Dilihat dari sisi yang tidak menggunakan hak pilih, ada berbagai macam alasan. Tidak puas, tidak tahu dan lain-lain sebagainya. Mungkin nanti akan ada banyak masukan tentang alasan-alasan lainnya, monggo-monggo aeee...aku raa poo poo...
Disini saya hanya ingin mengemukakan dua alasan kenapa saya memilih untuk tidak memilih.
1. Memilih untuk tidak menjadi lebih bodoh lagi.
Pasal 20 A, UUD 45 berbunyi. "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan".
Tapi dalam kampanye apa yang kita dapatkan, adakah partai-partai menjelaskan fungsi diatas yang telah mereka laksanakan? Adakah partai-partai menjelaskan apa yang akan mereka laksanakan dalam melakukan fungsi-fungsi itu? Tidak ada, semua berlomba dengan semboyan untuk "nafsu syahwat memerintah", untuk nafsu syahwat menjadi eksekutif. Mulai dari "Indonesia Hebat", "Memberi Bukti Bukan Janji" dan lain-lain sebagainya. Seharusnya partai-partai politik itu lebih mengemukakan apa aspirasi mereka dalam memperbaiki "sistim bernegara dan berpemerintahan" di Indonesia ini melalui fungsi yang mereka miliki.
Terus terang kalau saja seandainya ada partai PPPI (Persatuan Para Perokok Indonesia}, sudah pasti saya akan langsung menjadi pendukungnya. Mengapa? Karena dari namanya saja sudah pasti menjanjikan akan menyalurkan aspirasi para perokok, seperti harga rokok yang lebih murah, cukai rokok yang tidak tinggi, ruangan merokok yang nyaman disetiap gedung. Dan ini tidak perlu dengan cara menjadi eksekutif, cukup hanya dengan mengusahakan aspirasi ini dalam undang-undang dan dijalankan oleh pemerintah. Atau kalaupun ada partai yang bernama PSJI(Partai Syahwat dan Judi Indonesia), mungkin saya juga akan mendukung, karena sangat jelas partai ini mengusung aspirasi agar lokalisasi dan perjudian bisa berdiri dalam aturan perundang-undangan yang pasti dan sah, tanpa harus menjadi eksekutif.
Sebagai akibat dari nafsu untuk memerintah dari partai-partai politik ini dan tidak berjalannya fungsi-fungsi yang dinyatakan dalam UUD 45 itu ada dua hal yang bisa kita lihat dengan nyata. Pertama, gedung anggota dewan yang terhormat "lebih senyap dari pada komplek pemakaman". Tempat yang seharusnya merupakan muara dari segala aspirasi yang mestinya gaduh dari segala macam pro dan kontra serta tarik ulur kepentingan, ternyata hanya menghasilkan kesunyian. Bagaimana mungkin rubrik pembaca lebih ramai dari ruang sidang dan ruang kompasiana ini lebih dinamis dari pada ruang sidang? Kita yang seharusnya menonton kegaduhan mereka dalam sidang-sidangnya karena membahas aspirasi kita, malahan menyaksikan yang sebaliknya. Mereka yang didalam gedung itu justru yang menonton rakyat yang demo dijalanan, tanpa ada usaha untuk menarik aspirasi jalanan itu untuk diapresiasi dalam gedung yang terhormat itu. Sebagai contoh, aksi dan tindakan FPI dengan habieb-habiebnya. Kenapa anggota dewan yang terhormat hanya diam, kenapa tidak mengajak untuk berlaga dipanggung pemilihan ini, sehingga mereka juga bisa tahu diri seberapa kekuatan suara dan aspirasi yang mereka bawakan.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat sudah bukan lagi tempatnya "wakil-wakil dari rakyat", berubah fungsi menjadi ACRP (Asosiasi Calo Proyek Pemerintah). Ini bukan cuma fitnah dan isu, ini adalah kenyataan umum yang ada. Bayangkan bila ditingkat pusat yang teramat mudah untuk di blow-up media massa saja terjadi kasus pemenangan tender untuk migas dan pencetakan Al-Quran, apalagi didaerah yang jauh dari keriuhan media. Jadi sangat besar kemungkinan kalau anda memilih, anda hanya akan memilih calo-calo proyek yang baru belaka.
2. Menolong Kerbau Keluar Dari Kubangannya.
UU No 42 Tahun 2008, Pasal 9, "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden".
"Come On Man", siapa yang menetapkan Undang-Undang ini? Anda atau saya? Siapa yang sekarang berteriak-teriak untuk bisa lepas dari tali yang membelitnya? Ha..ha...ha..., betapa bodohnya kita melilit badan sendiri dengan tali kita sendiri. Menunjukan betapa piciknya kita, ketika menetapkannya menjadi Undang-Undang, hanya untuk kepentingan sesaat, tanpa memperhitungkan kepentingan masa depan. Kenapa dulu anda harus mencantumkan angka 20%? Tidakkah anda tahu bahwa hak untuk dipilih dan memilih itu adalah semua warga negara. Kini seperti kerbau yang terjebak dalam kubangan anda berteriak-teriak supaya anda bisa dapat 20% suara. Tak uuk..ya....