Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bali, Joger, dan Keajaiban Kata-kata

20 Agustus 2011   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:37 2463 0
Bagi mereka yang menyukai travelling; ataupun mereka yang tergolong pemerhati gaya busana pasti tak asing dengan JOGER. Ya, Joger adalah suatu brand kaos oblong yang teramat tenar dari pulau dewata. Teknik pemasaran yang digunakan ialah dengan memposisikan Joger sebagai satu cinderamata khas Bali.

Outlet penjualan Joger disengaja hanya disediakan terbatas. Secara umum produk Joger hanya dijual di pulau Bali saja; tidak di tempat lain. Namun justru inilah kiat penting dalam menambah sisi eksklusifitasnya. Didukung dengan harga jual yang beberapa persen diatas rata-rata merk t-shirt lokal lainnya, Joger merupakan buruan bagi mereka yang ingin menyempurnakan jalan-jalan Balinya.

Selain kaos oblong sebagai produk utama yang dipasarkan Joger, mereka juga membuat sandal jepit, gantungan kunci, sticker dan pernak-pernik lainnya. Bila kita cermati, slogan Joger sangat mewakili keseluruhan rangkaian produk mereka, Joger: Pabrik Kata-kata. Ya, Joger menggunakan kekuatan kata-kata sebagai dagangan utama mereka.

Menarik sekali membandingkan dengan beberapa merk merk busana yang lain memilih komposisi warna, teknik jahitan, keunggulan bahan baku, ataupun cita rasa kemewahan. Joger bermain di kelas tengah-bawah dengan harga per item t-shirt antara 60-100 ribuan. Joger menjual kata-kata, dan itu laku lumayan mahal.

Dibanding dengan Joger entah siapa yang lebih dulu, tetapi dari Jogja kita juga mengenal setidaknya dua merk yang tidak jauh beda semangatnya dengan Joger, yakni Dagadu dan Dadung. Kalau lebih lanjut menengok tempat lain, di Bandung orang sudah tidak asing dengan C-59. Akan tetapi penekanan kata-kata di t-shirt C-59 tidak begitu terasa. Tambahan lagi merk C-59 kini tidak lagi eksklusif hadir di Bandung saja. Di Departemen Store luar Bandung tidak begitu susah menjumpai produknya.

Kembali ke Jogja, sedang Dagadu dan Dadung tidak kalah kena coba, produk palsu kedua merk kaos oblong Jogja itu mudah sekali ditemukan di pasar-pasar, atau di toko-toko pakaian kelas bawah. Harganya pun tidak terkendali sangat murah, cuma kisaran 15-25 ribu rupiah. Itulah mengapa, secara umum bisa dikatakan kesaktian Joger dalam menjelmakan diri sebagai produk cinderamata khas Bali (yang membanggakan) belum bisa disamai merek dalam bidang dagangan serupa, seperti misalnya Dagadu atau Dadung dari Jogja.

Keajaiban Kata-kata

Kata-kata yang baik rupanya bermakna luar-biasa. Setidaknya, secara sosial-ekonomi, Joger bisa membuktikan hal ini dengan sangat baik.

Saya jadi teringat dengan tokoh mahsyur dari negeri sakura: Hideyoshi, si "Samurai Tak Berpedang" yang sangat luar biasa. Lahir pada saat negeri Jepang tercerai berai sebagai dampak pergolakan antar propinsi yang saling memerangi, pada waktu itu tidak ada supremasi tunggal yang bisa memayungi jepang sebagai satu negeri yang satu dan perkasa. Berani disimpulkan bahwa wibawa yang dimiliki Tenno ataupun juga Shogunnya tidak cukup ampuh meredam peperangan saudara yang ada.

Konon sepanjang tahun 1500-an yang berdarah itu, berbekal keberanian dan keahlian berkata, si "Monyet" (julukan Hideyoshi:red) seorang putra desa yang miskin tersebut mampu menyatukan Jepang sebagai satu negeri yang utuh. Jepang sukses menyatukan potensi anak negerinya. Jepang terus berprestasi dan kuat hingga keampuhannya masih terasa luar biasa saat ini di pentas dunia. Sungguh luar biasa, seorang kecil, jelek, miskin biasa yang menjadi pemimpin tertinggi Jepang (di samping Sang Kaisar tentunya). Sekali lagi kekuatan kata-kata.

Adolf Hittler, selanjutnya secara alamiah akan tersebut di benak kita apabila menyangkut kepemimpinan dan keajaiban kata-kata. Hittler merupakan seorang Leader besar yang juga dianugerahi kemampuan beretorika luar biasa. Kecakapannya berpidato sungguh sangat menghipnotis massa. Banyak pemimpin dunia lainnya yang diakui atau tidak terilhami kemampuan Pemimpin Jerman itu selepasnya. Tersebutlah nama-nama seperti Fidel Castro, Evo Morales, ataupun juga Hugo Chavez bisa disebutkan untuk itu kepada kita.

Kembali ke tanah air, Bung Karno, tidak boleh kita pandang remeh juga. Kesaktian kata-kata yang beliau punya nyatanya berbuah sebuah bangsa, menjelma sebuah Negara. Tidak main-main, seraya tanpa berusaha mengabai tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya, Bung Karno membuat Negara melalui keahliannya berkata-kata; Membuat Negara.

Perihal kemampuan media massa dalam menggiring opini publik sudah pasti kita tahu bersama kesaktiannya. Terlebih lagi sudah umum disadari di kalangan para pemerhati komunikasi massa, bahwa bila di negara maju suatu fakta berdampak adanya opini publik, di Negara miskin kebalikannya suatu opini publik mudah sekali menjadi fakta. Sekali lagi keampuhan sugesti kata-kata.

Guru dan Indonesia Masa Depan Kita

Catatan ini ditulis ketika banyak di antara kita mencaci-maki timnas Indonesia. Rupa-rupanya, meminjam istilah seorang penyiar di salah satu radio swasta Indonesia, penyakit minderan dan kurang perhatian antar sesama melahirkan beribu pendukung karbitan. Kalau ada ramai-ramai bilang Indonesia bagus mainnya, seperti kereta-musik menarik anak-anak berlomba mengikutinya, berbondong orang setor kebanggaan dan setor tampang bualkan wujud nasionalismenya. Namun ketika kemarin tim kita, dan tentu saja seluruh masyarakat Indonesia mengalami ujian kebangsaan dengan dikalahkan Malaysia 0-3 di Bukit Jalil, Malaysia, kemana para pandu Indonesia?

Seperti amuk air bah tiap pihak saling kecam, saling lempar salah, saling buru dan ahli menyebut kambing hitam kegagalan. Tapi yang lebih menyedihkan, memupus lagi cendawan musim hujan kebanggaan berkebangsaan.

Dan saya bukan pendukung karbitan, ogah masuk golongan kaum munafik yang murah memandang kesetiaan. Saya Indonesia. Kalah, menang, buruk, baik Indonesia adalah saya, adalah rupa diri saya. Ini tanggung jawab saya dalam merupa-wujudkan seperti apa Indonesia. Namun, tidak cuma saya. Ini juga menyangkut anda. Tentang saya, anda, dan pastinya tentang kita. Tentang tanggung jawab kita kepada nusantara dan bendera Merah-Putih kita.  Tidakkah ketika siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela!?

Ketika arus besar publik Indonesia menemukan momentum penguatan kembali semangat kebangsaan kita. Ketika itulah timnas Indonesia diharapkan banyak pihak mempersatukan ego individu dan ego kelompok yang sangat sempit. Indonesia butuh penguatan kolektivitas bersama dalam meretas tujuan pendiriannya. Tujuan bersama yang sungguh mulia, di mana kita semua dengan selamat berhasil dengan gilang-gemilang tiba ke capaian kesentosaan yang kita semua idam-idamkan.

Menghasilkan sebuah tim sepakbola yang kuat memang gampang-gampang susah. Terlepas dari bisa atau tidaknya tim sepakbola kita dalam nanti menutup partai terakhir gelaran Piala AFF 2010, mari terus satukan dukungan untuk kejayaan Indonesia kita. Mencaci Indonesia, tak lain adalah bertepuk di air, terpercik ke muka sendiri juga akhirnya.

Mari kita lebih bijak memilih kata, mari lebih santun menyampaikan semangat berpikir kita kepada yang lainnya. Indonesia dengan 250 juta penduduknya adalah bangsa yang besar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan semua bangsa lain di dunia. Kata-kata ibarat guru di hadapan muridnya, kata yang baik, baiklah muridnya, baiklah masyarakatnya.

Semua dari kita bisa menjadi pahlawan yang pantas dikenang sepanjang masa. Tak peduli apakah kita itu seorang penjual mie goreng, seorang kuli bangunan, seorang olahragawan, seorang pedagang, seorang murid SMP, atau pendeknya siapapun, kita bisa menjadi pahlawan yang dibanggakan. Di setiap tempat kita berprofesi dan berkarya diri, mari terus berikan hasil-hasil cipta, rasa, karsa terbaik kita yang bernilai tinggi dan berguna. Tak hayal, hebat hasil kreasi kita, tentu pada gilirannya hebatlah Indonesia kita.

Maka, dukung terus timnas kita. Kitalah Indonesia ada, Kitalah Indonesia Jaya, Merdeka!!!

Penghujung tahun 2010,

Andik Kurniawan, untuk Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun