Penangkapan Dian dan Randy oleh kepolisian yang dijerat pada Undang-Undang Telokomunikasi Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen jelas bahwa aparat kepolisian tidak mengerti dan memahami benar apa isi dari kedua undang-undang tersebut, khususnya masalah Telekomunikasi dan Perlindungan Konsumen.
Tidak ada aturan dan undang-undang di Republik ini melarang kita secara pribadi menjual barang kita, dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk toko virtual ataupun dalam dunia maya. Undang-Undang perlindungan Konsumen mengatur mereka para PELAKU USAHA dan KONSUMEN dalam menjual dan membeli guna perlindungan hukum bagi mereka sendiri. Bukankah Dian dan Randy yang melakukan penjualan bukan untuk berbisnis.? Kita bersama juga dapat membuka kembali kedua undang-undang yang dituduhkan kepada kedua orang ini oleh pihak kepolisian dalam menjerat mereka.
Masalah yang kemudian menjadikan alasan keduanya dijerat pidana adalah, bahwa kemungkinan besar pihak kepolisian memang ingin membeli perangkat tersebut, namun disebabkan sesuatu hal, mereka kecewa dengan penjualnya, maka karena mereka aparat lalu merasa berada diatas angin dan langsung menangkap para penjual tersebut, kemungkinan lain adalah, benar adanya aparat yang menyamar untuk menangkap mereka berdua, karena diduga bahwa keduanya adalah sindikat para penjual barang-barang gelap atau dikenal dengan istilah barang "black market".
Penangkapan mereka berdua oleh aparat kepolisian menunjukan bahwa memang media sosial, dunia maya tidak luput dari pengawasan dan perhatian pemerintah kita saat ini, khusus aparat-aparat keamanan, intelejen dan para ahli sandi negara.Dua puluh empat jam mereka mengawasi dan melakukan banyak interaksi dengan seluruh pengguna internet, tanpa disadari para pengguna tersebut tentunya.
Saat ini, masalah penangkapan tersebut menjadi bahan perbincangan dan pembicaraan serius di berbagai media sosial, di kaskus sendiri dimana mereka sebagai members, di Twitter, Facebook, bahkan diberbagai forum-forum internet. Kita dapat melihat didunia maya sendiri , betapa banyaknya para penjual dan pembisnis barang-barang elektronik yang jelas-jelas melanggar undang-undang, namun apa yang dilakukan oleh aparat, masa sih, sebanyak ratusan bahkan ribuan penjual hanya mereka yang dapat ditangkap.? Belum lagi didunia nyata, ditoko-toko elektronik, para agen dan pengecernya, tentu kita bisa melihat barang-barang seperti itu banyak dijual bebas.
Bahwa penjualan barang yang bersifat pribadi atau bukan untuk mencari keuntungan, apalagi memang termasuk barang bekas digunakan sendiri, bukanlah apa yang dimaksud pada pasal 32 dan 52 Undang-undang Telekomunikasi ditujukan bagi mereka baik pribadi atau pelaku usaha yang nyata-nyata untuk melakukan usaha, bukan digunakan sendiri. Analoginya begini, bila misalkan kita membeli sebuah laptop atau perangkat gadget di luar negeri, lalu kita bawa pulang ketanah air, apakah kita harus membuat dan memproduksi ulang sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.? masuk diakal atau tidak.?
Begitupun dengan undang-undang perlindungan konsumen yang dituduhkan kepada mereka berdua, Pasal 8 ayat 1, apakah kita sendiri membeli barang untuk keperluan kita pribadi, harus membuat label dan buku manual sendiri berbahasa Indonesia.? Sungguh tidak masuk akal bila aparat kepolisian dan penyidik pengawai negeri sipil yang memeriksanya tetap memaksanya untuk dihukum. Bila ternyata aparat masih bersikeras, untuk tetap memaksakan pasal-pasal tersebut maka, kekuatan media sosial dan gejolak sosial yang anti terhadap aparat dan kenerjanya bahkan mungkin pula menjadi apatis terhadap kelakuan aparat dan bahkan menjadi pencitraan yang buruk bagi korps bayangkara yang baru saja berulang tahun tersebut. Lebay mungkin kata yang dapat diberikan kepada aparat yang menangkap mereka berdua, walau disisi lainnya kemungkinan juga para pembisnis barang-barang "black market" akan menjadi sedikit shock mendengar kabar ini.