Salah satu isu yang menyita banyak perhatian selama 75 tahun terakhir adalah konflik Israel-Palestina dimana tampak PBB tak berdaya dalam menyelesaikannya.
Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, pidato Netanyahu diwarnai dengan arogansi yang dipenuhi unsur-unsur delusi. Sementara Abbas tampil dalam pidatonya sebagai orang yang putus asa dan tidak berdaya. Masing-masing saling menyalahkan atas kebuntuan yang terjadi saat ini di antara mereka.Tanpa memikirkan kembali kontribusi mereka yang besar terhadap keadaan yang menyedihkan ini.
Hal yang mengejutkan adalah para pembicara. Bukan hanya Abbas dan Netanyahu. Bertindak seolah-olah dunia sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di halaman belakang politik mereka sendiri.
Dalam kasus kedua negara ini, mereka memimpin masyarakat yang sedang mengalami krisis sosio-politik yang parah yang sebagian besar disebabkan tidak hanya oleh sejarah panjang konflik antar masyarakat tetapi juga karena kegagalan kepemimpinan mereka dalam mengendalikan masyarakat selama bertahun-tahun.
Kemudian ada elemen lain yang menjadi ciri khas kedua pemimpin ini yaitu mereka menyangkal fakta yang tidak dapat disangkal bahwa keduanya berada di masa senja karir politik mereka dan memiliki sedikit kredibilitas atau legitimasi di masyarakat mereka sendiri ataupun di luar negeri.
Lebih jauh lagi, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka adalah penyebab utama permasalahan yang dihadapi oleh negara mereka masing-masing sehingga sulit menjadi bagian dari solusi.
Pemimpin Israel tentu sangat menghargai kesempatan ini. Sementara itu, rekannya dari Palestina berdiri di hadapan para pemimpin dunia dengan sedikit keyakinan bahwa pembebasan rakyatnya dari kesulitan karena hidup di bawah pendudukan, pengepungan dan pengasingan akan terjadi melalui forum ini karena bukan rahasia lagi bahwa dalam hal simpati dan empati, rakyat Palestina menerima banyak manfaat dari sebagian besar komunitas global hanya sayangnya masyarakat global tersebut tidak melakukan apa pun alias berubah menjadi masyarakat gombal untuk mengubah situasi di Palestina.
Ada permohonan dari Abbas kepada para anggota PBB untuk mengikuti resolusi PBB dan hukum internasional dimana beliau tahu sebagian besar anggota PBB ingin melihat berakhirnya pendudukan Israel dan bersamaan dengan itu adanya pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang sehari-hari dialami oleh jutaan warga Palestina.
Hampir tidak ada perbedaan pendapat diantara para pemimpin dunia tersebut mengenai buruknya penjajahan dan fakta bahwa pemerintahan Israel secara berturut-turut telah menghancurkan prospek solusi dua negara dengan memperkuat pendudukan melalui pembangunan ilegal dan perluasan permukiman sehingga menelan korban ratusan ribu penduduk.
Namun, masyarakat dunia juga mengetahui bahwa Abbas yang telah melampaui 16 tahun masa jabatannya sebenarnya tidak mendapatkan legitimasi bahkan di antara rakyatnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa kontribusi terbesarnya terhadap perjuangan Palestina hanyalah dengan mengumumkan kepada Majelis Umum bahwa beliau tidak hanya mengundurkan diri namun dalam prosesnya beliau juga akan membubarkan Otoritas Palestina dan menyerahkan kembali tanggung jawab keamanan dan kesejahteraan rakyat Palestina kepada komunitas internasional. Sementara bagi Netanyahu selalu berusaha untuk meminggirkan dan meremehkan masalah ini.
Netanyahu sendiri yang suka berperan sebagai pemimpin dunia yang visioner dan selalu mendiskusikan berbagai masalah mulai dari keamanan global hingga kecerdasan buatan sebenarnya kredibilitasnya sudah mulai merosot di kalangan rakyatnya sendiri dan dunia internasional saat dimana beliau selalu menghadapi protes ke mana pun beliau pergi dan memimpin pemerintahan yang dibenci secara internasional.
Dalam salah satu bagian pidatonya, beliau mengungkapkan apa rencananya menyangkut masalah Palestina. Jalan yang ditempuhnya untuk menyelesaikan konflik adalah dengan menormalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dan sebagai hasilnya, menurut beliau, Palestina akhirnya akan mendapatkan perdamaian sejati.
Menurut Netanyahu, skenario ini akan memungkinkan Israel untuk menentukan syarat-syarat perjanjian perdamaian di masa depan namun tidak akan mampu menciptakan negara Palestina merdeka sepenuhnya karena wilayah yang berdekatan.
Washington dan Riyadh sendiri sepertinya tetap berhati-hati mengenai kemungkinan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel.
Mengingat situasi politik yang genting di Israel di mana protes terhadap pemerintah terus terjadi selama 38 minggu dan mitra sayap kanan dalam pemerintahan koalisi tidak cukup pintar untuk memahami nilai strategis dari normalisasi hubungan dengan Arab Saudi untuk kepentingan Israel.
Jadi yang perlu digarisbawahi dalam pidato Abbas dan Netanyahu dalam Sidang Umum PBB beberapa bulan yang lalu itu adalah bahwa konflik ini murni konflik asimetris dan merupakan faktor utama yang menghalangi tercapainya penyelesaian yang adil karena salah satu pihak memegang sebagian besar atau bahkan seluruh kendali yang ada. Oleh karena itu, komunitas internasional harus memperbaiki ketidakseimbangan ini.
Sebelum para pemimpin dunia siap untuk melakukan hal tersebut, maka para pemimpin dunia harus memulai upaya bersama untuk menyatukan kedua belah pihak agar segera merundingkan perdamaian dengan sungguh-sungguh sebagai alasan utama mengapa PBB didirikan.