Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kolonialisme Hijau

28 September 2023   19:22 Diperbarui: 28 September 2023   20:09 125 8
Akhir-akhir ini ada banyak kritik atas kebijakan iklim Eropa. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai "kolonialisme hijau". Istilah "kolonialisme hijau", juga dikenal sebagai "eko-kolonialisme" atau "kolonialisme karbon" umumnya mengacu pada negara maju yang mengeksploitasi sumber daya alam negara berkembang, mengorbankan lingkungan ekologis dan merampas hak atas pembangunan mandiri dan otonom.  

Bentuk "kolonialisme hijau" ini berbeda dengan kolonialisme tradisional dan merupakan bentuk baru eksploitasi negara maju terhadap negara berkembang di era globalisasi ekonomi.  Sifatnya lebih terselubung, namun sama-sama merusak.

Barat secara konsisten mengkritik negara-negara berkembang yang sering disebut sebagai Global South atau negara-negara selatan sebagai penghasil emisi gas rumah kaca utama dan melihatnya sebagai penghalang utama pengurangan emisi.  

Kenyataannya, penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2015, 92 persen peningkatan emisi karbon yang mengejutkan disebabkan oleh Global North atau negara-negara Utara sedangkan Global South hanya berkontribusi 8 persen.  

Selain itu, meskipun perkiraan berdasarkan emisi karbon kumulatif per kapita mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, beberapa dari 10 negara teratas dengan emisi kumulatif terbesar termasuk didalamnya AS, Kanada, Rusia, dan Jepang hanya menyumbang 10 persen dari total populasi dunia, namun emisi karbon dioksida kumulatif mereka merupakan 39 persen dari total global. Sementara negara-negara berpenduduk banyak di selatan seperti Tiongkok, India, Brasil dan Indonesia yang secara kolektif berjumlah 42 persen dari populasi dunia, emisi karbon dioksida kumulatif mereka hanya mencapai 23 persen dari total global.

Memang, Eropa telah membuat langkah signifikan dalam pengurangan emisi hijau. Namun faktor penting yang berkontribusi terhadap kemajuan ini adalah pindahnya industri tradisional dari Eropa ke negara berkembang. Dalam perkembangan kapitalis tahap akhir, Eropa telah melihat banyak industri pindah dalam skala besar ke negara-negara berkembang untuk mengejar biaya yang lebih rendah dan pengembalian yang lebih tinggi.  

Industri dengan tingkat polusi dan emisi tinggi dibatasi karena kebijakan Eropa. Inilah yang mendorong banyak industri Eropah pindah ke negara berkembang.  Namun, saat Eropa mengimpor produk-produk berkarbon tinggi dari negara-negara berkembang ini, mereka justru mengenakan pajak pembatasan karbon sebagai denda atas emisi yang berlebihan.  

Intinya, Eropa diuntungkan dari produksi produk karbon tinggi di negara berkembang tanpa mau memikul tanggung jawab. Sementara negara berkembang tidak hanya menanggung dampak emisi tetapi juga menghadapi kritik bahkan hukuman dari negara maju.

 Pada Mei 2022, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengunjungi Afrika untuk mencari sumber gas alam baru. Aljazair dan Nigeria menyetujui pembangunan pipa gas melintasi Gurun Sahara yang akan memasok gas ke Eropa.  

Uni Eropa (UE) menunjukkan minatnya yang sangat besar pada proyek ini sebagai upaya untuk mendiversifikasi sumber energi blok tersebut. Namun, proyek tersebut menemui kendala dalam pengerjaannya. Selain masalah keamanan di Afrika, alasan signifikan lainnya terletak pada sikap Eropa terhadap Afrika.  

Mohamed Adow, direktur Power Shift Africa, sebuah think tank yang berbasis di Nairobi mengatakan pada tahun 2022 bahwa Eropa mencoba menjadikan Afrika sebagai pom bensin. "Kita tidak bisa membiarkan Afrika yang telah ketinggalan industrialisasi berbasis bahan bakar fosil sekarang menjadi korban dari kepentingan kolonialis egois yang picik terutama dari Eropa," katanya.

 Proses transisi energi di Eropa sudah lama berlangsung. Namun, di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim global dan semakin mendesaknya kebutuhan yang dibawa oleh konflik Rusia-Ukraina, transisi ini ingin dipercepat secara signifikan.  

Alasan mengapa Eropa menghargai industri hijau terutama karena Eropa telah memimpin lebih awal di bidang ini dengan keunggulan teknologi dan pengalaman. Saat ini Eropa yang tertinggal dalam ekonomi digital ingin fokus pada industri hijau yang merupakan elemen inti dari daya saingnya di masa depan.  

Pada saat yang sama, unggul di bidang ini berarti kemungkinan mendominasi perumusan aturan yang merupakan kekuatan tidak berwujud yang selalu dikejar oleh Eropa, yang tidak memiliki kekuatan wujudnya. Makanya Eropa selalu berambisi dalam industri hijau.

Inti dari arogansi Eropa terletak pada West centrisme alias barat adalah segala-galanya. Padahal dunia tidak lagi berada di era ketika Eropa merupakan kekuatan besar regional dan isu perubahan iklim menuntut semua negara untuk bekerja sama.  

Jika Eropa masih terus berbasa-basi dengan isu kesetaraannya sementara masih berpegang pada mentalitas kolonialisme yang sudah ketinggalan zaman, kerja sama tidak akan mungkin tercapai dan harapan hanya tinggal angan-angan belaka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun