Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sunyi di Raya Lebaran: Sekelumit Pengalaman "Mengalami"

9 Agustus 2013   02:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:30 165 0
Lebaran Idul Fitri 1434 H/2013 M telah berjalan sehari. Suasana masih semarak; tetamu datang bersilaturrahmi, pakaian baru dikenakan, petasan bersahutan, kembang api dipestakan. Semuanya terjadi di dalam ruangan yang aroma catnya masih menyengat. Sanak saudara dari tempat jauh datang. Para tetangga menyambangi. Jabat tangan, saling peluk, saling memohonkan maaf atas kesalahannya. Silaturahmi direkatkan, diperbarui lagi. Sembari itu, kue-kue dan aneka makanan tersaji disantap. Hikmat dan semarak. Untuk dapat sampai ke suasana hangat perjumpaan antaranggota keluarga semacam itu, beberapa orang harus menempuh jarak yang jauh: mudik.

Saya sendiri di tanah "rantau", Jogja. Tanah kelahiran tempat di mana saya berasal nun jauh di sana: Makassar. Memang jaraknya tidak terlalu jauh--beberapa orang bahkan bisa menempuhnya dengan pergi-pulang. Karena alasan tertentu, lebaran Idul Fitri tahun ini saya jalani di kota ini, Jogja.

Sebagai "orang asing" di sini, saya menyaksikan dan mengalami suasana semarak sekaligus kesunyian. Semarak, ya seperti yang saya kemukakan sebelumnya. Kesunyiannya lebih pada pengalaman batin mengalami perayaan secara berjarak---dalam konteks ruang/fisik---dengan keluarga inti uang nengasuh dan membesarkan saya. Menyaksikan haru biru semua itu, batinku perlahan "terusik". Rasa rindu pada pelukan hangat orang tua dan aroma punggung telapak tangannya melekat dalam memoriku. Teknologi komunikasi, "handphone", tak bisa meretas keberjarakan batin kami serupa itu. Saya tetap membutuhkan sentuhan langsung mereka. Bagi anda yang mengalami keterpisahan serupa itu, pasti paham betapa kata--memang begitulah hakikatnya ia--sangat terbatas dalam melukiskan atau memaparkan sesuatu tentang perasaan kita. Ia tak pernah benar-benar sempurna melakukan repesentasinya terhadap realitas yang coba diwakilinya.

Tentu kita semua mengalami "perayaan" lebaran ini secara khas, dengan cara penghayatannya masing-masing. Bagi mereka yang bisa berkumpul dengan sanak saudaranya, tentu boleh bergembira senang. Sebaliknya, mereka yang "kurang beruntung" dan merayakan (?) lebaran dengan terpisah dari rumah dan sanak saudaranya, memiliki cerita sendiri, terutama dalam aspek batinnya. Mungkin saya terkesan berlebihan, melankolis, tapi begitulah pandangan dan pengalaman subjektif saya mengangkasa di jagad batin.

Kesemarakan dan Kesunyian: Paradoks Dua Dunia

Lazim kita paham bahwa dunia luas (makrokosmos) dan "dunia" diri kita sendiri (mikrokosmos) adalah dua fakta yang tak terbantahkan. Proses menyaksikan "dunia-luar" selalu ditarik dan diolah ke dalam "dunia-dalam" kita. Kita mengolahnya melalui proses perenungan kita terhadapnya. Kita semua sealu membanding-bandingkan, menimbang-nimbang, memikir dan mengalami kembali. Bedanya, ada yang melakukannya secara mendalam, sedangkan yang lainnya biasa saja. Tentu saja diperlukan kepekaan di sana.

Saya bukannya tidak punya teman di sini. Saya bahkan telah mengunjungi beberapa di antaranya, baik "orang asli" di sini, maupun kalangan rantau semacamku yang juga tidak mudik. Kegembiraan (sesaat) karena perjumpaan memang terasa. Sampai semuanya berakhir, kami berpisah, dan kembali ke kamar--saya indekost di sini. Perbincangan dengan langit-langit kamar pun dimulai. Detak jam mulai terdengar nyaring ingsutannya pada setiap detiknya. Rumah mulai dirindukan (lagi).

Ada rasa iri ketika menyaksikan semua kegembiraan dalam keluarga-keluarga yang dilihat, setidaknya pada bagian permukaannya. Iri karena saya tidak bisa berkumpul dengan orang tua dan saudara-saudara di kampung. Sampai di situ, ke-raya-an suasana lebaran mulai menghening, sunyi. Ada semacam celah dalam batin yang tetap melompong. Begitulah saya merayakan lebaran di sini.

Hmmm... Semoga lebaran tahun depan saya bisa bersama mereka.

Sepi Utara Jogja, 8 Agustus 2013.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun