Perang propaganda berada pada titik tertingginya. Kebenaran perlahan-lahan mulai memudar karena masyarakat Gaza tercekik karena tidak adanya listrik, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar dan tidak ada internet untuk membuat penderitaan mereka tidak terlihat dan tidak terjangkau.
Hukuman kolektif terhadap orang-orang yang tidak bersalah sama saja dengan kejahatan perang. Pelapor PBB untuk Wilayah Pendudukan mengatakan bahwa pembalasan Israel yang tidak proporsional terhadap serangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober sudah mengarah pada "pembersihan etnis massal," yang dibenarkan atas nama pembelaan diri. Dan sekarang Israel memaksa lebih dari satu juta warga Gaza mengungsi saat mereka melancarkan invasi darat yang dapat menyebabkan genosida.
Sementara itu, para pengambil keputusan dan pemodal yang mengendalikan media arus utama Barat selalu memaksakan narasi tertentu agar masyarakat tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Gaza.
Untunglah ada gambar dan video yang beredar berkat ponsel pintar, teknologi digital dan media sosial yang mengungkap dan memberikan narasi yang berbeda.
Akibatnya, terjadi pergeseran opini publik seperti yang terlihat dalam demonstrasi besar-besaran yang mendukung Palestina di seluruh dunia Barat untuk menghentikan pelanggaran Israel terhadap hukum kemanusiaan dan hukum internasional yang mempermalukan pemerintah mereka sendiri yang mendukung penuh Israel.
Sebagai tanggapannya, misinformasi dan disinformasi merajalela. Terutama ketika ada upaya yang disengaja untuk memanipulasi konten dan pesan untuk menyebarkan kerangka kerja dan agenda tertentu.
Bahkan para jurnalis dan media yang paling "profesional" sekalipun terlibat dalam menyebarkan klaim-klaim yang tidak terverifikasi yang disuarakan oleh para pemimpin dunia sehingga meningkatkan permusuhan dan memicu kekerasan lebih lanjut.
Sebagian besar pemerintah negara-negara Barat telah kehilangan seluruh kredibilitas dan landasan moral mereka dan juga norma-norma hukum internasional dan hak asasi manusia mereka karena mereka secara sadar menutup mata dan mengambil pandangan sepihak sambil menekan negara-negara lain untuk melihat segala sesuatunya berdasarkan sudut pandang mereka sendiri.
Pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan pelanggaran hak asasi manusia terang-terangan yang dilakukan oleh Israel ditoleransi dan bahkan justru mendapat dukungan politik dan militer. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres diserang habis-habisan karena mengungkapkan keprihatinan dan menyatakan fakta tentang akar konflik.
Menargetkan dan membungkam jurnalis, mengintimidasi jaringan berita, melecehkan platform media sosial dengan menghapus postingan dan menutup akun karena konten mereka pro-Palestina dan bahkan mengkriminalisasi pembawa bendera Palestina adalah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh para diktator otoriter yang jelas-jelas bukanlah sifat dasar para pemimpin barat yang katanya paling demokratis.
Semakin banyak standar ganda, bias dan pemberitaan tidak seimbang yang ditunjukkan oleh para benteng demokrasi maka mereka akan semakin sulit untuk mengadvokasi dan membela kebebasan berekspresi.
Saat ada yang berdiri dalam solidaritas dengan Palestina dan hak-hak warga Palestina. Saat ada yang mengutuk penargetan semua warga sipil yang tidak bersalah, mengutuk semua tindakan kekerasan, pemimpin Barat malah meminta agar rakyatnya mengecam hak rakyat Palestina untuk melakukan perlawanan dan hak mereka untuk hidup bermartabat dan damai.
Israel mencemooh hukum internasional selama beberapa dekade, memperluas pemukimannya dengan mencaplok wilayah Palestina dan mengusir warganya dari rumah mereka sendiri serta secara paksa menggusur mereka.
Gaza telah diblokade selama 16 tahun. Human Rights Watch telah menetapkan bahwa pasukan Israel telah menggunakan senjata kimia terlarang berupa fosfor putih di Gaza dan lokasi di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon. Semua ini berada di bawah pengawasan organisasi internasional dan negara-negara Barat namun belum ada yang mampu mengambil tindakan efektif untuk menghentikan kekejaman ini.
Komunitas internasional segera menyerukan gencatan senjata dan akhirnya dapat mengirimkan sejumlah bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan untuk mencegah bencana yang lebih parah.
PBB tidak berdaya karena adanya perpecahan. Guterres mengeluhkan perpecahan internal dan polarisasi yang menghambat PBB dalam mengambil tindakan efektif sehingga mendorong beberapa negara untuk menunjukkan perannya dalam menjaga perdamaian dan keamanan.
Sistem internasional tampaknya sedang runtuh. Apakah tatanan dunia baru sedang bangkit?
Ruang dan waktu untuk berdialog semakin menyempit.
Ada begitu banyak misinformasi, disinformasi, ujaran kebencian, dan konten bias sehingga menyebabkan lebih banyak polarisasi dan ketegangan. Kita perlu tetap berpikiran terbuka, hati terbuka dan mata terbuka untuk memahami keseluruhan cerita.
Tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan.