Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Modal Sosial

21 Januari 2014   15:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 34 0
Di layar yang tergantung di langit-langit kedai Malay Vilage Citos Cilandak, ada diberitakan petugas kantor anti korupsi membawa mantan ketua umum demokrat Anas Urbaningrum.

Jika melihat ada tivi di satu restoran, saya selalu ingat Tuan Yana, kepala sekolah di sekolah islam di kota Cirebon yang juga teman semasa kuliah di Bandung. Ia adalah orang yang hatinya lurus-lurus saja dan selalu punya ilmu negatif thinking bilamana dilihatnya satu restoran atau warung makan ada tivi maka ia selalu menghindar untuk masuk.

"Jangan gara-gara kita mau makan, pelayanannya jadi ga bisa nonton pak." Begitu dia menjelaskan.

Tetapi sore ini memang saya ada janji bertemu disana dengan Nyonyah Lilis, ibu satu anak yang bersama suaminya Tuan Isa adalah penggiat pendidikan dasar dan komunitas. Sekalian mungkin ada hal-hal menarik yang dia ingin sampaikan, itu karena selalu menyenangkan berbincang-bincang dengan mereka.

Dan Nyonya Lilis datang satu jam lebih lambat dari yang dijanjikan, dia bilang karena kurang enak melanggar aturan pulang jam 4 sore. Ini tentu saja basa basi biasa-biasa saja.

Setelah memesan teh panas pahit dan tahu goreng bawang putih yang terlalu banyak bawangnya ketimbang tahunya dia bercerita tentang TK kecilnya yang sudah pindah ke rumah yang agak besar di pojok. Sementara dia sendiri sekarang menjadi tenaga konsultan bagi proyek-proyek pendidikan dasar di kementerian.

Di tivi Tuan Anas seperti berbicara sesuatu menghadap banyak wartawan, tetapi karena si tivi ada di atas dan memang tidak ditujukan untuk didengar jadinya seperti menonton film bisu.

Saya pikir kenapa tivi tadi ditaroh di atas dan tidak bersuara itu memang mungkin dimaksudkan untuk membantu pengujung mengalihkan kekecewaan mereka pada rasa makanan atau mengisi waktu menunggu pesanan yang terlalu lama dimasak.

Tetapi pada empat pria yang duduk di bagian boleh merokok saya rasa berita Anas di tivi tadi memang tidak terlalu menarik. Juga pada rombongan keluarga yang anaknya sudah besar-besar, mereka tidak ambil pusing dan sibuk dengan nasi lemak pesanannya. Sementara pria di sebelah kami makan dengan cepat roti prata kuah ayam dan sepertinya tidak ingin orang atau ribut-ribut di tivi merampas waktu makannya.

Jadi Tuan Anas yang dianggap orang sebagai generasi baru kaum muda, modal sosial baru perpolitikan kita yang menjanjikan dan akan lebih baik mudah saja diabaikan orang.

Itu benar sekali, karena di pinggir dekat pintu masuk, seorang ibu tua dengan pakaian melayu yang makan sendirian beberapa kali memanggil pelayan memastikan bahwa tidak ada gula yang dimasukkan ke dalam jus sirsak pesanannya. Ya dipikir-pikir baginya itu jauh lebih penting bagi hidupnya tokh Anas ditangkap atau tidak itu tidak akan menyembuhkannya dari ancaman penyakit gula.

Lepas bercakap-cakap soal pendidikan, Nyonyah lilis membayar tagihan, dan ini bagian paling menyenangkan. Itu karena saya pikir teori yang bilang "There is no free lunch" tidak benar sebab selalu ada makan siang gratis, hanya persoalannya siapa yang mau bayar tagihannya saja.

Di luar gerimis yang turun dari jam tiga sore semakin membesar saja. Membuat jalan di depan penuh dengan kendaraan merayap sangat pelan. Ini benar-benar menutup harapan orang-orang untuk tiba sampai rumah dengan cepat. Mobil dan motor merapat hampir tidak bergerak dan hujan mengguyur orang-orang bermotor yang lebih baik pulang basah daripada tidak bertemu keluarga.

"Tiap hari begitu saja sampai 2-3 jam atau lepas magrib atau isya baru sampai rumah. Ga tahu sampai kapan begini aja" Nyonyah Lilis menerangkan jalan TB Simatupang yang padat mengerikan.

Saya jadi ingat poster besar yang dipasang dinas transportasi darat kota Singapura di seng-seng pembatas proyek MRT new line Orchard ke Woodland gambar sepasang pria wanita memohon maaf atas ketidaknyamanan jalan akibat proyek.

"Mohon maaf atas keterlambatan dan ketidaknyamanan ini. Insya Allah dalam 2015 kita punya MRT baru dan membawa anda 10 menit lebih cepat kepada keluarga".

Ya, negara-negara seperti Singapura memang pandai menjaga modal sosial rakyatnya. Mereka memastikan bahwa segala keterlambatan dan macet ini ada alasan juga manfaatnya. Dan lebih penting lagi ada kejelasan kapan berakhirnya. [ ]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun