Aya merenung di bawah pohon. Memikirkan bagaimana keadaan Ayahnya. Apakah lelaki itu makan dengan baik? Apakah saat ini Ayahnya sedang menangis mencarinya?
Aya memeluk lututnya. Dia sangat kelelahan setelah mencoba mencari sungai itu, tapi tak menemukan hasil sama sekali. Syukurnya, Aya tak tersesat dan bisa pulang ke desa ini kembali sebelum malam datang. Aya tak punya ide sama sekali tentang bagaimana cara untuk pulang selain ke sungai itu sebab sungai itu adalah asal mula dia berada di tempat asing ini.
"Ya Allah, aku mau pulang. Aku kelaparan dan kedinginan." Aya ingin menangis, tapi tangisannya tertahan karena mendengar suara besi yang saling beradu. Aya bangkit dari duduk. Berjalan mengikuti asal suara untuk memenuhi hasrat ingin tahunya.
Suara itu menuntunnya ke sebuah tanah lapang. Di sana ada beberapa pemuda berpakaian serba hitam yang tengah berlatih pedang. Di antaranya ada dua orang yang nampaknya sedang berduel sungguhan. Cara mereka saling menyerang benar-benar terlihat mengerikan di mata Aya.
"Eh?" Aya terkejut begitu seseorang tiba-tiba menarik tangannya dari belakang. Orang itu membawa Aya bersembunyi di balik pohon.
"Kenapa kau di sini?"
"Me-memangnya kenapa?" Aya tiba-tiba merasa gugup. Lelaki di hadapannya benar-benar bersinar di matanya. Kulit putih, hidung mancung, bibir seksi. Dia sangat tampan. Tipe Aya sekali. Aya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Salah tingkah.
Lelaki itu nampak berpikir sebentar lalu kemudian menggeleng.
"Kau harus tahu kalau terkadang dunia itu terasa kejam bagi orang tertentu. Pulang lah sebelum salah seorang dari mereka menyadari keberadaanmu."
"Maksudnya?"
"Ayo kuantar." Lelaki itu menarik Aya menjauh.
"Eh? Tapi aku tak punya rumah."
Lelaki itu berhenti sejenak dan menoleh ke arah Aya.
"Mau ke rumahku saja?"
"Tidak usah. Lagi pula kita bahkan belum saling kenal."
"Kalau begitu kita tinggal kenalan saja, 'kan?" Lelaki itu mengulurkan tangan kanan pada Aya.
"Winter."
Aya menyambut uluran tangan itu lalu menjawab, "Freya. Tapi biasanya dipanggil Aya."
"Baiklah Aya. Ayo pulang ke rumahku."
"Tapi--"
"Tak apa-apa. Aku akan mengenalkanmu pada adikku. Dia pasti senang melihatmu."
Aya tak menolak lagi, terlebih Winter juga kelihatannya adalah lelaki yang baik. Barangkali Winter adalah perantaranya Allah dalam memberikan rezeki berupa makanan untuknya. Aya mengernyit begitu menyadari mereka telah berjalan melewati rumah Albiru. Dengan refleks, Aya bertanya, "Kamu kenal penghuni rumah itu?"
"Tidak. Yang kutahu dia orangnya berbahaya. Kau jangan sampai berurusan dengannya."
Aya mengangguk setuju.
Begitu mereka sampai, Winter membawa Aya ke kamar tamu lalu memberikan Aya pakaian yang lebih layak yang sebelumnya dia minta pada pelayannya.
"Mandi, lah, dan ganti pakaianmu. Yang itu terlihat tidak nyaman."
"Kau baik sekali. Terima kasih, ya." Aya tersenyum cerah. Mengambil pakaian itu lalu bergegas masuk kamar. Ini kali pertamanya akan mandi setelah dua hari berada di tempat asing ini.
Winter balas tersenyum. Hatinya menghangat melihat senyum Aya. Dia berharap, adiknya lekas sembuh dan tumbuh menjadi gadis yang baik, dan juga ... cantik. Seperti Aya.
****
Setelah menjamu Aya dengan sedikit makanan, Winter mengantar gadis itu ke kamar adiknya. Dia ingin memperkenalkan Aya kepada adiknya, tapi sebelum ia sempat melakukan niatnya, Ibunya tiba-tiba memanggilnya lewat salah seorang pelayan.
"Ada apa, Ibu?" tanyanya begitu sampai di rumah kaca milik Ibunya.
"Siapa gadis itu?"
"Hanya seorang teman."
"Lalu kenapa sampai dilayani layaknya seorang kekasih?"
"Maksud Ibu apa?"
Wanita glamor itu meletakkan cangkir teh ke meja dengan kasar lalu menatap anaknya.
"Ibu tidak sudi punya menantu gembel seperti dia. Cepat suruh dia pergi atau Ibu akan marah padamu."
"Kubilang dia hanya teman, Bu."
"Kau pikir Ibu akan percaya?"
Winter tak bisa berbuat banyak. Dijelaskan sampai mulut berbuih pun Ibunya pasti hanya akan percaya pada apa yang ingin dia percayai. Meski merasa tak enak pada Aya, dia memilih mematuhi ucapan Ibunya.
Lelaki itu berjalan lesu ke kamar adiknya. Begitu membuka pintu, dia mendapati Aya sedang mencoba berbicara dengan adiknya yang masih berbaring di kasur.
"Aya."
Aya menoleh ke pintu begitu mendengar Winter memanggil.
"Iya?"
Winter menggaruk tengkuk. Tak tahu harus bilang apa. Dia takut salah bicara dan membuat Aya tersinggung.
"Haruskah kita jalan-jalan di luar?" tanyanya pada akhirnya.
Aya mengangguk. Sebelum pergi, dia kembali mengajak adik Winter bicara.
"Lusi ingat, 'kan pesan Kakak? Pegang yang sakit lalu?"
"Baca Bismillah tiga kali," jawab Lusi dengan suara yang terdengar lemah.
Aya mengelus rambut anak itu pelan lalu mengangkat jempol.
"Anak pintar. Maa Syaa Allah."
Winter tak mengerti apa yang mereka bicarakan, apalagi saat dua orang itu menyebutkan kata-kata asing. Namun, dia memutuskan untuk menahan rasa penasarannya dan mengajak Aya pergi sebelum Ibunya yang mengusir Aya.
****
"Hm ... Winter, aku ingin jalan-jalan sendiri saja. Kau boleh pulang dan menemani Lusi."
"Kenapa tiba-tiba?"
Aya menggeleng pelan, tapi senyumnya tetap dibiarkan awet.
"Ingin saja. Boleh, ya?"
"Baik, lah. Semoga jalan-jalanmu menyenangkan." Winter mengangguk terpaksa. Sebenarnya dia ingin bertanya tentang apa yang Aya bicarakan dengan Lusi, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
Aya tak mengatakan apa-apa lagi. Senyumnya luntur begitu Winter berbalik pergi. Jauh di dalam hatinya, Aya merasa begitu terluka. Winter tidak tahu kalau tadi, Ibunya masuk ke kamar tamu dan menghampiri Aya. Mengatakan banyak hal dan merendahkan Aya karena mengira Aya adalah kekasih Winter.
Aya tak tahu kalau menjadi miskin dan kekurangan membuatnya sangat rendah. Di mana pun, dan kapan pun. Di dunia ini maupun di dunia asalnya.
Aya menangis tanpa suara. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini adalah Albiru. Ketimbang luntang-lantung tidak jelas, dia memutuskan akan bersedia menjadi pelayan selama sebulan asal lelaki itu mau menunjukkan di mana letak sungai itu berada. Tak mengapa jika dia harus terus dihina oleh lelaki yang bahkan tidak dia kenal itu. Aya hanya harus bersabar selama sebulan, 'kan?
****
Aya mengetuk pintu rumah Albiru. Sebenarnya agak ragu jika Albiru mau membantunya menemukan sungai itu mengingat Albiru sangat kejam padanya. Namun, Aya masih ingin berharap. Dia masih ingin berusaha.
Begitu pintu terbuka dan Albiru muncul dari dalam, Aya mendadak tak tahu harus bicara apa. Apalagi melihat ekspresi wajah Albiru yang seolah memiliki dendam padanya. Aya takut, tapi juga marah pada lelaki itu.
"Aku ...."
"Kau sungguh tak ingat apa-apa?"
"Eh?" Aya mendongak. Tatapan mereka sempat bertemu sampai akhirnya Aya kembali menunduk.
"Kau tuli?"
Aya mengepalkan tangan. Albiru benar-benar tak ada bosannya membuat Aya darah tinggi.
"Telingaku normal, dan aku bukannya tak ingat apa-apa, aku hanya tak tahu apa pun. Aku tersesat di sini, dan aku mau pulang!"
Albiru bersedekap, lalu menyandarkan bahu di pintu.
"Lalu kenapa kau malah di sini?"
"Karena aku butuh bantuanmu." Aya memalingkan wajah. Agak gengsi mengatakannya.
"Kau masih ingat syaratnya, 'kan?"
Aya mengangguk.
"Sebelum itu, apa kamu tahu kenapa aku bisa ada di sungai itu?"
"Tentu." Albiru menjawab setelah beberapa saat terdiam.
"Bisa tolong jelaskan padaku?"
"Tidak sekarang."
"Kalau begitu biarkan aku masuk. Kakiku pegal."
Albiru membuka pintu lebih lebar lalu membiarkan Aya masuk lebih dulu. Albiru menatap punggung Aya dengan pandangan rumit.
"Lupa ingatan, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
_____
Bersambung ....