Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Limbah Makanan adalah Tanggung Jawab Kita Semua

7 Desember 2023   20:22 Diperbarui: 7 Desember 2023   20:33 104 7
Perilaku manusia yang suka menyia-nyiakan makanan menjadi penyebab utama terjadinya sampah makanan.

Hanya manusia yang suka menyia-nyiakan makanan atas nama kemakmuran, budaya, dan estetika.

Sepertiga dari makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia dalam hal berat badan dan seperempat dari jumlah kalori terbuang secara global.

Sebuah perkiraan menunjukkan bahwa hingga 40 persen makanan hilang antara masa panen dan konsumsi. Persentasenya bahkan lebih tinggi di Timur Tengah dan Afrika Utara meskipun wilayah tersebut sebagian besar merupakan wilayah gersang dan populasinya terus bertambah yang sangat bergantung pada impor pangan senilai sekitar $33 miliar setiap tahunnya. Sekitar 44 persen kehilangan dan pemborosan pangan di wilayah ini terjadi terutama di tingkat rumah tangga.

Penduduk perkotaan harus disadarkan akan ketatnya produksi pangan karena mereka relatif tidak peka. Yang lebih buruk lagi adalah konsumen modern yang terlalu memanjakan diri dan selalu bingung dengan label "best before," "use by" dan "sell by"  pada suatu produk sehingga menyebabkan makanan dibuang sebelum waktunya.

Peraturan kesehatan dan keselamatan juga menyebutkan bahwa makanan yang tidak terjual harus dibuang dan bukannya disumbangkan.

Faktor lain juga berperan saat ada yang memiliki pikiran bahwa membuang makanan lebih murah biayanya ketimbang menyimpan, mengangkut atau menggunakannya kembali.

Faktor logistik seperti transportasi dan penyimpanan, siklus permintaan-penawaran dan fluktuasi harga juga berperan.

Biasanya, pangan keluar dari rantai pasokan karena berbagai alasan. Terutama karena kualitas, penampilan, nilai, kelebihan dan preferensi.

Disamping hilangnya makanan terjadi selama panen, sisa makanan juga terjadi  terutama disebabkan oleh titik-titik konsumsi. Di sinilah perilaku manusia berperan baik di tempat makan maupun di rumah tangga.

Sebagai bagian dari The International Food Waste and Loss Protocol yang diadopsi 10 tahun lalu, beberapa badan dunia termasuk Organisasi Pangan dan Pertanian PBB serta Program Lingkungan menawarkan panduan dan persyaratan untuk mengukur limbah makanan.

Protokol ini mendorong dunia usaha dan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih tepat sasaran dan efektif untuk mengurangi limbah pangan. Namun, seperti yang sering terjadi, pelaksanaannya masih bervariasi dan dampak yang dihasilkan kurang dari yang diharapkan.

FAO menyebut suatu negara "aman pangan" ketika semua penduduknya memiliki "akses fisik, sosial dan ekonomi" terhadap "makanan yang cukup, aman dan bergizi" sesuai dengan kebutuhan pangan dan preferensi pangan mereka.

Hal ini harusnya menjadikan sampah makanan sebagai masalah global yang mempengaruhi tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, ekonomi dan sosial.

Namun, kesadaran adalah kuncinya karena pesan mengenai implikasi limbah makanan perlu diperkuat untuk mengubah sikap manusia terhadap masalah ini.

Perilaku sosial merupakan inti dari tantangan ini karena banyak penelitian telah mengidentifikasi konsumen sebagai kontributor signifikan terhadap sampah makanan.

Penting juga untuk memahami bahwa sumber daya berharga seperti air, energi dan tenaga kerja akan terbuang sia-sia jika makanan dibuang.

Penelitian juga telah meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan makanan, pengaruh sosial terhadap limbah makanan dan praktik pembelian makanan. Beberapa rekomendasinya adalah mencakup ketentuan untuk redistribusi pangan yang lebih berbasis masyarakat dan inisiatif bank pangan.

Memahami afiliasi budaya kebiasaan makan kita juga penting. Misalnya, jika kita menekankan prinsip bersyukur, berhemat dan beramal lintas agama, kita juga ikut mendorong konsumsi yang lebih tepat guna.

Inilah saatnya kita mengatasi praktik standar seperti menyiapkan makanan lebih banyak dari yang diperlukan untuk pesta atau perayaan yang menyebabkan sisa makanan tidak dapat dikonsumsi.

Di sebagian besar budaya di seluruh dunia, keramahtamahan adalah hal yang terpenting dan menyajikan makanan berlimpah.Terutama saat perayaan sebagai tanda kemurahan hati. Inilah saatnya mengubah persepsi tersebut.

Ada juga yang tidak suka mengonsumsi sisa makanan karena menganggapnya sebagai simbol kemiskinan sehingga menyebabkan pemborosan yang tidak perlu.

Tingginya tingkat pendapatan yang dapat dibelanjakan juga dapat menimbulkan budaya berlebih-lebihan dan boros terutama dalam konsumsi pangan.

Tingkat pendapatan berkorelasi negatif dengan hilangnya pangan karena pendapatan yang tinggi menunjukkan kemampuan suatu negara untuk berinvestasi pada peralatan untuk mengurangi kehilangan pangan.

Faktor sosio-ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah seperti sistem pendidikan, akses masyarakat terhadap listrik dan kurangnya stabilitas politik juga berkorelasi negatif dengan kehilangan pangan.

Faktor-faktor di balik sampah makanan berkembang seiring berjalannya waktu. Bukti empiris dapat membantu pihak berwenang merancang strategi intervensi terbaik dan membuat prioritas yang sesuai.

Mereka dapat mendorong hubungan langsung antara petani dan konsumen untuk mengurangi perantara dan memperpendek rantai pasokan untuk meminimalkan limbah.

Namun, itu hanyalah satu sisi cerita. Ketika peringatan tidak mengubah perilaku kita secara drastis, kita perlu menerapkan tanggung jawab sosial terkait limbah makanan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun