Konon, coto kuda hanya hidangan yang disiapkan khusus untuk para Karaeng (Bangsawan) dan tamu Balla Lompoa (Istana) Kerajaan Jeneponto di masa lalu. Kabupaten Jeneponto, yang berada di bagian Selatan, Propinsi Sulawesi Selatan.
Panas menyengat di siang hari dan tiupan kencang angin di malam hari, akrab di daerah ini. Maklum, posisinya berhadapan langsung dengan Laut Flores. Jeneponto bisa disebut “Texas” nya Sulawesi Selatan. Streotipe warganya yang cenderung keras, salah satu sebabnya karena kondisi alamnya yang cukup ekstrim.
Jeneponto yang mendapat julukan Bumi Turatea, adalah wilayah paling ‘kering’ di Sulawesi Selatan. Posisinya yang berada disepanjang pesisir pantai, menurut kawan saya, seorang arsitektur dan peminat Arkeologi bahwa pada awalnya Jeneponto adalah bagian dari lautan yang terakhir kali muncul sebagai daratan di Sulawesi Selatan. Tanahnya yang berpasir, dan berkapur membuat wilayah ini bertopografi gersang. Hanya palem-paleman yang bisa tumbuh baik di daerah ini. Kegersangan melahirkan padang savana yang membentang luas.
Padang Savana adalah tempat dimana para kuda bisa bertumbuh kembang dengan baik. Wajar saja, jikalau di daerah ini banyak kuda nya. Menurut informasi, kuda juga banyak didatangkan dari Bima, Kupang dan Flores. Di Pasar hewan Tolo jeneponto, ada sekitar 60 hingga 70 transaksi jual beli kuda. Transaksi ini bisa dua kali lipat saat lebaran Iedul Fitri menjelang. Coto Kuda atau Coto Jarang, banyak tersebar disepanjang jalan Jeneponto. Jarang adalah bahasa daerah untuk kuda (Equus ferus caballus), bagi orang Makassar.