Parameter kasat mata bisa dilihat dari peristiwa antre tiket di GBK. Ribuan masyarakat rela mengantri dari satu hari sebelumnya, berhujan-hujanan, kepanasan, hanya untuk memperoleh tiket masuk. Penjual kaos timnas dengan "Garuda di dadaku" pun laris sangat manis. Penjualan meningkat drastis, pedagang pun tersenyum lebar.
Awareness Berkurang Drastis Paska Emergency
Akankah awareness yang sama juga bisa kita alokasikan untuk korban bencana? Saya ingat persis, ketika bencana terjadi, media berlomba-lomba untuk meliputnya dan menggalang dana sampai milyaran rupiah. Aliran kepedulian mengalir deras dari berbagai lapisan masyarakat. Bahkan saya mencatat, orang miskin pun ikut menyumbang apa yang dia punya.
Saat itu, penanganan bencana fase tanggap darurat begitu masif. Beberapa posko pengungsian pun kelebihan bantuan. Sebagai contoh, Stadion Maguwoharjo sebagai pusat pengungsian setelah erupsi tanggal 5 November 2010, dapat menampung sampai 40 ribu pengungsi. Sayangnya, karena manajemen kurang baik, terjadi kelebihan nasi bungkus dan ribuan nasi bungkus basi dan mubazir.
Sayangnya, publik sepertinya amnesia ketika masa recovery datang. Ini juga karena media berhenti memberitakan pengungsi dan beralih dengan topik hangat lainnya, seperti saat ini euforia timnas sepak bola Indonesia sedang melanda atau berita mengenai korupsi pejabat publik.
Tidak banyak yang tahu bahwa fase tanggap darurat diperpanjang lagi selama dua pekan ke depan karena shelter pengungsi belum jadi. Padahal pengungsi sudah sangat menderita. Logistik menipis, perhatian publik berkurang, depresi pun melanda pengungsi. Mereka sudah tidak betah di pengungsian, sehingga warga sebuah dusun di lereng Merapi nekat untuk membangun rumah mereka dari bahan-bahan yang tersisa padahal ancaman lahar dingin masih besar.
Pengungsi Harus Mandiri
Sesungguhnya pengungsi ingin sekali mandiri dan kembali ke kehidupan mereka sebelum bencana. Namun saat ini mereka tidak punya apa-apa. Rumah hancur diterjang awan panas atau tsunami, ternak mereka tewas dan lahan pertanian mereka sudah habis terbakar atau diterjang ombak.
Memasuki tahap pemulihan (recovery), pengungsi hanya butuh stimulan untuk memulai kehidupan mereka kembali. Mereka ingin sekali mandiri, namun karena pola pemberian bantuan fase tanggap darurat, tingkat kemandirian mereka menurun. Sudah menjadi tugas kita memandirikan mereka.
Caranya bisa bermacam-macam, namun intinya adalah proses pendampingan. Proses pendampingan bisa dilakukan relawan lokal dan dalam waktu tertentu. Pendampingan bisa berisi training atau pelatihan, pembentukan kelompok tani/ternak dan community development. Segmen pun bisa beragam, seperti anak-anak, Ibu-ibu, petani, peternak, dll.
Sejatinya program pemulihan korban bencana adalah membangun peradaban manusia itu dan membangun kepedulian di bangsa ini. Kebiasaan gotong royong dapat dihidupkan di paska ini sehingga pengungsi menjadi subjek dalam pemulihan dirinya. Memang butuh sinergi dari stakeholder untuk menangani bencana, khususnya kepedulian publik terhadap masa pemulihan bencana.
Mari kita galang kepedulian untuk korban bencana, sebagaimana kepedulian kita terhadap timnas.
"Garuda tak hanya di dadaku, tapi di mana-mana di negeri ini"