**Money Politik dalam Perspektif Hukum Agama** Â
Dalam ajaran agama, terutama Islam yang mayoritas dianut di Indonesia, praktik *money politik* dikategorikan sebagai bentuk *risywah* atau suap. Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarang praktik suap dalam segala bentuknya, baik pemberi maupun penerimanya. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: Â
*"Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap."* (HR. Abu Daud). Â
Suap dianggap sebagai tindakan yang merusak keadilan dan nilai moral masyarakat. Dalam konteks *money politik*, hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan kepemimpinan yang tidak berdasarkan kompetensi, melainkan transaksi. Akibatnya, pemimpin yang terpilih cenderung lebih fokus pada pengembalian modal atau memenuhi janji kepada para penyokong dana, bukan pada pengabdian kepada rakyat. Â
Agama menekankan bahwa memilih pemimpin adalah amanah. Pemilih diharapkan menggunakan hak suaranya secara jujur dan bertanggung jawab berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi kandidat, bukan atas dasar pemberian materi. Dengan menerima *money politik*, pemilih tidak hanya melanggar nilai agama, tetapi juga ikut bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin terjadi di masa depan akibat kepemimpinan yang salah.
**Kepentingan Pemimpin dan Alasan Money Politik** Â
Di sisi lain, dari sudut pandang pragmatisme politik, banyak pemimpin yang merasa terjebak dalam siklus *money politik* karena berbagai alasan. Salah satu alasan utamanya adalah sistem politik yang mahal. Untuk maju dalam Pilkada, seorang calon harus mengeluarkan biaya besar, mulai dari kampanye, tim sukses, hingga logistik. Dalam sistem ini, *money politik* sering dianggap sebagai "cara cepat" untuk mendapatkan dukungan. Â
Selain itu, budaya politik masyarakat di beberapa daerah turut berperan. Dalam kondisi tertentu, pemberian uang atau materi dianggap sebagai bagian dari tradisi "serangan fajar" yang normal dan bahkan diharapkan. Pemilih yang sudah terbiasa dengan praktik ini sulit untuk menolak, apalagi jika kondisi ekonomi mereka lemah. Â
Dilema muncul ketika calon pemimpin yang sebenarnya memiliki niat baik dan visi jangka panjang merasa tidak punya pilihan selain terlibat dalam *money politik* demi bersaing dengan kandidat lain yang juga melakukan hal serupa. Namun, hal ini tetap tidak dapat dijadikan pembenaran, karena keberadaan sistem yang korup harusnya dilawan, bukan dilanggengkan.
**Dampak dan Solusi** Â
Praktik *money politik* merusak tatanan demokrasi dan melanggengkan kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab. Pemimpin yang terpilih melalui praktik ini sering kali lebih memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok pendukungnya dibandingkan rakyat. Akibatnya, pelayanan publik, pembangunan, dan keadilan sosial menjadi korban. Â
Solusi untuk mengatasi masalah ini tidak hanya terletak pada penegakan hukum, tetapi juga pada pendidikan politik masyarakat. Kesadaran masyarakat harus dibangun agar mereka memahami pentingnya memilih berdasarkan kualitas dan integritas kandidat, bukan karena iming-iming materi. Selain itu, peran lembaga agama menjadi krusial dalam menyampaikan nilai-nilai moral yang menentang *money politik* secara tegas. Â
Pada akhirnya, Pilkada 2024 menjadi ujian besar bagi bangsa Indonesia. Apakah hukum agama dan moralitas akan lebih diutamakan, atau justru kepentingan pragmatis politik yang kembali mendominasi? Pilihan ada di tangan setiap individu, baik calon pemimpin maupun rakyat yang memilih. Dengan berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan keadilan, diharapkan Indonesia dapat melahirkan pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas.