Dia bertanya seperti itu, dengan nada enteng dan intonasi umum yang seolah-olah lazim dipertanyakan sepasang pengantin yang baru saja menikah.
Usia pernikahan kami baru dua hari. Dan lebih buruk dari itu, kami lebih sering bertengkar mengenai hal-hal sepele bahkan soal kebiasaanku melamun ketika berbaring di sampingnya.
Aku tak pernah membayangkan akan membuat kesepakatan lagi. Dengan orang lain. Penyatuannya terlalu rumit. Bahkan kurasa lebih mudah jika kita tak perlu repot-repot memahami orang lain bahwa ia juga memahami diri kita.
Istri pertamaku bernama Sikat. Oh. Aku senang memanggilnya begitu. Kami hidup bersama di bawah satu atap selama satu dasarwarsa dan dia tak pernah bisa berbagi apa pun denganku. "Apa yang jadi milikku adalah milikku. Juga sebaliknya."
Aku tahu dia tak menyukaiku karena aku sering kepergok memakai sikat giginya. Kata dia, aku merusak selera makannya. Dia berdoa semoga dosaku diampuni. Seringnya dengan nada begitu kesal.
Kami tidak punya anak. Tepatnya apa yang kumiliki adalah milikku sendiri. Jadi aku tak boleh menyentuh barang-barang kepunyaannya. Tentu saja kami saling mencintai. Nah, setidaknya itulah yang kurasakan. Namun dia selalu mengingatkanku bahwa kesepakatan adalah kesepakatan. Aku bilang setuju. Lalu berusaha lagi masuk ke dalam area wilayah kecilku lagi. Terus seperti itu. Kurasa terus selamanya, hingga sampai ketika aku kecurian lagi kepergok di dalam kamar mandinya.
Kami memang tidur dalam satu kamar. Selama sepuluh tahun.
Kamar kami kecil. Dan lebih kecil lagi karena ruangan itu dipisah menjadi dua ruangan. Dua ranjang tempat tidur, dua lemari, dua meja belajar, dan dua kamar mandi.
Malam itu kupikir dia sudah tidur. Dua lampu di sisi ranjang kami sudah dimatikan dua puluh menit lalu. Cahaya bulan bersinar agak redup menyelinap memasuki tirai jendela dan menyinari keningku. Lalu mataku yang tertimpa cahaya itu seketika membangunkanku dari mimpi pendek namun agak indah.
Tak ada pikiran jahat ketika itu. Akan tetapi aku memutuskan bangkit dari ranjang dan menginginkan mimpi itu dituntaskan malam itu juga. Dan malam itu juga, aku diam-diam menyelinap ke kamar mandinya, mencari celana dalamnya, menciumi celana dalamnya dan mulai melakukan hal yang sebaiknya kulakukan untuk menuntaskan rasa kebinatanganku.
Sikat masih tidur di dalam selimutnya.
Oh ya. Sekedar tambahan. Sejak kecil aku sangat menyukai kebersihan. Ibuku yang mengajari. Dan malam itu mungkin karena aku terlalu bersemangat untuk meneladani sikap baik yang sering dicontohkan oleh ibuku, aku menyiram lubang toilet dengan terlalu banyak air. Sehingga hal itu justru memancing rasa ingin tahu Sikat untuk bangun dan menyelidiki. Dia muncul begitu saja di mulut pintu kamar mandi dengan muka heran sekaligus malu dan kurasa amat marah.
Terus terang. Ini bukan kali pertama aku melakukannya. Sudah sering. Tapi sebagaimana tupai melompat ia bakal jatuh juga.
Aku mengembalikan celana dalam Sikat ke dalam ember berisi pakaian-pakaian kotornya lagi. Seperti anak kecil yang siap dimarahi oleh ibunya. Aku menunggu reaksi Sikat sambil sesekali mengedipkan mata untuk memperjelas penglihatanku. Akan tetapi dua menit selama dia berdiri di situ, tak ada lontaran kata-kata atau tanggapan apa-apa. Maka aku mengambil inisiatif. Berjalan ke arahnya sambil permisi. Dia membukakan jalan untukku.
Tak ada kemarahan apa-apa. Kupikir dia bakal marah besar kepadaku.
Aku kembali ke dalam selimutku dan berusaha tidur. Namun usahaku terlalu payah. Tak lama. Dua menit kemudian, kudengar seseorang di seberang ranjangku menangis tersengguk-sengguk.
Apa yang harus kulakukan? Oke. Besok aku akan meminta maaf padanya.
Hmm. Tapi mengapa harus menunggu sampai besok? Entahlah.
***
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari jam wekerku. Duduk di tepi ranjang sebentar sampai tanpa kusadari gawaiku berdering. Dari Sikat.
Aku tahu. Dia sudah tak ada di ranjangnya. Kemarin dia berjanji akan pergi pagi-pagi sekali dan dia mengatakannya lebih dulu karena dia tak ingin mengganggu tidurku. Dia baru akan menelpon setelah tepat pukul biasa aku bangun pagi.
"Aku tak bisa tidur lagi setelah itu," katanya.
"Jaga dirimu baik-baik," kataku.
"Semua akan baik-baik saja. Kau juga ya."
"Akan selalu kuingat pesanmu."
"Dah."
Aku tahu. Semalam setelah kejadian itu, dia langsung berkemas. Dia memang gampang berubah pikiran. Saat orang merasa dirinya dilukai atau melukai orang lain, memang gampang berubah pikiran. Meskipun ya, dia sering bilang padaku bahwa aku tak boleh menganggap dilukai atau melukai siapa-siapa. Jadi aku tak boleh berharap seseorang berubah pikiran karenaku. Termasuk kesepakatan itu.
Dia pergi untuk mencari ayah anak yang diam-diam dikandungnya. Lalu.... Kau tahu, dia tak pernah kembali lagi.
***
Pernikahan keduaku terjadi sepuluh tahun setelah itu. Terus terang, sebetulnya aku menginginkannya lebih cepat. Akan tetapi kalau kau ternyata tahu cinta sejatimu berada sepuluh tahun lebih terlambat dari pada yang kaupikirkan, mungkin jarak untuk mencapai waktu tak pernah merisaukanmu. Akan tetapi masalahnya waktu seringnya berputar begitu lambat dan murung, jadi kita tak bisa berbuat apa-apa sampai mereka sendiri menyerahkan diri pada kita.
Aku percaya cinta sejati adalah cinta terakhir yang kau miliki. Ketika mereka hadir kau harus menyambutnya. Atau jika tidak, bukan masalah. Kau masih punya kesempatan, menyambut cinta yang lebih sejati ketimbang sebelumnya. Sejujurnya sampai stok itu habis. Namun tentu saja kau tak pernah tahu kapan persediaan itu tersisa untukmu, bila akhirnya yang kau ternyata mereka sudah tak ada.
Aku sering membayangkan kalau stok itu bagai kelereng yang kusimpan dalam kantong. Ketika kulempar satu biji kelereng keluar dari hidupku, yang kudengarkan adalah, "Jangan sedih. Jika yang kau butuhkan aku, aku ada di kantongmu."
Dan dua hari lalu, aku mengeluarkan satu kelereng itu. Biar mudah, kunamai Kelereng Kedua. Aku mengungkapkan isi pikiranku padanya, apa aku boleh memanggilmu Kelereng Kedua? Kataku pada wanita-dua-hari-itu.
Istriku, maksudku, Kelereng Kedua, tak punya masalah soal nama. Dia bilang. "Apa saja. Kau tahu, teorimu terlalu rumit namun terdengar kekinian. Tapi yang penting kau ketahui, aku akan jadi kelereng terakhirmu," katanya. "Apa kau senang mendengar itu?"
"Kau sangat manis. Kau kelereng yang menggoda dan kelereng paling manis yang kukenal."
Kelereng menggeser tubuhnya ke dekat dadaku. Semakin dekat seolah kita tak terpisahkan. Seolah kami hendak lengket seperti uji coba ujung jari dengan lubang hidung.
"Ungkapkan apa yang kau pikirkan," ujarnya lagi. "Aku akan patuh. Sesekali mungkin akan mendesakmu untuk berhenti bersikap menyebalkan. Tapi sepenuhnya aku kelerengmu, dan kau tuanku. Apa kau merasa adil?"
Dia selalu mengakhiri percakapan kalimatnya dengan percakapan baru. Dia memang senang ssesuatu yang membuatnya tak terhenti.
"Jangan bicara soal keadilan. Adil buatku belum tentu menyenangkan bagimu. Aku akan menyimpanmu sebagai kelereng dan tak pernah melepasnya dari saku kantongku. Apa kau ingin mual mendengarku?"
"Aku selalu ingin mual sejak pertama bertemu denganmu. Kau membuatku mabuk. Mabuk kepayang. Bagaimana menurutmu?"
"Syukurlah."
"Syukurlah. Maukah kau akan mencintaiku selalu?"
Belum sempat kujawab pertanyaannya, Kelereng menghembuskan napas. Lalu dia lupa menghelanya lagi.
***
Oh. Kuakui, aku memang payah jika disuruh menceritakan kisah yang runut.
Satu hari setelah kami menikah, Kelereng memintaku membawanya ke rumah sakit. Perutnya sakit katanya. Lalu kepalanya, lalu hatinya, lalu segalanya terasa menyakitkan. Begitu juga denganku. Lalu di hari kedua pernikahan kita, dia memintaku untuk terus tidur di sisinya sepanjang waktu, sampai dia terlupa.
Aku menurut dan sejak saat itu setiap detik aku ingin mengatakan hal-hal yang menyenangkan baginya. Namun seperti halnya Sikat, aku tahu, itu tak akan pernah membuatnya kembali.
***
Andi Wi