Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Dari Pamer Jadi Minder

12 Maret 2023   21:11 Diperbarui: 12 Maret 2023   21:16 83 4

PAMER menjadi sebuah fenomena yang baru-baru ini ramai diperbincangkan publik, karena begitu banyak berita-berita dan viedo-video baik dari kalangan masyarakat awam, hingga kalangan artis dan pejabat yang tak mau kalah untuk memamerkan harta dan kekayaaan yang mereka miliki. 

Akibatnya timbul pertanyaan di kalangan masyarakat kita, apakah salah memamerkan harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil jerihpayah atas apa yang mereka kerjakan dan usahakan? apakah mereka yang mempermasalahkan aksi dan perbuatan pamer tersebut hanyalah karena iri dan tak mampu? 

Apakah jika seandainya kita memiliki harta dan kekayaan juga popularitas akan melakukan hal yang sama atau tidak? atau apakah kita merasa lebih baik dan lebih rendah hati dari mereka? 

Dan apakah kita yakin kalau kita tidak melakukan hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan? Jangan-jangan kita hanya iri dan kalah pamor dari mereka semua yang menurut kita buruk dan salah atau bahkan jahat? Ya, cukuplah untuk kita renungkan dan tanyakan pada diri kita, sebab aku pun tidak jauh lebih baik dari mereka dan kita sekalian.

disini aku hanya ingin membagikan sedikit pengalaman tentang hidupku yang tak jauh berbeda dengan kebanyakan hidup masyarakat pada umumnya, bukan bermaksud menceritakan keburukan apalagi aib keluarga besarku, harapanku adalah kita bisa mengambil hikmahnya saja.

Aku terlahir dari keluarga sederhana, Ayahku seorang pelaut dan ibuku tidak bekerja, aku tinggal di perkampungan di daerah pinggiran kota Jakarta Utara yang penduduknya cukup padat dan multikultural, aku memiliki keluarga besar yang bisa dibilang berbeda dengan keluarga kecilku dalam hal perekonomian, pakde dan budeku adalah seorang pengusaha dibidang transportasi dan pegawai negri di departemen pertahanan yang dimana dari gaji dan penghasilan mereka sangatlah besar sehingga kehidupan keluarga mereka sangat mapan dan belkelimpahan harta dan kekayaan. Sedari kecil aku sering diajak oleh ibuku untuk bersilahturahmi dan mengunjungi kediaman pakde ku setiap minggunya, dikarenakan ibuku adalah adik paling bungsu diantara mereka.

Aku masih sangat ingat hingga kini perlakuan pakdeku dan kakak-kakak sepupuku dahulu ketika aku mengunjungi kediaman mereka yang tinggal di perumahan mewah dan memiliki rumah yang luas dan megah dengan model arsitekur modern pada masanya, mobil mewah dan lengkap dengan perabotan-perabotan mewah pula. aku mendapat julukan wit asem (pohon asem), karena rumahku dekat dengan pohon asem besar yang tumbuh disebelah rumahku dan setiap siapa saja yang baru pertama kali melihatnya terkhusus ketika malam hari akan merasakan ketakutan. 

Karena memang orangtuaku membeli rumah di daerah perkampungan pinggiran kota Jakarta yang padat penduduknya juga tinggi angka kriminalitasnya karena keterbatasan ekonomi keluarga kami, karena tinggal di perkampungan kumuh dan padat penduduk, akses jalan masuk pun harus melalui pasar yang sempit, jalanan berlubang dan semrawut jalanannya, karena itu kebanyakan dari bude dan pakdeku jarang sekali dan hampir tidak pernah mengunjungi rumahku dengan alasan jalanan yang sempit dan takut mobil mewah mereka lecet tergores dan rusak.

Bukan hanya itu saja, kakak sepupuku pun memandang remeh keluargaku karena tingkat ekonomi dan taraf hidup keluargaku jauh dibawah mereka, karena jujur saja ketika waktu itu, orangtuaku baru saja merantau dan tinggal di Jakarta dengan keterbatasan pengetahuan dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang dimana kota Jakarta terkenal dengan sebutan kota metropolitan yang penuh dengan kesibukan, keberagaman suku, adat istiadat dan kebudayaan dari berbagai daerah, terkenal dengan tingkat kriminalitas tinggi juga berita-berita yang kurang enak didengar ditelinga kita, jumlah penduduk yang setiap tahunnya meningkat drastis pertambahan populasi penduduknya. 

Ketika arisan keluarga, ibuku seringnya terlambat untuk membayar iuran dan seringnya pula dibantu oleh budeku, dengan cibiran dan pandangan mata yang tajam terkesan merendahkan, terkadang ibuku pun harus bermuka tebal datang ke pakdeku untuk meminjam uang demi memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah aku dan kakak-kakakku karena profesi pelaut pada saat itu belum bisa dibilang berpenghasilan besar, karena satu dan dua hal ayahku sering terlambat mengirimkan uang sehingga ibuku tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kami.

begitupun ketika momen hari raya datang, kami bersilahturahmi dan berkumpul bersama di kediaman pakdeku, banyak saudara-saudaraku pun hadir dan memang benar terlihat jelas perbedaan perlakuan kakak-kakak sepupuku terhadap aku dan juga sindiran-sindiran pedas yang dilontarkan kepada orangtuaku mengenai kehidupan keluargaku yang sulit dan serba kekurangan ini, betapa aku ingat dan sampai saat ini pun masih terngiang ketika mereka menghina ayahku yang hanya seorang pelaut dan terkesan tak mampu menafkahi keluarganya. 

Aku tidak dendam dan sakit hati kepada mereka, hanya saja mengapa mereka setega itu terhadap ayahku yang sudah berjuang mempertaruhkan nyawanya mengarungi lautan, berlayar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami, dan apakah hanya karena perbedaan tingkat ekonomi keluargaku lantas mereka berhak menghina dan memperlakukan kami sesuka hati mereka? tak jarang mereka memamerkan harta benda yang mereka sanggup beli, dari mobil baru, kulkas baru, tv baru, sofa dan isi rumah mewah mereka kepada ibuku dengan seolah menanyakan apakah ibuku tidak ingin juga untuk memilikinya sampai menawarkan pinjaman kepada ibuku jika ibuku menginginkannya. 

Namun ibuku menolaknya dengan halus sambil tersenyum supaya mereka tidak tersinggung karena penolakan ibu, meskipun ibuku menyadari maksud dari niat baik mereka bukan untuk kebaikan melainkan untuk mengejek dan mengolok-olok ibuku saja. juga pakdeku sering sekali menanyakan berulang-ulang kali kenapa ibuku masih sanggup bertahan dengan ayahku yang katanya tak becus bekerja dan bahkan sempat menyarankan ibu untuk meninggalkan dan berpisah dengan ayahku karena hal itu. 

Tak jarang ibuku bersedih dan bahkan menangis di kamar sambil menasehatiku supaya aku jangan membenci mereka dan jangan merasa sakit hati atas perlakuan mereka terhadap keluargaku.

Namun dari pengalaman masa kecilku itu, aku belajar bersabar serta merendahkan hatiku dengan menjadikannya motivasi untuk aku selalu bersyukur dan tak mudah menyerah dengan keterbatasan serta keadaanku ini sehingga membuatku termotivasi untuk berjuang dan berusaha lebih giat lagi untuk merubah nasib keluarga kami, bersyukur kami saat ini sudah bisa mandiri dan mampu membeli apa yang kami inginkan dan butuhkan dengan tetap menerapkan prinsip hidup sederhana seperti yang orangtuaku ajarkan dan ingatkan selalu, bahwa kami diajarkan untuk tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, dan tidak serta merta membuat kami sombong dan menjauh dari keluarga besarku, aku dan keluargaku tetap menjaga silahturahmi yang baik dengan kakak-kakak sepupuku dan juga pakde dan budeku, mengutamakan dan menjunjung tinggi kejujuran diatas segalanya, rendah hati dan saling mengasihi kepada sesama, dengan tetap menjadi pribadi yang memiliki empati dan kepekaan terhadap keadaan sekitar, biarpun kita miskin harta namun jangan sampai kita miskin hati, menolong serta membantu semampu kita jika ada yang membutuhkan, karena dengan kekurangan kita bukan berarti membuat kita acuh serta menolak menolong sesama kita yang membutuhkan pertolongan kita, memberi dari kekurangan adalah suatu hal yang luar biasa, karena jika kita memberi dari kelebihan kita, apakah hebatnya? karena kita tidak merasa kekurangan ketika kita berlkelebihan. Jadilah seperti PADI semakin berisi semakin merunduk.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun