Boleh dibilang, jika di Italia Palermo bisa gonta ganti pelatih 5 kali dalam semusim, mungkin PSS juga bisa melakukannya. Tapi tak perlulah berpikir sejauh itu, karena memang tradisi klub-klub di Indonesia identik dengan ganti pelatih setiap musim, bahkan mengganti pelatih di tengah musim berjalan jika tak sesuai target. Kultur sepakbola negri ini memang tak ubahnya di serie A, yang mengutamakan hasil.
Contoh seperti Salahudin di Barito atau Warta Kusumah di Persipasi, hanyalah anomali. Pasang surut pretasi Persipasi sama sekali tak menggoyahkan seorang Warta berpikir meninggalkan tim begitu sebaliknya manajemen. Begitu pula seorang Salahudin, yang butuh 2 musim di divisi utama untuk membawa Barito juara divisi utama dengan materi tim yang tak sementereng kontestan lain.
Kembali ke PSS, lalu bagaimana klub dengan pendukung luar biasa ini? Jawabannya sepele sedang hobi gonta ganti pelatih. Sejak bangkit dari tidurnya musim lalu, tercatat sudah 4 orang menduduki jabatan pelatih. Hanafi belum memulai musim sudah terdepak, walau di tahun kemarin sukses membawa perseba juara divisi 1. Lalu Yusack Sutanto menyerah di pertengahan musim. Berikutnya pelatih lokal Lafran Pribadi yang tak berlanjut di musim ini. Paling terakhir, tentu sosok sekaliber Sartono Anwar yang ikut mengibarkan bendera putih.
Padahal di awal musim ini, Sartono dibekali persiapan panjang dan kebebasan memilih materi tim. Apa susahnya menangani tim seperti PSS ini? Sebegitu besar dan sarat prestasi kah Elang Jawa? Sebegitu bintang kah pemain-pemainnya? Pertanyaan yang mungkin berlebihan, tapi tak ada salahnya sesekali mengkritisi klub yang selalu dipuja-puja di blog ini.
Menjinakkan Local Idol
Jangan menyebut diri Sleman Fans jika tak tahu sosok pahlawan lokalnya, AH8 alias Anang Hadi, satu-satunya pemain sekaligus idola jutaan fans Sleman yang menghuni tim paling lama. Kalau AS Roma punya Totti, maka PSS punya Anang Hadi. Sosok mereka jika disandingkan pun sebelas dua belas. Peran mereka bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi menguntungkan, di satu sisi merugikan. Jangan pernah mencadangkan Totti kalau masih mau aman melatih Roma, itu yang dialami Claudio Ranieri. Ibaratnya sekali saja bentrok dengan kapten kota abadi itu maka seluruh fans akan memojokkan anda.
Ego seperti itulah yang ditakuti akan menjangkiti PSS. Untuk itulah diperlukan cara khusus untuk menjinakkan sang local hero, agar kemampuan terbaiknya bisa keluar. Seperti di musim ini, di laga pra musim, Sartono memainkan pola 3-4-3, dengan tridente Moni-Sakti-Mudah. Seiring waktu berjalan, formasi itupun berubah ke 3-5-2, formasi seperti saat PSS sebelum 2012. Di formasi itu seorang Anang Hadi bisa bermain optimal, dan sering menyumbang gol dari lini kedua.
Tugas baru pun diemban Anang musim ini, setelah berganti-ganti ban kapten di pra musim, wahyu, waluyo, sakti, pilihan pun jatuh pada sang maskot. Pengalamannya di PSS diharapkan dapat menularkan semangat yang “PSS Sekali” pada seluruh skuad tim.
Tipikal Anang sebagai gelandang serang yang produktif coba dimanfaatkan Sartono musim ini. Dengan ban kapten yang melingkar di lengannya, serangan ditumpukan padanya. Sayang kengototan Sartono pada formasi 3-5-2 kurang membawa tuah pada permainan PSS. Sang kapten pun belum sama sekali menyumbangkan gol.
Masih perlu pendekatan yang tepat, agar sang kapten bisa kembali produktif. Di musim lalu, PSS punya Juan Revi yang berperan penting pada mobilisasi lini tengah dan menutup semua areal lapangan. Sehingga seorang Anang bisa bermain leluasa di sepertiga lapangan lawan.
Siapapun pelatih baru PSS nanti, sepertinya perlu untuk menggali lebih banyak potensi sang idola agar kemampuannya meledak, mengingat jargon “no local hero no party” yang kental di PSS. Jadi buat pelatih baru, tolong buat sang kapten bernomor 8 itu bisa berkontribusi maksimal untuk tim.
Mengasah Mental tandang
Kekalahan di Stadion Ketonggo menjadi puncak kekesalan Sleman Fans. Lebih-lebih Super Elja tiba-tiba merosot ke dasar klasemen, dengan menyisakan 2 pertandingan kandang daripada kontestan lain, yang membuat manajemen seperti tak kuasa menahan malu. Puncaknya seperti sudah diketahui, dengan mudahnya Sartono menyerah dan memilih mundur.
Padahal untuk mengubah mental menang di kandang lawan tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi untuk tim seperti PSS yang sudah sangat lama tidak merasakan bagaimana rasanya menang di kandang lawan, mau berapapun jumlah fans yang datang. Silahkan cek di google, tahun berapa PSS menang tandang?
Momen kebangkitan PSS musim lalu pun seakan tak menolong virus ini, sebab bisa dihitung berapa kali PSS main tandang taun lalu, dan hasilnya selalu susah mencetak gol dan tak pernah dapat poin tiga. Upaya untuk memperbaiki mental tandang di awal musim ini serasa telat. Di kala tim kuat divisi utama lain melakukan tur away, PSS justru memperbanyak pertandingan di kandang sendiri, walau memang tujuannya untuk mengeruk pemasukan klub. Giliran melakukan tur away ke Banyumas, hasil yang didapat pun tak optimal, sebab satu laga di Cilacap berakhir ricuh. 2 laga di Banyumas sama sekali belum meluweskan para pemain menggali mental menang tandangnya.
PR berat untuk pelatih baru PSS nantinya. Sebab mengasah mental tandang tak sekedar cukup di latihan semata. Melainkan bagaimana pendekatan strategi dan memotivasi pemain bisa bermain lepas seperti di kandang saat melawat ke tim tamu.
Pelatih Senior atau Pelatih Muda
Ada yang unik bagi PSS di dua musim ini. Ketiga pelatih di luar lokal Sleman semuanya berlabel pelatih senior. Dan semuanya bernasib sama, tak bisa menyelesaikan musim. Pelatih galak sarat prestasi seperti Sartono pun kesulitan menangani tim seperti PSS. Mungkin pendekatannya yang keras dan disiplin tak membuat pemain nyaman, atau mungkin ada faktor-faktor lain di luar itu.
Sedangkan pelatih muda di 2012, seperti Widyantoro justru berhasil mengangkat performa PSS, walaupun masih sulit mengeruk poin di kandang lawan, namun permainan PSS dengan materi seadanya tahun itu membuat fans jatuh hati.
Pelatih muda lainnya seperti Lafran Pribadi pun mampu mengangkat performa pemain, walau masih belum teruji selama satu musim dan dengan tekanan di partai tandang, setidaknya mengindikasikan jika PSS mungkin lebih berjodoh dengan pelatih muda.
Dan itu terlihat di dua partai terakhir melawan wakil dari Blitar, bersama kolaborasi pelatih-pelatih muda, PSS mengeruk 8 gol, dan separuhnya disumbangkan para penyerang, posisi yang di awal musim jadi sorotan.
Jadi mau muda atau senior, mau yang medioker atau berprestasi, pelatih Super Elja ke depan setidaknya adalah yang mampu beradpatasi dan kemudian memahami para pemain PSS. Sambil mengikis beban berat di pundak: lolos ke ISL tahun depan!
Ya, Elang Jawa butuh pawang yang tepat untuk terbang ke kasta tertinggi dan terus menginjak bumi.