Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen ǀ Merencanakan Kegagalan

27 Januari 2018   17:29 Diperbarui: 27 Januari 2018   17:32 592 1
Dua hari belakangan ini tidurku tak nyenyak. Aku selalu bangun lebih awal dari biasanya. Aku tak tahu kenapa. Rasanya seperti ada dorongan kuat untuk bangun dan mengerjakan sesuatu. Akan tetapi ketika aku memikirkannya, sesuatu itu kehilangan rencananya sendiri.

Kenapa?

Aku duduk di tepi ranjang. Berpikir beberapa saat sebelumnya akhirnya berani mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri: memangnya, sejak kapan aku peduli dengan rencana yang telah kubuat hingga merasa cukup jantan untuk menyelesaikannya?

Baiklah. Kuakui. Dulu aku ini anak laki-laki dengan segudang rencana. Namun sebagai mana rencana diciptakan, mereka selalu gagal. Rencanaku memang selalu gagal. Tapi kupikir itu cuma masalah kecil, karena aku sudah menemukan solusinya.

Ini seperti kenginan kuat kau ingin kaya. Tapi alih-alih selalu gagal dalam meraihnya, kau berpikir, tidak kaya juga tidak apa-apa, terpenting semua kebutuhanmu tercukupi. Nah persis seperti itulah yang kusebut solusi.

Kata orang hidup ini seperti roda. Oke, mungkin yang dimaksud roda itu, roda yang bisa berputar. Roda hidupku juga berputar, tapi mungkin ia bergerak dengan kecepatan begitu lambat sampai aku sendiri tak menyadarinya apakah dia diam atau justru bergerak ke kiri?

Orang-orang melangkah lebih jauh di depanku. Orang-orang selalu ingin tiba lebih dulu dari hari esok. Sementara aku melangkah selangkah demi selangkah untuk mencapai hari esok.

Aku bagai anak laki-laki yang merencanakan segala sesuatunya dari awal, tapi di tengah-tengah rencana berbuah pikiran, atau jika tidak, aku akan tiba dengan rasa gagal di menit-menit akhir.

Sering aku menyaksikan kegagalan di depan mata kepalaku. Sekuat tenaga aku menasehati diriku dengan berujar, "Kau lihat sendiri kan?" Seolah-olah aku sedang menunjuk telur gosong di atas piring.

Jika ada istilah pengusaha sukses di usia muda maka akulah pengusaha muda sebaliknya, yang bangkrut diusianya yang masih muda. Jika ada cerita seorang pemuda yang bangun kesiangan di hari pertamanya tes kerja, maka akulah pemuda itu. Jika ada pemuda yang tiba-tiba tersedak duri ikan sebelum ia sempat menyatakan cintanya kepada gadis pujaannya di meja makan, maka pemuda itu adalah aku, yang dilarikan ke rumah sakit.

Ada sesuatu yang belum bisa kutuntaskan. Banyak hal yang tak bisa kuselesaikan. Aku tahu aku tak bisa berbuat banyak, dan kalau aku bisa, aku pasti selangkah lebih dekat dengan kehancuran.

Aku tak punya pilihan kecuali melupakan rencana-rencana itu. Aku memilih melupakan rencanaku sebagai jalan keluar.

Oi, bicara tentang rencana, aku jadi ingat suatu kali pernah menghadiri acara pesta pernikahan -meski ini sedikit berbeda tapi kurasa ada kesamaannya.

Aku punya seorang teman perempuan. Sebut saja namanya Dewi. Dewi adalah anak perempuan hiperaktif yang selalu cakap mengekspresikan semangat emosinya ketika misalnya dia amat senang, dia tak akan berhenti tertawa meski itu artinya di depan umum. Dewi tak terhentikan.

Berbeda dengan manusia pada umumnya, Dewi bukan tipe manusia yang sering melawan benaknya sendiri. Ketika dia sedih dia akan menangis. Ketika Dewi sedang bahagia dia tahu caranya tertawa.

Dewi tak bisa melakukan dua hal sekaligus yang seringnya cenderung dilakukan orang-orang. Dia itu berbeda. Tak menyukai kepura-puraan.

Nah, maka ketika rencananya yang selama ini dia bangun dengan bersusah payah gagal di tengah jalan, dia menangis dengan begitu kuat. Dewi menangis tersedu-sedunya begitu tahu pacar seumur jagungnya itu, tanpa alasan yang jelas mengatakan bahwa mereka sudah tak lagi cocok.

Aku sendiri kurang paham definisi cocok. Yang jelas aku menyaksikan mereka berdua, teman perempuanku bernama Dewi itu dan kekasihnya -yang kini jadi mantan- selalu berdampingan setiap saat. Mereka melekat bagai tak terpisahkan. Aku bahkan bisa membayangkan mereka bergantian bergilir mengenakan tongkat penyangga jika yang lain, tongkat yang lain lupa letak menaruhnya. Sepasang kekasih kakek-nenek yang amat romantis.

Akan tetapi seperti hal yang kubilang sebelumnya: rencana diciptakan untuk gagal. Dan mereka benar-benar gagal dalam menyongsong masa depan itu. Namun setidaknya, bukan keduanya. Tapi salah satu dari mereka. Sebab, mantan kekasih teman perempuanku itu pada akhirnya menikah dengan orang lain. Menjalani kisah romantis masa depan bersama orang lain.  

Itu terjadi dua minggu lalu. Namun meski sudah berlangsung selama itu aku masih bisa ingat cara teman perempuanku itu menyeka air matanya. Berkali-kali. Dan sejumlah berkali-kali pula, aku bagai sedang menyaksikan sebuah lukisan tiga dimensi yang bergerak. Lukisan tiga dimensi yang paling sedih di dunia. Aku tak pernah membayangkan dikehidupanku yang samar-samar akan menyaksikan lukisan semacam itu dengan amat nyata.

Dewi mengajakku ke acara pesta pernikaan mantan kekasihnya. Pulang dari sana, Dewi mengusulkan agar kami mampir ke taman kota. Kami duduk di sebuah bangku besi yang sangat pas untuk selonjoran satu orang. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun