Terkait kasus Flo, kita diingatkan kembali dengan keberadaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE , yang sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan dan sudah adanya desakan untuk dilakukan revisi. Namun sampai memakan puluhan korban, Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih digunakan pihak kepolisian dan kejaksaan untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik di internet termasuk media sosial.
Sebelum mengingat kasus-kasus lain dari penerapan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, kita mencoba mengingat tentang kebebasan berpendapat di Internet.
Menurut UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasai Manusia, di bagian pengantarnya menyatakan "Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, yang oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun". Adapun di dalam pasal 14 UU tersebut, dinyatakan : "1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia."
Pasal tersebut juga tunduk dan mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 F (Amandemen ke-2, Agustus 2000) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (sumber : http://www.un.org/en/documents/udhr/).
Pada Pasal 28F, UUD 1945 dinyatakan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggnakan segala jenis saluran yang tersedia".
Sedangkan Pasal 19, Deklarasi Universal HAM PBB, yang dideklarasikan 10 Desember 1948 menegaskan bahwa, "setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan".
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat, berinformasi dan berkspresi, pelaksanaannya tidaklah tak terbatas, karena ada Pasal 29 ayat 2 dalam deklarasi yang sama, yaitu "dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis".
Pasal pada Deklarasi Universal HAM PBB kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di dalam Kovenen/kesepakatan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 19 tersebut menyatakan : "1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain). 2) Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 3) Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk : a) menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain, b) melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan ataupun moral umum/publik." Indonesia meratifikasi kesepakatan internasional ini pada tanggal 23 Februari 2006.
Nah, salah satu tantangan yang cukup signifikan atas kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya melalui internet adalah pada UU ITE pasal 27 ayat 3. Sejak UU ITE diundangkan pertama kali pada April 2008 pasal ini telah digunakan untuk menjerat lebih dari 32 kasus pencemaran nama baik (sumber : ELSAM http://www.elsam.or.id/). Selain UU ITE, KUHP juga mengkriminalkan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik yang juga digunakan untuk ucapan di internet termasuk status sosial media.
Isi dari UU ITE pasal 27, ayat 3 "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan san/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Kemudian isi dari KUHP pasal 310, ayat 1 "Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-". Dan isi pasal 311, ayat 1 "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun."
Kebebasan berinternet di Indonesia sangat terbebani dengan UU ITE pasal 27 ayat 3, karena memiliki ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Pasal ini sering digunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat di internet, karena kepolisian dan kejaksaan berhak menahan tersangka yang diancam hukuman 5 tahun atau lebih selama pemeriksaan (interogasi), dengan alasan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Jangka waktu penahanan di tingkat penyidik atau kepolisian paling lama adalah 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum atau kejaksaan paling lama 40 hari lagi. Untuk itulah pasal ini cukup ampuh untuk meredam kebebasan berpendapat dan memenjarakan yang berekspresi atau berbeda pendapat di Internet.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut pernah diajukan pengujiannya (judical review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK berpendapat bahwa pasal penghinaan yang diatur dalam KUHP adalah khusus untuk aktifitas offline, tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di internet. Serta norma pasal tersebut adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Maka, judical review atas pasal tersebut kandas. (sumber : hukumonline.com)
Kembali kita mengingat kasus-kasus menonjol terkait penerapan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Terutama terkait penahanan tersangka selama proses penyidikan.
Data dari ICT Watch, kasus pertama adalah yang menimpa Prita Mulyasari di tahun 2009. Ibu dengan dua balita dan satu bayi ini ditahan dengan berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Prita sempat ditahan di penjara khusus wanita Tangerang selama 3 minggu karena emailnya yang mengeluhkan layanan buruk dari dokter dan Rumah Sakit swasta Omni International Tangerang. Inti dari isi email tersebut menjelaskan bagaimana ia mengalami salah diagnosis serta perawatan lanjutan yang tidak memuaskan dan tanpa persetujuan dirinya. Ia juga mengeluhkan layanan pelanggan yang diterimanya. Email tersebut kemudian diteruskan dan diedarkan olehnya melalui mailing-list dan diposting online. Para Direktur RS Omni kemudian menuntut Prita atas tuduhan penistaaan atau pencemaran nama baik. Prita juga dituntut secara pidana di bawah pasal 27 (3) UU ITE sera Pasal 310 dan 311 KUHP.
Setelah proses hukum yang panjang dan berlarut-larut, pada September 2012 Prita akhirnya bebas oleh Mahkamah Agung. Email yang dikirimnya Prita dinyatakan tidak mengandung unsur pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan Omni. Pembela HAM dan praktisi hukum di Indonesia kerap menyebut kasus ini sebagai contoh kelemahan Pasal 27 Ayat 3 dari UU ITE serta Pasal 310 dari KUHP. Pasal-pasal tersebut dianggap gagal memenuhi persyaratan kepastian hukun dan poporsionalitas seperti dimandatkan Pasal 19 Kesepakatan Internasional Hak Politik dan Sipil (International Convenant on Civil and Political Rights). Apalagi, sebagai konsumen, Prita dianggap berhak untuk menyampaikan keluhannya, dan tanpa maksud untuk melakukan pencemaran nama baik.
Dalam perjalanan proses hukum pada awalnya, pihak pengadilan menetapkan Prita bersalah dalam kasus perdata. Pada awal Desember 2009, pengadilan memerintahkan Prita untuk membayar Rp. 204 juta ganti rugi kepada RS Omni International. Masyarakat luas kemudian melakukan kampanye pengumpulan dana berjudul "Koin untuk Prita" untuk membantunya membayar denda tersebut dan terkumpul Rp. 825 juta pada minggu ketiga Desember 2009.
Kasus kedua adalah kasus yam menimpa Benny Handoko pemilik akun twitter @benhan. Lewat akun tersebut Benhan menyatakan bahwa politisi Mukhamad Misbakhun adalah "perampok" Bank Century. Hal ini mengacu pada referensi Benhan atas kasus Bank Century yang sempat memposisikan Misbakhun sebagai tersangka. Benhan lantas diadukan ke polisi oleh politisis Misbakhun pada 10 Desember 2012 dengan alasan twit Benhan merupakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Pada Mei 2013, Benhan resmi dinyatakan sebagai tersangka dan mulai ditahan pada 5 September 2013 di LP Cipinang. Panahanan tersebut akhirnya ditangguhkan pada 7 September 2013 menyusul protes publik. Kemudian pada 5 Februari 2014 lalu, Benny divonis 6 bulan penjara masa percobaan selama 1 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Sumber :ICT Watch, Catatan Ringkas Tata Kelola & Praktik Internet Indonesia)
Dan banyak kasus lainnya bisa dibaca di media-media online, dan terbaru adalah kasus Flo di Yogyakarta.
Melihat kasus-kasus tersebut diatas, beberapa lembaga dan komunitas publik ( termasuk Partai Internet) berpendapat bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah pasal yang disediakan negara untuk mereka yang ingin memanjakan egonya. Pasal ini juga kontroversial, karena perumusannya tidak jelas, multitafsir, longgar dan terbukti mengkriminalisasi perbuatan seseorang secara berlebihan (overcriminalization). Sebab yang terjadi di lapangan, justru pasal tersebut berulangkali digunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menekan pihak lain yang tak sepaham dan dalam posisi yang lebih lemah. Hal ini dapat menyebabkan Chilling Effect, yaitu kekhawatiran untuk berekspresi dan atau berbeda pendapat di internet karena adanya ancaman sanksi hukum dari Negara. Desakan untuk merevisi juga datang dari sejumlah lembaga masyarakat sipil lainnya seperti LBH Pers, ICW, ELSAM, ICJR dan AJI. (sumber : ICT Watch)
Menurut ICT Watch, sebenarnya pihak Kementerian Kominfo telah menyambut baik desakan dari sejumlah lembaga masyarakt sipil tersebut dan telah menyiapkan sejumlah revisi. Salah satu usualannya adalah mengubah ancaman hukuman pidana dari 6 tahun menjadi 3 tahun, agar saat prose penyidikan pelaku tidak perlu ditahan. Usulan tersebut juga telah disampaikan dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2014 DPR. Namun berdasar daftar Prolegnas 2014, usulan revisi tersebut gagal masuk dalam agenda pembahasan di DPR. Untuk itulah sejumlah lembaga masyarakat sipil mendorong agar revisi UU ITE dapat masuk dalam Prolegnas 2014-2019 DPR.
Kasus Flo yang ditahan pihak Polda DIY juga mengacu pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut. Jadi jika tidak ada pasal tersebut dan hanya mengacu KUHP pasal 310 dan KUHP pasal 311 maka pelaku tidak perlu ditahan selama proses penyidikan.
Kami tetap komitmen dan menginatkan kembali bahwa UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk segera dilakukan revisi oleh DPR periode 2014-2019 secepatnya. Karena tidak menutup kemungkinan kami atau anda akan menjadi korban-korban penerapan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dikemudian hari.
Jogja, 31 Agustus 2014
Andreas Ab, Penggiat Partai Internet
@andreasab