Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

PBB Harus Direformasi

3 Desember 2023   21:06 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:16 88 5
Mari kita kaji evolusi organisasi internasional ini berikut kegagalan, pencapaian dan tantangannya, serta metode dan reformasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya dalam menangani permasalahan kompleks saat ini.

Pada akhir perang paling merusak dalam sejarah, Perang Dunia Kedua yang diyakini menewaskan 60 juta orang, PBB didirikan. Tujuan awalnya adalah untuk mencegah perang di masa depan, memainkan peran sebagai pembawa perdamaian di panggung global, meningkatkan keamanan dan stabilitas internasional, menyelesaikan konflik antar negara berdaulat dan mengembangkan hubungan persahabatan antar negara.

Piagam PBB, yang diadopsi dengan suara bulat di Gedung Opera Peringatan Perang San Francisco pada bulan Juni 1945 membentuk Dewan Keamanan yang awalnya terdiri dari lima anggota tetap dan enam anggota tidak tetap. Sejak saat itu, organisasi ini berkembang menjadi 10 anggota tidak tetap. Hanya lima anggota tetap yang berhak memveto rancangan resolusi.

Struktur organisasi utama PBB masih tetap sama hingga saat ini. PBB saat ini memiliki lima organisasi operasional utama yang aktif: Sekretariat PBB, Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial dan Mahkamah Internasional. Jumlah negara anggota secara bertahap meningkat, terutama setelah periode dekolonisasi pada tahun 1950-an dan 1960-an yang semula berjumlah 51 negara menjadi 193 negara yang semuanya merupakan bagian dari UNGA.

UNGA adalah badan utama PBB yang menangani pembuatan kebijakan, pemungutan suara atas keputusan-keputusan PBB dan merupakan platform penting yang dapat menggalang kerja sama dan dukungan multilateral untuk membahas dan menyepakati langkah-langkah kolektif yang berkaitan dengan penyelesaian masalah-masalah besar. Resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB dianggap tidak mengikat sedangkan resolusi yang disahkan oleh DK PBB bersifat mengikat dan ditegakkan oleh PBB.

Penting untuk dicatat bahwa resolusi-resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB cenderung lebih efektif dalam hal penegakan dan implementasinya dibandingkan dengan resolusi-resolusi yang disahkan oleh DK PBB meskipun faktanya resolusi-resolusi tersebut tidak mengikat secara resmi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa resolusi-resolusi Majelis Umum PBB mempunyai pengaruh politik yang lebih besar dan lebih inklusif karena resolusi-resolusi tersebut didukung oleh mayoritas negara anggota PBB bukan hanya beberapa negara saja. Namun penting untuk diingat bahwa salah satu anggota Dewan Keamanan PBB juga dapat menghalangi DK PBB untuk mengeluarkan resolusi atau menyerukan gencatan senjata.

Ketika jumlah negara anggota bertambah dan aktivisme di seluruh dunia meningkat, misi dan tanggung jawab PBB berkembang dari sekadar menjaga perdamaian dan keamanan internasional menjadi menangani isu-isu terkait pembangunan sosial dan ekonomi, lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Hasilnya, jumlah resolusi yang disahkan oleh DK PBB meningkat pesat dan semakin banyak badan yang dibentuk di dalam organisasi tersebut. Ini termasuk UNESCO, UNICEF, Organisasi Kesehatan Dunia dan Program Pangan Dunia.

Namun, PBB sering dikritik karena beberapa kelemahannya seperti kemampuan hanya satu anggota Dewan Keamanan PBB untuk memveto sebuah resolusi, kurangnya kekuatan penegakan hukum, tata kelola global yang tidak efisien di tengah tantangan zaman modern, ketidakmampuan mencapai tujuan, konsensus atau tindakan dalam menghadapi beberapa konflik paling parah di dunia termasuk perang di Suriah dan Sudan prosesnya yang lambat, bias dan kurangnya modernisasi.

Salah satu kritik terbesar terhadap PBB saat ini adalah ketidakmampuannya menerapkan gencatan senjata segera setelah pemboman terus-menerus terhadap Gaza oleh Israel. Padahal ini telah didukung oleh mayoritas anggota Dewan Keamanan. Namun karena AS (sekutu paling setia Israel) tidak setuju, maka semua ambyar. Hampir 100 anggota PBB juga menyerukan gencatan senjata namun organisasi tersebut tidak mampu mengambil tindakan.

Jelas PBB tidak demokratis jika hanya gara-gara salah satu anggota saja dapat mencegah Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan gencatan senjata maupun mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan. Bahkan Sekretaris Jenderal Antnio Guterres telah mengungkapkan rasa frustrasinya atas ketidakmampuan PBB untuk bertindak.

Reformasi yang dapat meningkatkan efektivitas PBB mencakup penambahan jumlah negara anggota di Dewan Keamanan, penyederhanaan proses pengambilan keputusan dengan meningkatkan pengelolaannya dan meningkatkan keterlibatannya dengan masyarakat sipil, dunia usaha, filantropis dan sektor swasta. Seperti yang dikatakan oleh mantan Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon, "Kemitraan yang luas adalah kunci untuk memecahkan tantangan-tantangan yang luas. Ketika pemerintah, PBB, dunia usaha, filantropi dan masyarakat sipil bekerja sama, kita dapat mencapai hal-hal besar."

Reformasi potensial lainnya termasuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas PBB, mengadopsi strategi kontraterorisme yang lebih efisien dan terkoordinasi, menerapkan manajemen anggaran PBB dan alokasinya yang lebih baik, meningkatkan kemampuan membangun perdamaian dan mengambil langkah-langkah yang lebih proaktif untuk mencegah pecahnya perang di dunia.

Reformasi konstruktif seperti itu akan meningkatkan efektivitas PBB dalam mengatasi permasalahan global yang kompleks. Seperti yang diungkapkan Dag Hammarskjold, Sekretaris Jenderal kedua, pada tahun 1955: "PBB bukan sekadar produk orang-orang yang berbuat baik. Ini sangat nyata. Akan tiba saatnya manusia akan melihat PBB dan apa artinya dengan jelas. Semuanya akan baik-baik saja -- Anda tahu kapan? Ketika orang-orang, hanya manusia saja, berhenti menganggap PBB sebagai abstraksi Picasso yang aneh dan melihatnya sebagai gambar yang mereka buat sendiri."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun