Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Fall in You 2

21 September 2024   06:18 Diperbarui: 21 September 2024   09:04 70 1
Bab 2: Albiru

"Kau menyesal?"

"Tidak?"

"Matamu tidak bisa berbohong." Perempuan cantik berambut sebahu menatap lelaki berpostur tinggi tegap di sampingnya. Matanya yang berhias celak hitam seolah enggan berpaling dari wajah lelaki yang kini fokus pada gelembung kecil yang muncul dari dalam air.

Karena tak mendapat sahutan, perempuan berambut sebahu itu ikut menghadap ke depan. Turut memandangi gelembung air yang semakin lama semakin berkurang hingga akhirnya berhenti. Airnya perlahan menjadi tenang.

"Misi kita selesai. Ayo pulang dan makan bersama."

Lelaki itu bergeming, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Pulang, lah, lebih dulu," katanya.

Senyum yang semula terulas dari bibir perempuan itu perlahan luntur. Meski telah terbiasa ditolak oleh orang yang sama, rasa sedihnya tak pernah berkurang. Perempuan itu tertunduk lesu.

"Baik lah," ucapnya pada akhirnya. Dia lantas pergi tanpa menoleh lagi. Tak ingin lelaki itu mengetahui sedalam apa rasa kecewanya.

Sementara itu, si lelaki menatap kosong pada sosok yang berada dalam air. Kemudian berganti menatap pedangnya yang berlumuran darah, lalu kembali pada sosok itu. Kejadian ini ... benar-benar membuatnya merasa dejavu. Dadanya terasa nyeri. Saat dia akhirnya memutuskan untuk pergi, sesuatu yang aneh terjadi.

Gelembung dalam air muncul lagi. Sosok perempuan yang awalnya dia pikir telah meninggal kini bangkit kembali. Iris matanya yang sehitam jelaga menampilkan sorot terkejut, apalagi saat sosok itu bertanya dengan suara bergetar.

"Lo ... siapa?"

*****

"Kumohon jangan pergi. Jangan lagi."

"Freyaaa!"

Aya tersentak begitu suara asing itu berteriak memanggil namanya. Gadis itu langsung terduduk dengan napas memburu. Tangannya yang terikat di belakang tubuh membuatnya tak bisa mengusap air yang membasahi wajah dan menghalangi penglihatannya. Begitu mampu melihat sekitar dengan jelas, dia terkejut menyadari dia bukan lagi berada di kolam sekolah. Bertambah terkejut begitu pandangannya tertuju pada iris sehitam jelaga yang menatapnya seolah memiliki dendam menahun padanya.

"Lo ... siapa?"

Sebenarnya ada banyak prasangka buruk dalam kepala Aya. Yang paling kuat adalah Delia, Angel, atau siapa pun telah membuangnya ke sini. Ke sungai di tengah hutan. Lalu lelaki itu ... mungkin adalah seseorang yang diutus untuk membunuhnya. Aya pikir, pedang yang ada di tangan lelaki itu telah menjelaskan segalanya.

Aya menunduk sedih. Sehina itukah dirinya? Hanya karena hidup serba kekurangan, dia diperlakukan sejauh ini. Apakah mereka benar-benar manusia?

Aya bangkit, dan seketika itu juga rasa ngilu menyerang perutnya. Seolah sebuah benda tajam tengah mengoyak ususnya. Aya tak bisa mempertahankan kesadaran begitu rasa sakitnya menjadi berkali-kali lipat. Aya jatuh ke air. Berbaring, dan tenggelam.

Lelaki itu meletakkan pedangnya ke tanah lalu melangkah cepat ke arah Aya. Meraih tubuh ringkih itu sebelum kehilangan nyawanya untuk kedua kali. Tatapan lelaki itu lalu tertuju pada area perut Aya. Perasaannya menjadi sangat aneh saat mendapati perut Aya sama sekali tak terluka meskipun gaunnya masih terkoyak seperti sebelumnya.
"Sihir, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Lelaki itu bisa saja mengabaikan Aya dan membiarkannya mati sesuai tujuan awalnya, tapi entah kenapa, dan entah dorongan dari mana dia memutuskan untuk membawanya pulang. Membiarkan perempuan itu tertidur dalam gendongannya serupa lelaki yang tengah menggendong pengantinnya ke peraduan. Ini adalah kali pertama dia menyentuh seorang perempuan secara sukarela selain untuk misi, dan hal itu membuatnya merasa asing pada diri sendiri.

Namun, lelaki itu memilih mengabaikan  perasaan asing itu. Langkah kakinya sangat cepat, dia berlari nyaris melayang hingga tiba di tempat tujuan dalam waktu yang sangat singkat. Dia, Albiru, seorang pembunuh bayaran berdarah dingin, untuk pertama kalinya membiarkan seorang target selamat dari kematian.

****

Albiru memerhatikan perut Aya untuk ke sekian kalinya. Bukan karena dia mesum atau sejenisnya. Hanya begitu penasaran mengapa perut yang semula terkoyak oleh pedangnya tiba-tiba kembali seperti semula tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Pedangnya bahkan masih berhiaskan noda darah. Apa mungkin ....

Albiru tanpa sadar menggerakkan tangannya ke arah perut Aya yang awalnya terluka, tapi tangannya ditahan oleh Aya yang entah sejak kapan telah tersadar.

"Lo mau lecehin gue?" Aya berujar dengan lemah. Sakit di perutnya telah menghilang, tapi dia merasa tak memiliki energi sama sekali.

"Lo ... gue?"

Kening Aya berkerut. Agak bingung dengan pertanyaan Albiru. Apakah itu memang benar-benar pertanyaan ataukah ini adalah semacam prank mengingat pakaian Albiru yang rada aneh dan norak.

"Ini di mana?" Alih-alih menjawab, Aya justru balik bertanya.

"Rumahku."

"Kenapa gue di sini?"

"Gue?"

Aya mengebuskan napas. Daripada drama lelaki aneh di hadapannya semakin panjang, dia menjawab dengan ogah-ogahan, "Gue itu artinya aku, dan lo itu kamu. Sekarang jawab, kenapa gue di sini?"

Albiru menghempaskan tangan Aya yang semula mencekal tangannya.
"Sebelum itu, kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"

"Karena aku butuh jawaban." Gadis itu beringsut mundur hingga punggungnya mentok pada kepala ranjang. Aya tanpa sadar mengubah cara bicaranya menjadi aku-kamu mengikuti Albiru.

"Apa untungnya jika aku menjawabmu?"

"Baik, lah. Kamu nggak usah jawab. Aku akan pergi."

Aya segera bangkit dan membenahi pakaiannya, dan seketika itu juga tersadar bahwa dirinya tidak lagi mengenakan pakaian sekolah. Perutnya pun sedikit terekspos karena gaunnya yang robek. Aya menatap Albiru dengan penuh curiga, lalu menatap pakaiannya, dan kembali menatap Albiru. Aya mengepalkan tangan, berpikir bahwa Albiru lah yang telah dengan lancang menggantikan pakaiannya.

Aya ingin marah dan setidaknya menampar Albiru, tapi dia tak punya tenaga untuk itu. Aya ingin keluar dari kamar itu, tapi Albiru lekas menahan lengannya.

"Hal buruk apa pun yang kau pikirkan tentangku, itu tidak benar. Tetap lah di sini jika masih ingin hidup."

Aya menarik lengannya dengan paksa.
"Kamu ngancam aku?"

"Hanya sedikit saran." Albiru mengucapkannya dengan nada bicara yang tak bersahabat. Telunjuknya menekan dagu Aya dari bawah, membuat Aya mendongak menatap matanya.

"Terima kasih, tapi akan lebih berbahaya tinggal bersama lelaki yang suka menyentuh perempuan yang bukan mahram secara sembarangan." Aya menepis kasar tangan Albiru lalu keluar dari kamar itu.

Albiru mematung sebentar lalu mengepalkan tangan.
"Dia pikir dia siapa? Semua orang pun tahu kalau ...." Rasanya dia seperti baru saja ditolak. Menyebalkan sekali.

Albiru menendang ranjang hingga ranjang itu roboh, lalu sedetik setelahnya terkejut sendiri. Mengapa dirinya jadi menggila begini hanya karena seorang perempuan?

"Menggila karena dia? Tidak mungkin." Albiru berucap demikian, tapi kakinya tak berhenti menendang apa pun yang dilewatinya dengan murka.

Di sisi lain, Aya berhasil keluar setelah beberapa waktu memerhatikan isi rumah Albiru yang nampak kuno. Betapa terkejutnya Aya begitu menyaksikan orang-orang yang lewat depan rumah Albiru juga memakai pakaian aneh, sama seperti dirinya dan Albiru.

Sebenarnya ini di mana? Mau dibilang prank juga tidak mungkin mengingat tidak ada kamera. Lagi pula, desa ini terlihat seperti ketinggalan teknologi. Tidak ada motor, apalagi mobil. Yang Aya lihat hanya beberapa orang lelaki yang menunggangi kuda dengan pedang di pinggang. Diantaranya membonceng perempuan. Ada pula kereta kuda yang mirip seperti kereta kuda bangsawan dalam drama.

'Delia, Angel, atau siapa pun itu, kalian benar-benar terniat' batin Aya. Sejauh ini, dia masih mengira seseorang membuangnya di tempat antah berantah ini. Padahal tidak seperti itu. Kenyataannya, dia tiba di tempat ini dengan cara yang tak pernah dia duga sebelumnya.

________
Bersambung ....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun