Kandidat potensial termasuk Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen dan Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace Frederiksen tampaknya belum memenuhi syarat beberapa sekutu Eropa. Sepertinya para pejabat NATO belum siap diperintah oleh seorang wanita. Padahal negara-negara NATO di sayap timur aliansi menginginkan seseorang dari wilayah mereka untuk mengambil kendali dalam upaya untuk menggarisbawahi sikap yang lebih keras terhadap Rusia.
Sejumlah sekutu NATO dan terutama Prancis bersikeras bahwa sekjen harus berasal dari negara Uni Eropa. Sementara Inggris sudah bukan lagi negara Uni Eropa. Padahal yang sebenarnya adalah karena Wallace tidak mendapatkan dukungan Amerika Serikat. Itu saja sebenarnya. Biden tidak  mendukung Inggris karena Biden sudah punya kandidat yang akan diusung yaitu Presiden Komisi Eropa Ursula von Der Leyen untuk memimpin NATO.  Namun sepertinya Biden cukup berhati-hati untuk  mengajukan calon ini mengingat tindakan buruknya baru-baru ini terhadap kementerian pertahanan Jerman. Hingga Olaf Scholz, kanselir Jerman dan mantan saingan politik von der Leyen sepertinya ingin melihatnya keluar dari pencalonan. Dari sini jelas bahwa sebenarnya NATO tidak benar-benar bersatu.
 NATO adalah aliansi militer dimana peran Sekretaris Jenderal NATO lebih bersifat politis. Tidak ada proses formal untuk memilih sekretaris jenderal.  Anggota NATO secara tradisional harus mencapai konsensus dulu untuk memilih siapa yang harus bertugas selanjutnya.
 Sekretaris jenderal yang harusnya menjaga netralitas antara Amerika Serikat dan Eropa dalam bentuk, tetapi pada kenyataannya malah dikendalikan secara efektif oleh AS. Artinya setiap keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan keputusan Washington dalam keadaan apa pun. Amerika Serikat sebenarnya adalah master dari sekjen NATO. Tidak ada yang bisa menjadi sekjen NATO kecuali Amerika Serikat menerimanya.
 Di mata AS, Stoltenberg adalah agen yang mumpuni. Inilah alasan mengapa Stoltenberg menjadi pilihan terakhir sekaligus pilihan yang paling membebaskan rasa khawatir Amerika Serikat. Stoltenberg dengan tegas menerapkan sikap yang dipegang AS dalam konflik Rusia-Ukraina. Beliau juga melakukan segala upaya untuk mengoordinasikan ke 31 negara anggota NATO dan bahkan mengoordinasikan negara-negara di luar NATO seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia untuk memberikan bantuan militer dan keuangan ke Ukraina.
 Tak hanya soal Rusia-Ukraina, sikap Stoltenberg terhadap Tiongkok juga membuat Washington senang. Dimana oleh Stoltenberg Tiongkok diidentifikasi untuk pertama kalinya sebagai "tantangan sistemik terhadap keamanan Euro-Atlantik" dalam konsep strategis NATO. Ini bertepatan dengan definisi AS tentang China sebagai "bahaya terbesar bagi keamanan Amerika." Bahkan Stoltenberg mengkritik Tiongkok karena menangani hal-hal yang berkaitan dengan pulau Taiwan, Hong Kong, Laut China Selatan, pengawasan massal, dan internet. Beliau juga dengan berani menuduh Tiongkok berinvestasi dalam rudal nuklir jarak jauh dan berpartisipasi dalam patroli bersama pasukan Rusia.
Alasan lain mengapa AS akhirnya memilih Stoltenberg adalah karena musim pemilu AS semakin dekat dan AS telah berinvestasi terlalu banyak di medan perang Ukraina selama lebih dari satu tahun yang tidak diragukan lagi telah mengalihkan sumber daya yang semula dimaksudkan untuk digunakan dalam persaingannya dengan Tiongkok. Â Makanya AS sangat membutuhkan NATO untuk dikendalikan.
Setiap negara harus memprioritaskan keamanan nasionalnya sendiri, tetapi bagi AS menggunakan alasan keamanan untuk mengikat negara lain lalu  mempermainkan dan pada akhirnya membuat negara tersebut harus membayar atas hegemoni AS. Itulah sebabnya mengapa beberapa negara NATO seperti Hongaria, Prancis, dan Turki, tidak mau tunduk pada setiap keputusan yang menyebabkan kurangnya konsensus di dalam NATO terkait dengan masalah-masalah utama termasuk pemilihan sekretaris jenderal dan masalah kebijakan utama yang melibatkan Tiongkok dan Rusia.