Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Secantik Polaris, Sekuno Borobudur, Sehebat Atlantis

30 April 2012   05:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:56 2077 2

“Polaris itu apa sih?”

“Nama café ini Mas”

“Iya, saya tahu, tuh papan namanya!”

“he he he”

Demikian dialog singkat saya dengan gadis berparas ayu bertubuh semampai itu, ia mengakhiri perbincangan kami dengan tawa kecil manisnya yang ramah. Saya berlalu senang, ekor mataku tak kuasa tak meliriknya. Sempurnalah Tuhan mencipta kaum Hawa seindah dia, demikian rasaku melayang sambil menatap takjub langit-langit ruang yang sempit namun apik itu.

Sambil menanti kopi pesanan, saya berbenak nakal, “cantik-cantik kok bodoh….!” bodohlah menurut saya, karena dia yang bekerja di situ tak tahu arti Polaris. Kalau saya waktu itu tak mengetahuinya, wajar dan tak bisa dikatakan bodoh. Orang yang merasa tampan dan senarsis saya ini, cukuplah dikatakan “tak tahu” saja.

Polaris dalam benakku saat di bulan oktober dua tahun lalu itu, tak lebih menggambarkan suatu benda yang berpola indah seperti café itu. Mungkin dua pramusaji cantik itu justru mengartikan polaris sebagai bahasa latin yang berarti "pelaris" jualan. Karena nikmatnya cappuccino yang disajikan dengan sunggingan senyum si pelayan, jadilah saya tak begitu peduli apa arti Polaris, hingga sebelum saya menuliskannya kini.

Lagian saya bertanya hanya iseng kala itu, tak lengkaplah rasanya jikalau hanya memandang  diam-diam parasnya yang cantik. Suara lembut saya butuhkan saat itu, karena empat hari berada di Jakarta saya tak pernah melihat wajah cantik dan mendengar suara lembut istriku, kecuali lewat telepon “kapan ki pulang sayang…..!”. (he he he, takut kalo my wife sempat kesasar ketulisan ini).

Bagi nelayan, polaris adalah bintang penanda letak titik langit bagian utara dengan menarik garis lurus dari dua bintang alfa dan beta ke arah cakrawala atau horizon, menurut tante wiki. Karena saya hobbi memancing, saya tahulah fungsi bintang ini. Nelayan di kampungku menyebutnya bintoing.

Sekadar Anda tahu, sebelumnya saya tak peduli sejenis makanan apakah itu Polaris, tetapi om google mengarahkan saya ke tulisan tentang jejak astronomis candi Borobudur. Hebatlah leluhur para Austronesian seperti kita, karena ternyata stupa pada puncak candi terbesar di dunia itu adalah petunjuk arah mata angin. salah satu fungsinya, meneropong letang bintang utara.

Penelitian selama 2,5 tahun oleh Tim Arkeo-Astronomi Borobudur yang hampir sama lamanya setelah saya bertanya pada pramusaji di café Polaris itu, menemukan bahwa stupa utama ternyata berfungsi sebagai gnomon, yaitu alat penanda waktu yang memanfaatkan bayangan sinar matahari.

Seperti tulisan saya ini, tak lebih hanyalah penanda bagi saya bagaimana mengabadikan jejak ingatan agar tak lupa dengan arti Polaris. Catatan bertele-tele ini, juga menjadikan kenangan indah saat di Jakarta kala itu sebagai pemicu ingatan untuk secercah pengetahuan yang ternyata amat penting ini.

Andaikan “dongeng” Arysio Santos itu benar bahwa Indonesia adalah bagian dari bekas kerajaan Antlantis yang makmur dan bertekhnologi tinggi pada belasan ribu tahun lalu, maka Borobudur adalah petunjuk yang penting bahwa memang sejak zaman bahulea, nenek moyang kita adalah pelaut yang menjelajah bagian bumi dengan hebatnya. Buktinya, ada relief kapal Samudra Raksa pada dinding Borobudur.

Catatan Plato lah yang menginspirasi Santos melakukan penelitian selama 30 tahun. Dalam dokumen kuno itu tertulis bahwa “Ada sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik arah barat Laut Tengah yang sangat jauh, yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya. Istana dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak.”

Menurut Plato lagi, Atlantis yang adalah negeri yang hijau, berada di antara dua pilar Hercules, dikelilingi dinding tembok dalam istana bertahtakan emas, cemerlang dan megah. Di sana, tingkat perkembangan peradabannya memukau orang. Memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah ia dalam sehari ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.

Akh, perlu diteliti lebih dalam lagi. Sehebat-sehebatnya peradaban atlantis yang menurut Santos adalah Indonesia, pastinya kita kurang hebat karena pernah dijajah tiga setengah abad. Kini, ilmu pengetahuan dan tekhnologi kita jauh tertinggal. Saat ini, negeri tercinta juga porak-poranda karena hutang luar negeri yang kemudian diperparah dengan hasrat korup serta kepentingan berkuasa para politisi.

Atlantis biarlah menjadi dongeng pengantar tidur. Borobudur adalah nyata yang harus melecut spirit anak bangsa untuk tetap maju, karena nenek moyang kita tidaklah seculung seperti kita sekarang. Pendahulu kita pandai mengeksplorasi alam untuk kepentingan kesejahteraan tidak malah menjual kekayaan buminya ke negara lain. Mereka memiliki tekhnologi tinggi di zamannya karena mereka mau belajar, tidak justru para tekhnolog kita lari ke luar negeri karena tak punya tempat di negeri yang kurang menghargai ilmuwan ini.

Seandainya dulu ada sepak bola, saya yakin Atlantis pemegang terbanyak trophy piala dunia mengalahkan Brasil. Tim Persipura juga saya yakin bisa mengalahkan Barcelona di Liga Champions. (mimpi kali yeee..)

Sebelum tahun 800, Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Bintang terang ini mudah diamati karena hanya bergerak di sekitar horizon (ufuk langit). Namun, sejak tahun 800 hingga kini, posisi Polaris semakin di bawah horizon akibat gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari) sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari Nusantara.

Karena Polaris tak bisa diamati, pelaut kini mencari bintang penanda utara lain, yaitu rasiUrsa Mayor(Beruang Besar). Jika dua bintang paling terang dalam rasi ini, yaitu Dubhe dan Merak, ditarik garis lurus, akan mengarah ke Polaris. Hal ini membuat Ursa Mayor menjadi penanda arah utara lain.

Ternyata Borobudur yang masih menyimpan misteri bagaimana caranya batu-batu besar yang keseluruhuan beratnya beribu-ribu ton itu diangkut,  tak hanya dibangun oleh Dinasty Syailendra sebagai tempat pemujaan Budha. Tetapi juga sebagai penanda arah, waktu dan juga penentu musim bertanam kala itu.

Ternyata pula, nama café yang saya singgahi itu memiliki peramu saji yang matanya cantik seterang Polaris, walau pengetahuannya ternyata segelap misteri Atlantis. Kelak jikalau saya yang kampungan ini ke Jakarta, akan saya singgahi café itu yang saya lupa posisi tepatnya, karena saat di taxi saya tertidur dan tak membawa peta GPS sebagai penunjuk arah. Saya hanya ikut-ikutan sama teman yang paham lekuk ibukota yang macet itu.

Bantaeng, 30 April 2012

Note: Untuk menuju ke sumber tulisan ini, silahkan klik tulisan bercetak biru.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun