Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mengenang Jenderal M Jusuf Saat Negara Terancam

23 Juli 2011   15:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 20445 6
Seolah masih seperti tiga puluh tahun lalu. Jalan raya sepanjang Kajuara menuju Watampone masih beraspal sempit. Di kiri kanan jalan, nampak rumah warga berdiri sederhana, tak ada bangunan mencolok dan berkesan mewah. Bahkan, masih kita temui rumah-rumah panggung yang adalah bangunan khas Bugis Makassar. Jalan yang menghubungkan Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjai ini adalah jalan poros propinsi. Saya melaluinya minggu lalu, saat mengantar Ibunda yang sakit menuju tanah kelahiran saya di Kabupaten Bone.

Menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Bantaeng, mengharuskan saya membunuh kebosanan dengan memandang bebungaan, pohon , rumah dan segala bentuk yang tertangkap mata lelah saya sambil menikmati hentakan mobil yang sesekali terperosok di lubang kecil. Sepertinya, memang jalanan butuh perhatian pemerintah propinsi Sulawesi Selatan.

Memasuki perbatasan Kajuara, saya tak melihat tulisan di gerbang perbatasan, seperti yang pernah saya temui di Kota Pare-Pare, Sulsel. “Di Kota ini Lahir Baharuddin Jusuf Habibie, Mantan Presiden Republik Indonesia”, demikian tertulis membanggakan di gerbang kota yang digelari Bandar Madani itu. Siapa tidak bangga, jikalau di tanahnya pernah lahir sosok pemimpin besar yang begitu dicintai.

Sebagai warga Sulsel, saya tak pernah melewatkan tulisan itu setiap kali melalui gerbang kota Pare Pare. Menyusup rasa kagum dan cinta tak terlukiskan pada tokoh Habibie, yang saya yakin pula banyak dicintai warga Indonesia lainnya. Di Kajuara, saya bersedih. Bukan karena tak tertuliskan sesuatu di gerbang yang hanya Ibu Kota kecamatan itu, tetapi teringat salah satu tokoh nasional yang juga pernah lahir di tempat itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun