: Loro Blonyo adalah sebuah kumpulan cerita mengenai cinta yang dibuat oleh Andra Fembriarto (http://jalanjalanyuk.tumblr.com). Kisah pertama menceritakan tentang Sri dan Sadono, sepasang kenalan baru yang suka membicarakan "Indonesia" di sebuah kota luar negri. Kebetulan suatu hari mereka membahas Pancasila dan bagaimana masing-masing dari mereka memandang 'dasar negara' mereka :
Angin berhembus menerpa jendela yang membuat kaca-kacanya menjadi dingin. Memang cerah di luar tapi terlihat semua orang memakai pakaian tebal, itulah paradoks kota luar negri itu dalam hal cuaca.
Area makan itu penuh sekali karena sedang jam makan siang. Sinar matahari merembas melalui celah-celah di atap membentuk pilar-pilar sinar di tengah area itu. Semua orang dari kantor-kantor sekitar berebut meja. Ada juga yang sampai duduk sambil makan di kursi tunggu. Memang seperti itulah keseharian area makan itu.
Sri membela-belakan membawa Sadono ke situ demi sebuah menu Thailand yang biasanya sudah habis setelah jam makan siang. Sri mengatakan kadang kita harus menerima segala sesuatu yang tidak nyaman hanya untuk suatu kenyamanan kecil. Salah satu paradoks kesukaannya, dalam hal kuliner. Ia pun menceritakan bahwa banyak orang dari luar kota rela datang ke area makan itu hanya untuk mencicipi makanan tersebut.
Sri dan Sadono menunggu hampir 20 menit untuk bisa memesan. Sadono memperhatikan lingkungannya.
Sri tersenyum, "kenapa, Don?"
Sadono pun tersenyum tanpa menjawab.
"Kayak cendol yah?"
"Haha lo baca pikiran gw," jawab Sadono.
"Oh, giliran kita."
Sri memesan dua porsi makanan legendarisnya. Membayar $15 kemudian mencari tempat duduk.... suatu tantangan yang cukup sulit.
Mereka berdiri diam sebentar memegang tray makanan. Sadono tertawa melihat betapa penuhnya area tersebut.
"Lo ga bawa pawang orang?"
Sri bingung.
"Uh... supaya orang-orang minggir...", Sadono menjelaskan.
Sri mengerti maksudnya tapi merasa lelucon tersebut konyol dan menunjukkan ekspresi 'lo jayus' ke Sadono.
"Yah, saya tidak lucu, sip!" Sadono membela dirinya dengan perasaan malu.
Sri tertawa, "Aaw, jangan cemberut gitu dong. Oh-" Sri mengambil sebuah cabe, "Cabe, Don. Mau coba? Taro di salah satu meja mungkin orang-orangnya pergi"
Sadono ikut tertawa. Tanpa mikir dia coba melakukan saran Sri dengan menancapkan sebuah cabe di meja terdekatnya. Dan dalam hitungan detik dua orang yang duduk di situ pergi. Sri dan Sadono tercengang. Lalu tertawa berdua. Mereka langsung mengambil meja tersebut.
"Boleh juga nih untuk di Jakarta," kata Sri.
"Maksudnya?"
"Untuk pawang mobil," jelas Sri, "Oh bakal berguna banget untuk bikin ga macet Jakarta."
Sekarang Sadono yang merasa Sri konyol dan memberikan ekspresi 'lo jayus' yang sama pada Sri. Sri merasa tersinggung sedikit kemudian melemparkan cabe ke muka Sadono. Sadono terkejut senyum.
"Oh jadi ga boleh nih ngejek balik?," ejek Sadono, "mainnya otoriter ih, Orde Baru ih!"
"Biarin! Setidaknya sikap otoriter bisa menertibkan orang-orang kayak lo!"
"Oh gitu? Dengan menindas gw pake cabe?"
"Dan saos," kemudian Sri memeperkan saos ke tangan Sadono. Sadono tercengang.
"Agh jorok banget sih! Buang-buang makanan pula!"
Sri hanya tersenyum. Sadono membalasnya dengan senyuman sinis... tapi perlahan menjadi senyuman hangat.
Tiba-tiba Sri mengganti topik dan mulai makan, "Kalo gw Orde Baru. Lo orde apa?"
Sadono melihat Sri yang langsung menyantap makanannya, "Monggo loh, makanannya dimakan. Ga doa dulu?"
Sri lupa! Dia langsung cepat-cepat membuat tanda salib dan berdoa sebentar. Sadono juga mengikutinya tapi secara Islam.
Mereka membisikkan "amin" bersama.
Sadono mulai makan juga, "Gw....." ia berpikir sebentar, "Gw Orde Pancasila. Orde yang memakai Pancasila untuk membela kebenaran! Bukan cabe untuk menindas"
"Maksudnya?"
"Maksudnya.... hahaha sebenarnya ngasal sih, gw"
"Dasar... emang lo masih hafal Pancasila?"
Sadono tersinggung, "Ah paraaah! Lo kira gw apa?"
Sri terlihat skeptis... kemudian ia menantang, "Pancasilaa. Sila satu!"
Sadono menangkap tantangannya dan menerimanya, "Ketuhanan yang Maha Esa!"
"Dua!"
"Kemanuasiaan yang ad-" Sadono berhenti sebentar, "Lo sendiri hafal ga?"
Merasa tertantang, sekejap Sri melanjutkan, "yang adil dan beradab!"
"Tiga" mereka berdua melanjutkan dengan tatapan saling menantang.
"Persatuaan Indonesia!" mereka berdua menyebutkan.
"Empat!"
"Kemasyarakatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan..." mereka berdua mulai lupa...
"dalam musyawarah..." Sadono coba melanjutkan meskipun tidak yakin.
"mufakat masyarakat..." Sri sekarang coba menebak.
Sadono tertawa, "haha apaan tuh mufakat masyarakat?"
Mereka mulai mencoba lagi... "....hikmat kebijaksanaan... dalam permusyawarahan..."
Sri sekarang merasa konyol, "PERmusyawarahan?"
"dan permufakatan?" Sadono bertanya, "itu sebuah kata beneran ga sih?"
Mereka tertawa!
"Oke oke," Sadono memulai lagi, "Kebijaksanaan yang dimpimpin oleh.... eh?" Ia lupa total!
Sri tertawa... ia memulai, "Sila 4! KERAKYATAN (kok kemasyarakatan sih?) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam PERMUSYAWARATAN..."
Sadono menimbrung, sekarang mereka menyebutkannya berdua, "dalam PERMUSYAWARATAN, PERWAKILAN"
Sri teriak, "Paraaaah banget kitaaa! Gitu aja ampe lupa. Hahaha wah bukan warga negara yang baik nih!"
Sadono tersenyum, "Okay, Sila 5!"
Bersama, "Keadilan sosial bagi seluruh..."
Hampir lupa...
Sekarang mereka saling lihat-lihatan dan tiba-tiba ingat! "rakyat IN-DO-NE-SI-A!"
Mereka lelah mengingat itu semua.
"Dah lama ga upacara bendera siiiiih!" tuduh Sadono.
"Halah lo juga! Kalo upacara pun pasti diem juga kan pas pembacaan Pancasila! Haha"
Sadono terdiam karena tiba-tiba ia berpikir.
Sri dan Sadono terhanyut ombak-ombak suara lingkungan. Percakapan-percakapan dalam area makan itu membaur membuat lautan suara manusia.
"Jadi diem..." Sri melanjutkan...
Sadono melanjutkan makannya, "Orde Pancasila, generasi yang mengilhami kembali arti sebenarnya Pancasila. Gw baru inget gw dulu pernah punya teori tentang maksudnya Pancasila tuh sebenernya apa."
"Oh yah? Tolong jelaskan pada saya, Bung."
Sadono tergelitik, "baiklah, Mba. Kayaknya..." Sadono memulai, "Kayaknya kalo kita melihat Pancasila sebagai suatu produk sejarah itu agak terlalu... taking it for granted deh. Masudnya... iya, itu dibuat 60an tahun yang lalu, tapi sebenarnya sangat relevan bagi bangsa kita jaman sekarang."
"Lanjut..." Sri meneguk ice thai teanya.
"Kadang gw mikir, orang-orang yang merumuskan Pancasila tuh jenius! Mereka bisa mengantisipasi permasalah-permalahan bangsa yang kita hadapi sekarang. Secara filosofis urutan sila-silanya sangat terstruktur loh, dari yang paling penting dan mendasar ke-"
"Paling ga penting?"
Sadono memicingkan mata, "ke sila yang menyebutkan tujuan semula kita menjadi suatu bangsa."
Sri mulai tertarik. Dan dia memancing penjelasan lebih lanjut, "Sila pertama..."
"Oke denger dulu yah," Sadono mulai memasang pose kuda-kuda filosofinya, "menurut gw, Pancasila dimulai dengan sila Ketuhananan Yang Maha Esa karena yah itulah sumber dari segalanya. Dari hidup, dari alam semesta, Tuhan. Dan tiada yang lebih mendasar dari itu, makanya itu yang paling penting. Tuhan di atas segalanya! Bukan agama, bukan sekte, tapi Tuhan!"
"Jadi ga berlaku dong buat yang Atheis?"
"Oh, tunggu! Sebagai orang Atheis belum berarti lo ga bisa menikmati karya alam semesta kan. Mereka pun juga punya... sense of wonder dan amazement kok pada...." Sadono menunjuk lingkungan sekitarnya, "ini semua. Maka dari itu hal yang paling mendasar bagi orang atheis pun adalah... hidup. Atau di kita orang beragama, Tuhan. Jadi... kebebasan kita menghargai dan mensyukuri hal mendasar ini haruslah terjamin karena apakah kita tanpa Tuhan? Benar?"
Sri mengangguk, menjadi lebih penasaran.
"Sila kedua," lanjut Sadono, "menunjuk pada hakikat kita sebagai manusia, ciptaan Tuhan. Bahwa semua orang sama rata dan bertujuan mencari kebahagiaan atau kedamaian. Sebab apa gunanya hidup dalam penuh tekanan, toh bukankah kita menjadi manusia yang optimal saat kita sudah menemukan... kedamaian dalam diri kita sendiri."
"Find your centre," Sri menambahkan sambil memperagakan tangan Buddha.
Sadono mengangguk dan mengikuti gerakan tangan Sri, "Yah gitu... seharusnya negara tujuan puncaknya adalah menjamin kebahagiaan dan persamaan hak setiap warga negara. Tapi sayangnya kita semua lupa... dan seringkali... no, bahkan setiap kali lebih mengutamakan-"
Sri cepat menangkap arah pembicaraan Sadono dan langsung menambahkan, "Persatuan Indonesia!"
"Naaah! Betul! Untuk apa suatu negara bersatu jika hal itu malah membuat warganya tidak bahagia?"
"Oh my God..." Sri menjawab, "gw ga pernah ngeliatnya dari sisi itu, Don." Sri merinding.
"Lo ngerti kan maksud gw?"
"Iyah, iyah banget!" Sri menjadi bersemangat, "Kadang negara kita menghalalkan segala cara supaya 'Indonesia bersatu' padahal belum tentu persatuan ini menjamin kebahagiaan dan persamaan hak setiap orang."
"Makanya banyak yang pernah mau lepas dari Indonesia kan?"
"Iyah.... Aceh... Papua... pemberontak yang dulu-dulu... mereka semua kan merasa ga puas... ga bahagia, dengan cara negara ini dikelola. Terlalu Jawasentris! Bahkan diperparah dengan menindas dengan senjata demi "mempersatukan" semua wilayah Indonesia. Harusnya kita punya sistem polling rakyat yah, seberapa bahagia dan sejahteranya diri kita dalam lingkup negeri Indonesia ini."
"Alangkah baiknya jika memang semua orang dibuat bahagia kan... siapa sih yang mau memisahkan dirinya kalau memang kebahagiaan hidupnya dijamin?"
Sri mengangguk-angguk dalam pengertian. Kemudian bertanya, "Caranya?"
"Yah, kita masuk ke sila yang sifatnya praktis! Sila keempat! Untuk mencapai persatuan Indonesia yang didasari oleh persamaan hak warga negaranya yang hormat pada Tuhan... dibutuhkan pemerintahan yang berdasarkan musyawarah mufakat... dengan kata lain demokrasi sih. Coba kita bias nanya ke stiap propinsi… kamu tuh pengennya apa? Abis itu nanya, bagaimana pemerintah pusat bisa membantu mewujudkan itu? Kalau yang sudah terjadi adalah, bagaiaman kekayaan daerah digunakan untuk kekayaan segelintir orang dan juga pihak asing…. Demokratis, Sri."
"Bukannya kita sudah demokratis? Kita top five Negara paling demokratis di dunia loh!"
"Oh memang dan sudah..." Sadono menjawab, "tapi masih banyak belajar lah. Sri, gw sih bangga yah jadi anak Indonesia jaman sekarang, ga semuanya buruk kok. Yah masih banyak kekurangan lah di sistem demokrasi kita, tapi gw percaya kok, kita lagi menuju arah yang lebih baik."
Sri menopang pipinya dengan tangannya, "Tinggal kita yang memperbaiki yah?"
"Hehehe, kita? Lo aja jadi politikus sama keluarga lo yang metal-metal," Sadono mengejek.
Sri melanjutkan, "Dan keempat sila itu mengarah ke satu tujuan... yaitu keadilan sosial..."
"Yaitu kebahagiaan kolektif. Diawali dengan persamaan hak setiap individu, dan saat semua orang merasa cukup..."
"Semua orang merasa adil."
Keheningan meresap sejenak.
Sadono tersenyum, "Supaya bisa gitu emang susah sih...."
"Tapi setidaknya kita sudah punya 5 kalimat panduan... yang sebenarnya udah ada dari awal," Sri menatap Sadono dengan penuh kekaguman, "Gw ikut Orde Pancasila deh, Don"
Sadono tersenyum... "bayar 10 juta untuk jadi anggota."
Sri tertawa, "ternyataaaaa..."
Mereka berdua menghela nafas sebentar. Ombak suara area makan itu menjinak menjadi riak. Susasana tenang dan hangat.
"Eh, gimana enak ga?!" Sri menunjuk makanan Sadono.
"Uh...," Sadono berpikir mau jawab apa.
"Ga enak yah?"
"Enaaak kok..."
"Bohong..."
"Enaaaaak!"