Untuk meningkatkan upaya mereka mendapatkan pengaruh global yang lebih kuat, negara-negara BRICS berencana untuk meningkatkan keanggotaannya. Salah satu agenda utama dalam pertemuan puncak kepala negara BRICS pada 22-24 Agustus di Johannesburg adalah rencana untuk menciptakan mata uang BRICS.
"BRICS telah memperoleh posisi yang sangat penting di dunia, dengan banyak negara di berbagai benua di dunia yang berupaya menjadi bagian darinya," kata Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa.
Agenda besar Tiongkok adalah meminta seluruh anggota BRICS mendukung diplomasi politik yang telah dilakukan Tiongkok di beberapa belahan dunia. Misalnya, Tiongkok berhasil melakukan kudeta diplomatik besar-besaran pada bulan Maret ketika mereka mengumumkan pemulihan hubungan antara sekutu lama AS, Arab Saudi dengan Iran yang menjadi target AS, yang telah diam-diam diupayakan selama berbulan-bulan.
Terobosan tersebut telah menghasilkan beberapa langkah berharga menuju deeskalasi di Timur Tengah. Hal ini juga membuat kedua negara dan Uni Emirat Arab, sekutu utama Saudi, lebih dekat dengan sistem perdagangan non-AS yang didirikan oleh BRICS.
Para pakar mengatakan aksesi Arab Saudi ke BRICS telah mendukung upaya Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk mendiversifikasi perekonomian negaranya, sebuah upaya yang telah membawanya lebih dekat ke Rusia dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir. Tiongkok adalah pelanggan minyak terpenting kerajaan tersebut, sementara Saudi mengandalkan hubungan dengan Rusia untuk membantu menaikkan harga minyak mentah melalui OPEC+.
Negara-negara lain yang dilaporkan menyatakan minatnya untuk bergabung dengan BRICS termasuk Afghanistan, Bangladesh, Belarus, Komoro, Kuba, D.R. Kongo, Gabon, Guinea-Bissau, Kazakhstan, Nikaragua, Nigeria, Pakistan, Senegal, Sudan, Suriah, Thailand, Tunisia, Turki, Uruguay, Venezuela, dan Zimbabwe.
Beberapa analis keuangan mengatakan pembentukan euro pada tahun 1999 adalah model yang layak untuk usulan mata uang BRICS. Namun, hal ini memerlukan pembentukan bank sentral baru dan kesepakatan di antara negara-negara BRICS untuk menghapuskan mata uang negara mereka sendiri.
Inti dari rencana BRICS untuk membentuk mata uang cadangan baru adalah perang dagang AS dengan Tiongkok, serta sanksi AS terhadap Tiongkok dan Rusia. Setelah Rusia menyerang Ukraina, para pejabat Rusia telah memperjuangkan de-dolarisasi untuk meringankan dampak sanksi yang mencegah bank-bank Rusia menggunakan SWIFT, sistem pesan global yang memungkinkan transaksi bank. Negara-negara Barat juga membekukan cadangan devisa Rusia sebesar $330 miliar pada tahun lalu.
Peralihan dari dolar sebagian diatur oleh Tiongkok. Presiden Xi Jinping berupaya untuk memberikan peran yang lebih besar bagi yuan dalam sistem keuangan global dan pemerintahannya telah menjadikan perluasan penggunaan mata uang tersebut di luar negeri sebagai prioritas.
Mihaela Papa, salah satu penyelidik proyek penelitian Rising Power Alliances, mengatakan: "Euro versi BRICS kemungkinan besar tidak akan ada saat ini; tidak ada negara yang terlibat yang menunjukkan keinginan untuk menghentikan mata uang lokalnya." Namun dia menjelaskan bahwa landasan untuk hal ini sudah ada. "Pada tahun 2010, Mekanisme Kerja Sama Antarbank BRICS diluncurkan untuk memfasilitasi pembayaran lintas batas antar bank BRICS dalam mata uang lokal. Negara-negara BRICS telah mengembangkan 'BRICS pay'---sebuah sistem pembayaran untuk transaksi antar BRICS tanpa harus mengubah mata uang lokal menjadi dolar."
Potensi dampak mata uang baru BRICS terhadap dolar AS masih belum pasti, dan para ahli memperdebatkan potensinya untuk menantang dominasi dolar. Namun, jika blok tersebut berhasil menciptakan mata uang BRICS dan mata uang ini stabil terhadap dolar, hal ini dapat melemahkan kekuatan sanksi AS sehingga menyebabkan penurunan lebih lanjut nilai dolar yang akan menimbulkan implikasi signifikan terhadap perekonomian global.