Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary

Jagalah Kesehatanmu Sebelum Datang Hari Tuamu

12 Februari 2024   17:53 Diperbarui: 12 Februari 2024   17:56 85 8
Saat kita bangun. Bersyukurlah atas anugerah satu hari itu meskipun badan terasa sakit, penglihatan kabur dan pusing. Kita masih bernapas bersama dengan para lansia yang masih hidup dan 1 miliar orang di seluruh dunia.

Mereka bilang kita bisa hidup sampai usia 80 atau 90 tahun dengan layanan kesehatan yang lebih baik saat ini. Siapa tahu Anda termasuk salah satu dari 426 juta orang berusia delapan puluh tahun yang jumlahnya diperkirakan meningkat tiga kali lipat antara tahun 2020 dan 2050.

Bonus usia antara 60 dan 80 tahun secara romantis disebut "tahun matahari terbenam yang keemasan". Ahh, kesannya bagus sekali. Terutama di kalangan orang tua yang tidak suka dianggap orang tua atau senior.

Coba Anda pikir, apa yang membahagiakan dari menghabiskan tahun-tahun ekstra keluar masuk rumah sakit, melakukan kunjungan rutin ke klinik dokter, dicolek sana-sini, ditusuk untuk tes kimia darah, menjalani MRI dan berbagai scan dan menjalani cuci darah mingguan karena gagal ginjal atau terserang stroke yang membuat separuh tubuh Anda lumpuh dan degenerasi?

Semua itu menuntut banyak waktu dan perhatian, belum lagi uang, dari anak-anak kita karena kita, orang tua mereka yang sudah lanjut usia, bergantung pada mereka. Kenyataan yang nyata adalah bahwa beban yang mereka tanggung semakin berat dan semakin lama semakin melampaui batas kemampuan mereka.

R menghadiri pemakaman salah satu bibinya yang masih tersisa. Beliau hidup sampai usia 92 tahun. Satu hal yang R perhatikan adalah tidak adanya isak tangis seperti biasanya. Anggota keluarga tampak lebih lelah ketimbang sedih.

Mendiang bibinya sudah sakit parah, dalam tahap awal demensia, ketika beliau meminta untuk dipulangkan dari California lebih dari setahun yang lalu. Beliau telah bekerja keras di negara itu untuk menabung untuk menghadapi kemungkinan ini.  

Tentu saja hal ini sangat merugikan keluarga secara finansial dan psikologis. Dikurung di ICU tiga hari sebelum meninggal, beliau meninggalkan sebuah keluarga yang masih berjuang untuk membayar tagihan rumah sakit yang membengkak. Tabungan yang disisihkan sudah lama habis. Jadi bisa dipahami, mengapa bahkan setelah mendiang ibu pemimpin tersebut beristirahat selamanya, keluarga tersebut masih tidak dapat bernapas lega.

Indonesia seharusnya menjadi tempat yang baik bagi para lansia yang sakit dimana anak-anak dan kerabat dekat dapat diandalkan untuk memberikan dukungan penuh kasih hingga akhir.

Setiap keluarga di Indonesia harus mempunyai "martir yang ditunjuk", sebaiknya seorang anggota perempuan lajang yang akan mengabdikan hidupnya untuk merawat orang tuanya sampai akhir. Selebihnya anggota keluarga yang lain tentu saja diharapkan untuk memberikan dukungan moral dan finansial.

Ketika orang tua yang terbaring di tempat tidur dan hampir tidak sadarkan diri terus bernapas terlalu lama dan tidak ada "martir yang ditunjuk" untuk merawat orang tua tersebut, maka tugas tersebut bisa diserahkan kepada kerabat yang menganggur dan diberi tunjangan tetap. Jika anggaran memungkinkan, keluarga tersebut bisa juga menyewa pengasuh profesional sehingga mereka semua dapat melanjutkan hidup masing-masing.

Hal ini ternyata membawa kita pada permainan saling  menyalahkan terkait pendanaan. Kadang-kadang anggota keluarga yang lebih kaya yang sejak awal menjadi donatur, dibuat sadar oleh mertua yang berbisik-bisik bahwa ia juga harus mewajibkan anggota keluarga yang lain untuk turut serta juga.

Renungkan semua ini sebelum Anda bangun dari tempat tidur dan mengatakan ini adalah hari yang baik untuk dijalani.

Bayangkan Anda memiliki tubuh yang menua. Berjalan menuju klinik. Pulang dengan menenteng kantong plastik berisi semua jenis obat yang diresepkan.

"Uang sepertinya lolos dari genggamanku," adalah salah satu baris dari film "Amadeus" yang terlintas di benak kita ketika dana kecil yang kita simpan untuk perjalanan akhir kita semakin berkurang. Dengan inflasi, tidak akan pernah cukup untuk menanggung biaya mahal yang harus kita hadapi saat menunggu di ruang tunggu keberangkatan.

Mungkinkah membebani anak-anak kita yang juga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup di masa inflasi seperti ini.Ini lebih merupakan masalah empati.

Kita melihat orang-orang di tanah air tercinta ini baik dewasa muda maupun paruh baya yang sudah menikah, kini memikul beban menghidupi dua keluarga, keluarga mereka sendiri dan orang tua mereka yang tinggal bersama mereka di bawah satu atap.

Bahkan ada seorang duda dengan dua anak yang tumbuh pesat, ragu-ragu untuk menikah lagi. Dia lebih memilih memberikan gaji ekstranya kepada orang tuanya yang memiliki masalah kesehatan tiada henti.

Maka dari itu selagi kita masih sehat, jagalah kesehatan itu agar tua nanti kita tidak menjadi beban bagi anak-anak kita kelak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun