Kisah ini, mungkin sudah banyak dari kita pernah membacanya. Ini, adalah sebuah pesan kepada kita semua yang terlalu sibuk untuk dunia. Penulis menemukannya empat atau enam bulan lalu dalam email lama penulis, lama mengendam, hingga, akhirnya, sekarang penulis coba untuk mempublishkannya, dengan catatan, kemungkinan ada pengurangan dan perubahan. Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suaminya meraih doktor. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak Seekor burung, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan Ayah-Ibunya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan tentang uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan diakhir dongeng menjelang tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani kerap menyapanya ”Malaikat kecilku”. Suatu hari, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda yang memandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar.. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya terlihat sedih… Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan.Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga. Sampai suatu sore, saya dikejutkan telpon, sang baby sitter. ”Mas, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. Tuhan sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, telah dipanggil oleh- Sang Pecipta. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia terlihat begitu shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah melihat & memandikan malaikat kecilnya itu. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, memang sebenarnya Rani, menyimpan keinginan untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri. Dan siang itu, keinginan Rani terwujud, meski tubuh si Malaikat kecil dalam kondisi terbaring kaku. ”Ini Bunda malaikat kecilku, Bunda mandikan kamu nak..,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis mereka…. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara makam Alif. Berkali-kali Rani sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya atau pun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?” seolah bertanya, tapi Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong….”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja diarea makam….. Tiba-tiba Rani berlutut dan menjerit… ”Aku Ibunyaaa…!!!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Anakku...,Bangunlah nak, Bangun sayang...!!,.. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja nak... Sekaliiiiiii saja, Aliiiiiifff……..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup diatasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Si Malaikat Kecilnya yang sudah pergi dan tidak akan pernah kembali. Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini.... Si Malaikat kecil tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak. :sumber: dikirim oleh sumber tak dikenal dalam milis, diolah dan diedit penulis... gambar : google
KEMBALI KE ARTIKEL