Sudah habis satu botol minuman teh sedari tadi kumenunggu balasan bbm darimu.
Jeda enam puluh detik kupikirkan akan kubuat apa sambil menunggumu.
Satu film sudah kutonton habis di televisi kamarku sambil berbaring dan sesekali melihat ponselku berdering, kuharap itu kamu. Tapi, bbm balasan darimu belum juga ada.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Puluhan pelanggan bergantian menanyakan ini itu sudah kulayani sedari tadi, tapi bbm balasan darimu belum muncul juga.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Tiga puluh dua lagu sudah kudengarkan melalui MP3 di ponselku sekadar membunuh jenuh menunggu bbm balasan darimu.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Satu novel berhalaman seratus delapan puluh enam sudah habis kubaca dalam satu waktu membuang bosan menunggu bbm balasan darimu.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Satu piring nasi sudah kuhabiskan menghilangkan lapar sambil menunggumu. Tapi, bunyi di ponselku belum juga ada yang berisi bbm balasan darimu.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Dua belas level game kesukaanku sudah kutamatkan mengisi waktuku menunggumu, belum juga ada tanda-tanda bbm balasan darimu. Iya, sekadar huruf R saja belum.
Jeda enam puluh detik kupikirkan lagi akan kubuat apa sambil menunggumu.
Sudikah kauhitung detik per detik itu selama enam puluh detik? Mengikuti nada tik-tok jarum jam. Cukup lama? Iya.
Sayang, kupikir enam puluh detikmu sama dengan enam puluh detikku.
Aku hanya meminta jeda dari setiap sela kesibukanmu, enam puluh detik.
Sayang, kupikir aku sama pentingnya untukmu seperti pentingnya kamu untukku.