Dear rekan-rekan sarjana, Bagaimana kabar kalian setelah menjadi seorang sarjana? Apakah masih menggelora seperti saat baru diterima menjadi mahasiswa? Semoga saja kalian lebih beruntung dari saya. Saat ini di kota-kota besar sedang mewabah "Surat Terbuka". Endeminya adalah pemilu presiden 2014. BanyakÂ
blogger-blogger yang kemudian beralih tugas menjadi penulis, penerjemah, serta pengamat surat dadakan. Ini trend baru yang belum pernah terjadi di Indonesia. Dulu orang berbalas-balas surat secara pribadi. Tapi kini suratnya justru diumbar ke khalayak. Mungkin bangsa kita sudah berubah. Rekan-rekan sarjana, Disini saya juga mau menulis surat terbuka. Isinya tidak menyangkut pilpresÂ
kok. Tapi ke
-galau-an hati saya. Mungkin rekan-rekan ada yang sudah pernah-sedang-belum merasakannya. Tapi boleh kan ya saya menuliskannya di surat ini. Barangkali ada yang berkenan membalasnya. Rekan-rekan sarjana. Ketika orang sibuk mencari pekerjaan, saya beruntung mendapat beberapa tawaran. Namun saat tawaran untuk menjadi pengajar datang dari beberapa institusi, saya justru menolaknya. Bukan saya sombong danÂ
sok dibutuhkan serta pilih-pilih, bukan, bukan itu alasannya, tapi karena geografisnya yg belum sesuai. Dan entah kenapa sekarang ada sesuatu yg berat di hati ketika acapkali membaca lowongan kerja di internet. Ada sesuatu yang mengganjal. Kejadian ini sama persis dialami ketika S1 dulu. Bedanya dulu itu berlangsung sebelum menerima ijazah dan sebentar. Pasca wisuda, dulu langsung diterima menjadi seorang pengajar di sebuah gerakan populis yang mengirimkan sarjana muda ke pelosok negeri. Sebuh pengabdian yg sangat diidam-idamkan para sarjana muda saat itu. Ah, ternyata waktu sangat cepat berlalu ya. Kini dengan ijazah yg berbeda, aku malah bingung mau kemana.
KEMBALI KE ARTIKEL