8 April 2015 14:01Diperbarui: 17 Juni 2015 08:227154
Berikut ini pengalaman saya dengan Sekolah Dasar Negeri di Jepang.
Sekolah ditentukan oleh Kantor kecamatan setempat di mana kita bermukim. Sekolah akan dicarikan yang terdekat dari tempat tinggal kita. Waktu itu kebetulan dekat apartemen kami ada 2 sekolah dasar, tapi salah satu sekolah harus menyeberangi rel kereta api, sehingga pilihan jatuh pada sekolah yang satunya lagi. Kalau di Indonesia orang tua yang memilih sekolah, tidak perduli jaraknya jauh atau dekat dari rumah.
Sekolah harus dipilihkan yang dekat dari rumah karena anak-anak ke sekolah harus berjalan kaki. Biasanya anak-anak sekolah yang tinggal dalam satu apartemen atau yang bertetangga akan berjalan bersama dalam rombongan dan dipimpin oleh anak yang kelasnya paling besar. Tidak ada orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah. Kalau di Indonesia setiap pagi saya bersama dengan orang tua yang lain harus bermacet-macet dengan padatnya lalu lintas mengantar anak sekolah karena kebetulan sekolah pilihan kami tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Ada kelas khusus untuk anak-anak cacat / tidak normal dalam sekolah dan sekali dalam seminggu anak cacat ini ikut bergabung dalam kelas anak-anak yang normal sesuai tingkatan kelasnya, dengan didampingi guru pendamping. Anak-anak normal harus membantu anak cacat ini selama belajar di dalam kelas mereka. Mengajari anak-anak berempati sejak dini. Di Indonesia anak cacat harus sekolah di sekolah luar biasa dan terpisah dengan anak normal.
Tidak ada kantin dalam sekolah dan anak-anak tidak perlu membawa uang jajan. Saat makan siang anak-anak makan bersama yang disebut “Kyoushoku”. Makanan sebelum disajikan akan di tes oleh pihak sekolah layak atau tidaknya. Saat makan siang tiba anak-anak yang bertugas (mereka bergiliran setiap minggu) dengan pakaian khusus dilengkapi topi dan masker menyediakan makanan bagi teman-temannya secara merata. Pakaian dan topi khusus ini setelah dipakai selama 1 minggu harus dibawa pulang dan dicuci sebelum dikembalikan untuk dipakai murid lainnya. Makannya harus bersamaan dan dipimpin oleh 1 orang anak. Gurupun makan makanan yang sama dengan muridnya, tidak ada perbedaan. Selesai makan, makanan dibersihkan sendiri oleh anak-anak dan sampah dibuang ke tempatnya, kelas harus rapi kembali dan siap untuk belajar. Kalau di Indonesia anak-anak harus dibekali uang jajan atau membawa bekal sendiri ke sekolah karena sekolah tidak menyiapkan makanan.
Menu makan siang selalu berbeda setiap hari dan sudah ditentukan selama 1 bulan. Kami menerima daftar menu selama sebulan dari pihak sekolah karena kami muslim, sehingga jika ada menu makanan yang mengandung babi maka anak-anak akan membawa bekal dari rumah dan tetap makan bersama teman-temannya.Di menu makanan pun tertulis nilai gizi dan kalori yang dikandungnya, terdiri dari karbohidrat (nasi/roti/ubi/kentang), lauk-pauk, sup, makanan penutup (puding/buah) dan susu. Kalau di Indonesia kita susah mengontrol kandungan gizi dan kalori dari makanan yang di beli anak-anak karena kita tidak tahu makanan apa yang dibelinya.
Buku paket dibagikan secara gratis bahkan diberi buku tulis dan alat tulis dari sekolah. Jika buku tulis atau alat tulisnya sudah habis terpakai baru beli sendiri. Kalau di Indonesia berdasarkan pengalaman saya buku paket harus dibeli termasuk buku dan aat tulis menulisnya.
Pelajarannya tidak banyak hanya matematika, science (IPA), ilmu tentang masyarakat (semacam IPS), Bahasa Jepang, Seni, Musik, Keterampilan dan Olahraga. Tidak ada pelajaran agama, anak-anak hanya diajari etika, disiplin dan sopan santun. Kalau di Indonesia mata pelajarannya banyak sekali untuk ukuran anak SD (para orang tua yang punya anak SD pasti tahu).
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.