Saat ini saya sedang menempuh pendidikan tinggi tahun ketiga semester enam di sebuah perguruan tinggi negeri. Awal masuk di perguruan tinggi, tentu saja saya sangat senang. Karena bagaimanapun juga, adanya titel negeri merupakan harga mahal yang tidak mudah didapatkannya. Apapun universitasnya, selagi itu bertitel negeri, tentu diperebutkan. Tidak hanya saya yang sangat senang begitu diterima di perguruan tinggi negeri, orang tua saya yang memang berkemauan anaknya mendapatkan jatah di perguruan tinggi negeri pun ikut bersorak. Namun, awal masuk ke dunia perkuliahan rupanya hanyalah segelintir pembuka dari dunia persaingan yang sebenarnya. Persoalan bukan lagi pada perebutan kursi pendidikan yang dibanggakan itu. Tapi bagaimana kemauan keras untuk menghalau tantangan yang ada. Setelah tahun ketiga saya lewati ini, banyak hal yang bisa saya jadikan bekal untuk kesuksesan. Akan tetapi, saya terserang penyakit yang cukup menghambat kemauan keras untuk terus berpacu mencapai gerbang kesuksesan. Belum apa - apa saya sudah terserang rasa bosan, penat, dan lelah. Rasanya sudah mencapai titik jenuh dari terjenuh. Bosan setiap hari duduk di bangku perkuliaham, mendengarkan dosen ceramah, terlebih tugas - menugas yang bertumpuk. Penat dengan tugas - tugas yang entah penting atau tidak, dan pastinya lelah. Saya sering berpikir, ini kah kerja robot? melakukan yang sama dan berulang setiap harinya. Sepertinya memang sudah distel khusus untuk melakukan rutinitas yang sama setiap harinya. Ternyata tidak hanya saya yang berpikir demikian, teman - temanpun merasakan hal yang sama. Lantas saya berpikir, memang penyakit ini didesain khusus sebagai saingan dalam dunia persaingan. Salah satu penghambat terbesar untuk melewati rintangan yang ada. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Ada penyakit tentu ada obat. Begitupun dengan yang terjadi pada saya dan teman - teman. Saat rasa bosan, penat, dan lelah itu datang, saya berusaha memastikan pada diri saya bahwa inilah jalan yang saya pilih, kemudian saya mengilas balik pada saat saya diterima di PTN tempat saya berkuliah sekarang. Alangkah bersyukurnya saya dibanding kebanyakan teman - teman lainnya yang tidak berhasil diterima di PTN,juga teman - teman yang tidak punya kesempatan berkuliah. Jangankan untuk memikirkan kuliah, bayaran sekolahpun susah (waktu itu SMA Negeri masih belum gratis). Dengan obat itulah saya terus bertahan menjalankan rutinitas yang ada. Rutinitas bertemu dosen, mencari referensi sendiri, juga tugas - menugas.
Saya yakin dengan kemauan yang keras, dibarengi dengan niat, dan selalu memiliki obat tersendiri untuk mengatasi gejala penyakit tersebut, saya bisa mencapai titik sukses yang telah saya gambarkan di peta passion saya.
KEMBALI KE ARTIKEL