Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Sebaiknya Uni Eropa Belajar dari Sejarah Jepang

14 September 2023   20:03 Diperbarui: 14 September 2023   20:12 160 3
Presiden AS Joe Biden semakin akrab dengan Inggris, Lituania, dan Finlandia sebagai langkah AS untuk mencoba mengikat negara-negara Eropa ke gerbong geopolitiknya.  

Apalagi ketiga negara tersebut adalah negara-negara yang dalam beberapa tahun terakhir berusaha mendekati arah strategis AS. Misalnya, Inggris yang bertekad menyuntikkan unsur-unsur politis, berorientasi keamanan, dan ideologis ke dalam hubungannya dengan Tiongkok. Lituania bersikeras pada logikanya mempromosikan sentimen anti-Rusia. Finlandia pula melepaskan netralitasnya untuk bergabung dengan NATO setelah konflik Rusia-Ukraina dan bergegas ke garis depan pertahanan militer Rusia.

Selama ini, Uni Eropa (UE) dan beberapa negara Eropa telah menunjukkan kecenderungan untuk memihak kebijakan AS. Menjadi lebih tergantung pada AS di bidang ekonomi, militer, dan politik. Menjadi sekutu AS terkait politik blok bahkan menjadi pelopor dalam menghadapi rival strategis bloknya di tingkat regional.  

 Misalnya, Uni Eropa pertama kali mengusulkan konsep "de-risking" dan merilis strategi keamanan ekonomi pertamanya dengan mengintensifkan narasi yang dipolitisasi dan disekuritisasi di bidang ekonomi dan ilmiah.  

Belanda dan Jepang berpartisipasi dalam koalisi pimpinan AS untuk menghalangi Tiongkok mengakses teknologi manufaktur semikonduktor canggih. Uni Eropa juga telah memberlakukan 11 sanksi terhadap Rusia dan memberi bantuan militer lebih dari $13 miliar kepada Ukraina.

Dengan demikian, tampaknya Uni Eropa, secara sadar atau tidak, telah menjadi kaki tangan hegemoni AS dan secara serius merugikan kepentingannya sendiri dalam berbagai aspek.  

Secara ekonomi, Uni Eropa adalah salah satu wilayah yang paling terpukul oleh krisis Ukraina dan konsekuensinya harus menghadapi masalah inflasi dan energi yang terus-menerus sehingga banyak orang Eropa terpaksa berjuang menghadapi tantangan yang tak terlihat dari meningkatnya biaya hidup.

 Menurut data terbaru, zona euro dan Uni Eropa sama-sama mengalami kontraksi kuartal-ke-kuartal 0,1 persen pada kuartal keempat 2022. Pertumbuhan kuartal-ke-kuartal pada kuartal pertama 2023 juga masing-masing hanya 0,1 persen dan 0,2 persen. Jerman bahkan pernah mengalami resesi triwulanan.  Pada saat yang sama, daya saing industri Uni Eropa sendiri, khususnya di sektor manufaktur, sedang menghadapi krisis keberlanjutan yang parah. Banyak industri, terutama yang padat energi, menghadapi penutupan permanen.  Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS semakin menggerogoti kesempatan kerja dan investasi industri di Eropa.

 Baru-baru ini, Institut Riset Ekonomi Jerman merilis laporan penelitian yang menyatakan bahwa arus keluar bersih investasi asing langsung (FDI) dari Jerman pada tahun 2022 mencapai rekor tertinggi 125 miliar euro, tertinggi yang pernah ada. Pada saat yang sama, blokade Uni Eropa dari energi Rusia dan ketergantungan yang meningkat pada keamanan AS karena krisis Ukraina  menyebabkan peningkatan pembelian gas alam cair dan peralatan militer AS yang terus-menerus oleh Uni Eropa sehingga menimbulkan tantangan yang lebih besar dan lebih signifikan terhadap struktur perdagangan dan situasi fiskalnya.

 Dalam konteks ini, kekuatan ekonomi internasional Uni Eropa sendiri kemungkinan akan semakin memburuk.

Pada tahun 2008, total PDB Uni Eropa melampaui AS, sementara total PDB AS lebih tinggi daripada PDB Uni Eropa pada tahun 2022. Kerugian Uni Eropa dalam ekonomi digital, semikonduktor, dan biaya energi semakin mengikis daya saingnya.  Sementara itu, melemahnya ekonomi Uni Eropa juga melemahkan pengaruh mata uang bersama mereka secara internasional.  

Tingkat penggunaan euro dalam sistem pembayaran internasional The Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) telah menurun dalam beberapa bulan terakhir. Mencapai level terendah dalam tiga tahun pada bulan April tahun ini dengan selisih 11 poin dibandingkan dengan dolar AS.  

Pada tahun 2012, 45 persen transaksi diselesaikan dalam euro, sedangkan dolar AS menyumbang kurang dari 30 persen. Mengingat Uni Eropa telah dilanda krisis berturut-turut seperti krisis utang zona euro, Brexit dan pandemi COVID-19, sulit untuk mengharapkan momentum positif yang kuat untuk mendukung tren perkembangan euro ke depan.

 Padahal Jepang telah mengalami 30 Tahun yang Hilang saat berperan sebagai bawahan penuh dari sistem AS yang dominan yang akhirnya menjadi bumerang secara ekonomi.

Apabila Uni Eropa masih mengikuti permainan geopolitik dan kekuatan besar dengan mengorbankan kepentingan ekonominya sendiri maka itu artinya Uni Eropa kembali mengulang sejarah yang pernah menimpa Jepang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun