasannya ada 2 hal yang dapat dilakukan mengenai permasalahan ini:
- Kita harus menjaga diri dari sikap suka menolak apa yang kita tidak setuju,
- Kita harus menjaga diri dari sikap suka menerima apa yang kelihatannya dapat kita setujui,
Kebenaran terletak dalam sifat hati-hati diantara ke-dua taraf tersebut, dengan disertai oleh pikiran yang terbuka terhadap sesuatu akan dari mana saja datangnya.[vii]
Perjalanan Ke-dua;
Agama itu sendiri dan Ruang temu antar Agama
Tidak ada paksaan dalam beragama,[viii]seperti yang disebutkan di awal bahwa agama merupakanfitrah manusia yang tak dapat ditawar. Mengenai agama itu sendiri Rasjidi mengatakan bahwa hubungan agama lebih ke hati, umpama air ia adalah air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, gemuruh itu diartikan sebagai semangat dan perasaan pengabdian diri, sehinggaorang yang beragama biasanya mempertahankan agamanya habis-habisan, oleh karena ia sudah mengangkat (bai’ah) dan mengabdikan dirinya kepada-Nya.[ix]Yang dapat digaris bawahi daripernyataan tadi bahwa semangat dan perasaan pengabdian dirilah yang signifikan. Pengabdian diri juga merupakan fitrah manusia sebagai mahluk Tuhan, karena adanya wa’ad/ perjanjian Sang Khalik dan makhluk pada saat penciptaan dan sebelum penciptaan manusia. “Bukankah Aku ini Tuhan kamu sekalian?” Berkata mereka; “ Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi “. Yang penting dari perjanjian ini bahwa sekalian manusia, entah ia Islam, Yahudi, Nasrani dan lainnya, menyatakan bahwa Allah sebagai Tuhan-Nya. Pertanyaan ini akan dibawa oleh manusia ketika mereka diturunkan Allah ke-dunia, oleh karena itu agama-pun manjadi fitrah manusia. Dari ayat tadi dapat pula disimpulkan bahwa semua manusia, entah ia nanti beragama apapun, akan tetap menjadi abdi Tuhan dan kelak akan mendapatkan hal yang sama, yang dijanjikan oleh Tuhan.
Satu masalah yang menjadi sorotan publik, khususnya penganut ajaran Islam bahwa yang akan mendapat ganjaran berupa surga adalah mereka yang telah berbai’ah menjadi seorang Islam danselain dari Islam kelakmereka akandimasukkan kedalamneraka.Adanya suatudiferensiasidandiskriminasi pemaknaan disini. Memang disuratkan oleh satu hadits diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman R.A. ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Janganlah kalian (muslim) meminum dari sebuah bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula makan dengan beralaskan keduannya, karena keduanya (untuk orang kafir) di dunia dan untuk kamudiakhirat”. [x]
Dari hadits diatas surga selain pemeluk Islam adalah di dunia ini, jikalau ia-pun baik dan beramal kebajikan didunia, maka balasannya-pun akan diterima didunia juga. Bukankah orang muslim juga sama?.Jika memandang kedepan bukankah orang non-islam dirugikan, bukankah mereka juga termasuk abdi Tuhan yang mengharapkan surga sebagai ganjaran atas amal kebajikan mereka layaknya orang muslim yang mengharapkan hal yang sama.
Permasalahan yang cukup rumit ketika berbenturan dengan Fiqh. Fiqh inilah yang menjadikan keterkungkungan kita sebagai muslim, sehingga doktrin yang ada dalam pikiran kita bahwa yang diluar Islam sudah bisa jadi itu kafir, murtad atau musyrik. Hal ini tidak keliru, karena Al- Qur’an dan hadits telah menyebutkan golongan tadi juga dengan jelas. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah kebekuan dalam pemahaman fiqh, kebekuan ini disitir oleh Paramadina sebagai kecendrungan untuk mengagungkan suatu masa tertentu sebagai suatu masayang paling Islami, sehingga masa inilah yang diposisikan sebagai standar kebenaran bagi setiappemikiran dan aksi umat Islam selanjutnya.[xi]Kalau melihat hal diatas dapat saja dikatakan yang menjadi dewa bukanlah lagi Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dan Hadits sebagai pedoman, melainkan kitab-kitab kajian ulama mujtahid kenamaan.
Imam As-Syafi’i, dari berbagai sumbermenyebutkan bahwa beliau telah menetapkan bahwa telah tertutup pintu ijtihad setelah masanya. Kalau hal ini benar maka fiqh yang ada sekarang adalah fiqh yang mengambang pada permukaan saja, tidak menyentuh dasar dari samudera yang luasnya tak terkira. Sehingga jika kita memerlukan akan adanya persfektif baru dalam fiqh, maka upaya pertama yang harus dilakukan adalah mendobrak persfektif Fiqh yg lama. Upaya ini didasarkan pada meletakkan fiqh sebagai produk budaya bukan sebagai produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula.[xii] Jika hal ini terwujud maka syari’at yang muncul adalah syari’at sebagai sumber kemaslahatan. Yakni kemaslahatan untuk seluruh manusia di seantero alam, apapun agama, suku dan rasnya, sebagaimana disebutkan dalam Ushul al-Fiqh sebagai menolak yang merusak (Al- Mafasid) untuk mengedepankan yang memberikan manfa’at pada khalayak (Al-Mashlahah).
Bertolak dari banyak hal diatas, inti seluruh agama dari seluruh Rasul adalah sama, yakni untuk menegakan agama dan jangan berpecah-belah tentang agama itu.[xiii] Masing-masing umat beragama membawa satu kesatuan misi fundamental, yakni membimbing manusia kepada jalan kedamaian. Oleh karena itu, semua agamasamawi adalahagamakeselamatan,sebagaimanadisebutkanseluruhumatberagamadibumi disebutkan sebagai umat yang satu dengan agama yang tunggal, yakni Islam. Allah telah menetapkan syir’ah (jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda dalam beribadah/ melakukan pengabdian kepada-Nya. Allah menghendaki hal tersebut karena Ia menghendakiadanyasaling berlomba-lomba dalam kebaikan walaupunterdapat perbedaanmasing-masing,karenaAllahsendiriyangakanmembuka tirai hakikat perbedaan antara manusia itu. “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami jadikan jalan dan cara yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiann-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nyakepada kamu apa yangtelah kamu perselisihkan itu.”[xiv]
Selain syir’ah dan manhaj yang dijelaskan diatas yang patut kita refleksikan adalah bahwa Allah-pun telah menetapkan untuk setiap umat satu mansak, ibadah ritual yang mereka harus jalankan. “Bagi tiap-tiap umat telahkami tetapkansyari’at/ritualtertentyyang mereka lakukan, maka janganlahsekali-kalimereka membantah kamu dalam urusan syari’at ini dan serulah kepada agama Tuhanmu.Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” [xv]
Dilihat dari beberapa keterengan dustur ilahi betapa banyaknya ruang temu antar agama-agama samawi:
- Semua manusia adalah abdi Tuhan yang telah memiliki wa’ad dengan Tuhan
- Masing-masing agama membawa misi fundamental yakni pesan perdamaian
- Allah-pun telah menetapkan syir’ah, minhaj dan mansak kepada tiap agama
Hal yang lebih penting adalah hakikat dalam agama tersebut, bukanlah ritualnya. Bentuk lahir agama pasti akan mengacu kepada dunia keberagaman, tetapi dunia hakikat akan menuju kepada kesatuan.[xvi]
Perjalanan Ke-Tiga;
Pandangan Al-Jilly[xvii]terhadap Agama-agama[xviii]
Sesungguhnya keyakinan akan kebenaran suatu agama yang membuat seseorang memeluk agama tersebut adalah suatu hal yang tak dapat dipandang keliru. Tetapi, mengganggap remeh agama orang lain adalah sesuatu yang berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan lahiriyah (eksoterik) terhadap ritual agama lain akan berakhir pada ke-ekslusifan dalam beragama. Berbeda dengan pandangan Al-Jilly terhadap agama, ia lebih memandang aspek esoterik (hakikat dan substansi) agama yakni suatu pengabdian seorang abdi/ makhluk kepada Sang Punya danPencipta abdi/ al-Kholiq.[xix]Pandangan esoterik seperti Al-Jilly ini sebenarnya telah dibicarakan oleh banyak sufi kenamaan akan tetapi juga dengan konsep yang berbeda, seperti Al-Hallaj (w. 309 H), Ibn ‘Araby, Ibn Faridh (w.632 H), Jalaludin Ar-Rumi (w.672 H).
Secara total alam semesta adalah hamba (abdi) Tuhan yang diciptakan-Nya secara fitri berwatak demikian. Oleh sebab itu, tak ada satupun yang maujud/ ada di seantero jagad ini yang tidak mengabdi kepada Tuhan.Segalahal,ucapan,perbuatanbahkanesensidanatributsemestainiadalahtertujuuntuk pengabdian kepada Allah. Adz-Dzariat: 56, menegaskan “Tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untukmengabdi kepada-Ku.”Hanya saja mereka masing-masingmelakukanpengabdiannyadengan berbagai ekspresi ritual (mansak) yang berbeda-beda. Sebagaimana malaikat yang bertasbih memuji-Nya, tetapi kita tidak mengerti tasbih mereka.Tasbih itu dapat diartikan sebagai mansak pada umat beragama, karena mereka mengabdi dengan ritual yang mereka yakini dan mereka kerjakan. Akan tetapi pada saat ini bukanlah ekspresi ritual yang menjadi sorotan, akan tetapi ekspresi hakikat, yaitu ekspresi pengabdian abdi kepada Tuhan.
Al-Jilly menuangkan pemikiran yang menunjukan bahwa, pada alam semesta ini ada satu Wujud Mutlak, yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Wujud ini kemudian ingin dikenal, maka ia ber-tajalli (mengungkapkan diri-Nya) melalui asma-asma dan sifat-sifat-Nya, kemudian mengejawantahkan/ menjadikan alam semesta sebagai wadahnya.[xx]Dalam hadits qudsidisebutkan, “Aku tadinya adalah sesuatu yang tidak dikenal, maka Aku ingin dikenal, maka aku ciptakanlah makhluk agar mereka mengenal Ku.”[xxi]
Kaitannya dengan perbedaan ekspresi ritual agama-agama Al-Jilly mengatakan bahwa tak lain perbedaan itu adalah karena perbedaan pengaruh asma dan sifat-sifat Tuhan pada mahluknya sebagai wadah tajalli-Nya. Oleh sebab itu, tajalli Tuhan dengan nama Al-Mudhil (Yang Maha Menyesatkan) sangat berbeda dengan tajalli-Nya dengan nama Al-Hadiy (Yang Maha Pemberi Petunjuk). Dengan perbedaan demikian, maka tak dapat dihindari bahwa masing-masing asma dan sifat-sifat itu senantiasa akan memunculkan pengaruh perbedaan pula pada ekspresi pengabdian mahluk kepada Tuhan. Akan tetapi, pengabdian itu tidak lain adalah tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa juga.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberi kabar gembira dan duka. Mereka diikutioleh orang-orang yang menjadi tajalli sifat Al-Hadiy, sementara orang-orang yang menjadi wadah tajalli sifat Al-Mudhil senantiasa akan mengingkari para Nabi dan Rasul itu dan kondisi ini akan berlanjut sampai waktu yang tak terbatas, selama Allah masih ber-tajalli dengan asma dan sifat-sifat itu,maka selama itu pula orang-orang baik dan orang-orang sesat senantiasa ada di muka bumi ini. Menurut Al-Jilly, masing-masing kelompok akan bertahan dengan merasa benar sendiri. Dengan demikian adalah memang Allah sendiri yang merasakan kepada mereka kebaikan apa yangmerekapegang.Dengan demikian,merekasenantiasa mengabdikan diri kepada-Nya melalui ekspresi ibadah sesuai dengan asma dan sifat-sifat yang memberikan pengaruh kepada diri mereka. [xxii]
Dari penjelasan diatas, bahwa semua manusia adalah abdi Tuhan, maka merekasemua akan selamat di akhirat kelak. Hanya orang-orang kafir (menurut terma Kafir) dari kalangan masing-masing pemeluk agama akan disiksa didalam neraka terlebih dahulu. Dalam pandangan Al-Jilly pula, kendati neraka adalah wadah ketersiksaan, disini bisa jadi tempat Tuhan ber-tajalli akan diri-Nya kepada orang-orang tertentu yang di dunia dianggap tak beriman.[xxiii]Menurut Al-Jilly, siksaan yang diterima oelh orang-orang kafir tidak senantiasa langgeng, akan tetapi akan hilang,namun diperbaharui dengan siksaan yang lain, akan tetapi Allah-pun memberikan tambahan daya kepada mereka sebagaimana disebutkan “setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan siksaan”.[xxiv] Allah memberikan siksa hingga meberikan atsar/ pengaruh kepada mereka, sehingga mereka-pun akhirnya tunduk dan merasa hina dihadapan-Nya.Pada saat ini pulalahAllahber-tajallidengannama-NyaAl-Jabbar(YangMaha Perkasa). Siksaan itu berlangsung hingga datang masa Tuhan berkehendak untuk meringankan siksaan-Nya, maka Ia menghilangkan rasa pada diri penghuni neraka sehingga mereka-pun kehilangan rasa.Dalam keadaan demikianlah para penghuni neraka memohon perlindungan untuk mendapat belaskasihan-Nya. Lalu mereka mendapatkannya. Allah SWT yang semula ber-tajalli dengan nama-Nya Al-Jabbar, maka sekarang Ia ber-tajalli kepada mereka dengan nama-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Jika sebelumnya mereka tunduk karena keperkasaan Allah, maka sekarang mereka tunduk karena kasih dan sayang Allah.
Mengenai surga Al-Jilly-pun membaginya kedalam 8 tingkatan, yaitu;
1.Surga Salam (Kedamaian), tempat bagi para pelaku kebajikan
2.Surga Al-Khuld (Keabadian), tempat bagi para pemili keyakinan dan pemikiran yang baik
3.Surga Al-Mawahib (Karunia-karunia), tempat bagi para penerima karunia ilahi dalamtingkatan ini terdapat berbagai agama dan aliran
4.Surga An-Na’im (Kenikmatan), tempat bagi orang yang senantiasa dalam fitrah
5.Surga Firdaus, tempat bagi orang ‘arif
6.Surga Al-Fadhilah (Keutamaan), tempat bagi para shidiqqin
7.Surga As-Shifat (Sifat-sifat), tempat bagi orang-orang yang mengejawantahkan sifat-sifat Ilahi
8.Surga Al-Maqom Al-Mahmud (Peringkat Terpuji), tempat khusus bagi Nabi Muhammad SAW
Menurut Al-Jilly pula, neraka dan surga adalah sumber dari sifat alami diri manusia sendiri. Nafsu yang bergelora merupakan potensi yang memunculkan gejolak api neraka, sementara kesucian jiwa dan kecerahan ruhani merupakn potensi yang memunculkan kesenangan surga, dan ini adalah milik segenap manusia.
Daripembicaraanpanjangtentang agama,Tuhanmenurunkanagamapadahakikatnyauntuk menyelamatkan dan membawa kedamaian bagi segenap manusia, bukan hanya untuk menyelamatkan satu kelompok saja. Oleh sebab itu, Al-Jilly melihat bahwa subtansi ke-beragaman agama bukan pada bentuk- bentuk dan cara-cara lahiriyah ritual agama, tetapi pada upaya pencerahan ruhani. Ritual agama hanyalah suatu metode untuk mencapai pencerahan tersebut.Ruhani yang telah tercerahkan yang akan mengalami kedamaian, dan kedamaian itulahyang menjadi subtansi kehidupan surgawi yang menjadi tujuan akhir segenap agama. Wallahu A’lam bi Showab.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat mencerdaskan kita semua.