Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Budaya 3D di Lapangan Pekerjaan

24 Januari 2014   07:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 75 0
Semakin ketatnya dunia persaingan dalam lapangan pekerjaan, banyak orang yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan diri sendiri. Selain memungut uang dari pelamar, oknum-oknum tertentu pun memanfaatkan posisi dan kedekatannya untuk memasukan kerabat atau sanak saudaranya ke dalam intansi atau perusahaan-perusahaan yang memang di dalam kendalinya. Hal ini tentu membuat sebagian orang risih dengan ulah oknum tersebut, sampai pada akhirnya saya menyebut zaman ini (lapangan pekerjaan) harus memiliki 3D (Dulur, Deket, Duit)*. Tentu pernyataan saya berlandaskan dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pernah suatu ketika saya melamar pekerjaan bersama dua  kawan yang salah satu dari memiliki relasi (baca: saudara) di sebuah intansi yang ketika itu membuka lowongan. Berkas lamaran kami pun diterima oleh petugas. Namun, hanya satu dari kami yang mendapatkan konfirmasi untuk bekerja di sana. Selidik punya selidik, ternyata memang dia memanfaatkan posisi relasinya itu untuk mudah diterima di tempat itu, kemudian kawanku menawarkan jasa agar aku dan kawanku yang tidak masuk itu bisa diterima dengan syarat membayar uang dengan nominal tertentu. Dalam urusan ini, tentu secara pribadi saya menolak tawaran tersebut dan lebih memilih menulisnya, meski hanya sekadar kicauan burung dan angin lalu bagi sekian orang. Tapi pada dasarnya, saya berpandangan bahwa hal yang diawali dengan ketidakbaikan, kedepannya pun akan seperti itu. Saya lebih memikirkan proses ketimbang hasil, segala hal yang mudah didapatkan, sekiranya akan mudah juga untuk dilepaskan (dilalaikan). Dengan kejadian itu, saya sempat berpikir mengapa sekian banyak pegawai yang lalai dalam tugasnya. Semisal, petugas yang datang terlambat ke kantor, laporan kerja lapangan yang fiktif (survei/pendataan), 'catut sana dan catut sini' karena pada dasarnya dia harus mengembalikan uang (modal/sogokan) yang sudah dipakai agar dengan mudah masuk dalam intansi tersebut.
Entahlah, kejadian ini membuat saya semakin sadar kalau persaingan dunia pekerjaan menyempit bukan karena persaingan kualitas, tetapi persaingan relasi dan uang yang dimiiki. Meskipun tidak semua intansi melakukan hal demikian, tapi dari sekian banyak kasus dan pemberitaan yang mengabarkan hal tersebut, membuat paradigma masyarakat (terutama saya) menganggap bahwa pejabat (pemilik kekuasaan) hanyalah sebuah 'Jas/seraagam' yang membungkus ketidakbecusannya mengurusi moral dan etika di dalam dunia pekerjaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun