Pagi itu, belum terlihat perahu nelayan melaut. Semua memarkir perahunya di pantai, sambil menyibukkan diri menjahit pukat. Cuaca yang sulit diprediksi musim ini, membuat nelayan khawatir melaut.
Tiga hari yang lalu, kudengar kabar berita kapal bertabrakan dan tenggelam antara Kapal Motor Trisal Pratama yang bertabrakan dengan Kapal Motor Indimatam V, di perairan Selayar, Sulawesi Selatan yang berdekatan dengan perairan Bantaeng, dimana kotaku berada. Tim SAR masih berposko di Pantai Seruni, Bantaeng untuk mencari penumpang dan awak yang hilang. Perkembangan terakhir, saya belum tahu. Menurut informasi pencarian masih terus dilakukan.
Air laut nampak begitu keruh. Aktifitas penebangan hutan, dipegunungan Bantaeng, mengakibatkan air sungai membawa lumpur ke laut. Dulu, muara sungai Kaili yang banyak dihuni ikan kerapu dan jenis ikan muara lainnya, sudah begitu dangkal dan ikan-ikan tersebut sudah sulit didapatkan. Sejam berlalu, tak satupun ikan tertipu mata kailku. Entah, pada kemana ikan-ikan tersebut. Biasanya kalau air muara jadi keruh seperti ini, ikan lele berkeliaran mencari makan. Ikan Lele, yang termasuk jenis ikan rakus, dan gampang ketipu, bisanya banyak saya dapatkan pada keadaan seperti ini.
Pak Taufik, teman kantorku yang secara kebetulan bertemu di Muara Kaili, terlihat bosan dan bersungut-sungut karena mata kailnya yang berkali-kali tersangkut di bebatuan ataupun sampah, hasil buangan warga ke sungai. Memancing adalah penantian sabar untuk sebuah sensasi yang tidak terduga. Sensasi hentakan ikan yang menyambar rakus mata kail. “Strike…..strike…. !” aku berteriak girang. Rool joranku yang tidak terpelihara baik ternyata kurang berfungsi. Akhirnya aku menarik ikan yang belum ketahun jenisnya itu dengan tangan. Terasa berat dan meronta. “Sial….” Aku bersungut jengkel.