anak-anak biar miskin asal sombong. Gue nggak peduli orang mau ngomong apa, yang penting gue dan anak-anak di sini nggak kayak gini, menadahkan tangan meminta-minta," Bang Sating beria-ria bercerita. Kami (saya, Kak Ria, Rudi dan Tiwwi menyimak dengan seksama) Bang Sating duduk di kursi plastik, di hadapannya segelas kopi tanpa alas terhidang. Fly didekatnya kerap banyak mengangguk dan mengiyakan apa yang diucapkan oleh Bang Sating.
Minggu sore, kami berenam duduk melingkar di beranda saungelmu. Bang Sating dan Fly, adalah orang yang baru saya kenali beberapa jam sebelumnya. Belum dua jam tepatnya, tapi kami seperti sudah akrab. Kadang, kami terdiam sesaat ketika masing-masing dari kami seperti kehilangan bahan untuk diucapkan. Ada decak kagum dalam hati, ada keirian yang diam-diam menjalari dan juga rasa malu yang mulai menggelayuti.
"Gue yakin, kalau niat kita baik, tujuan kita baik apa pun bentuknya, dari mana pun jalannya Tuhan itu pasti kasih jalan. Jadi, kalau kita mengerjakan sesuatu yang dianggap baik, tapi penyelesaiannya tidak baik, berarti Allah belum menganggap itu baik," kembali Bang Sating berapi-api dengan logat betawinya.
"Gue juga nggak nyangka bisa nyasar di sini. Dulu gue kuliah di Universitas Indonesia (UI) ngambil jurusan Sastra Arab, tapi gue hengkang dan terdampar di sini," Fly sedikit demi sedikit mulai bercerita.
Saungelmu, adalah sebuah rumah atau sanggar belajar untuk anak-anak pemulung di kawasan Jl. Jatipadang gg. Menara depan SMP 218 Pasar Minggu Jakarta Selatan. Saung ini didirikan pada 10 November 2012 atas inisiatif Bang Sating. Menurut Bang Sating, yang sudah didaulat menjadi kepala sekolah di Saungelmu, sanggar belajar anak-anak ini didirikan dengan semangat dan kemauan untuk sedikit berbagi dan bersenang-senang dengan anak-anak pemulung. Supaya anak-anak punya keahlian ketika mereka sudah besar, supaya anak-anak tak selamanya menjadi pemulung.
Fly, saat itu sudah bergabung dengan Bang Sating. Konon, awalnya mereka berdua bingung hendak mulai dari mana pembangunan saung. Tak ada duit sepeserpun dan mereka pun tidak bekerja. Segala sketsa saung dibuat di atas kertas, lengkap dengan anggaran-anggarannya, tapi sehari dua hari, saung tak juga berdiri. Akhirnya, dengan modal nekat dibuatlah saung dengan gotong royong warga. Sebelum saungelmu didirikan, anak-anak belajar di mushola. Mushola yang dibangun atas ide Bang Sating lagi-lagi dengan modal nol rupiah tapi terselesaikan karena niat kebaikan.
"Kita kalau kebanyakan wacana dan rencana, tapi kebanyakan mikirnya itu kagak bakalan jadi. Udah, nggak perlu kebanyakan ngomong, action aja langsung, Tuhan itu selalu kasih jalan kemudahan untuk kebaikan kok. Dan gue percaya itu," sosok Bang Sating yang ngomongnya tegas dan lugas itu selalu membekas di ingatan saya."Si Fly ini, gue kontrak lima tahun! Ya, lima tahun nggak tanggung-tanggung." Fly yang ada di depan Bang Sating tersenyum.
Saya bersyukur hari Minggu lalu bisa berkunjung ke Saungelmu bersama dengan Kak Ria. Kalau diingat-ingat, awal mengenali Saungelmu itu dari Kak Aip. Awalnya, Semestarian ingin berkunjung ke Saungelmu, tapi sampai sekarang belum terlaksana. Kak Ria, yang rumahnya dekat dengan lokasi akhirnya beberapa kali berkungjung ke Saung. Dalam benak saya, nama seorang Fly itu tampilannya urakan, model anak punk. Ya, selama ini itulah sosok dia yang ada di kepala saya.
"Emang Fly nama aslinya siapa, sih, Kak?" sebelum berangkat, saya bertanya dengan kak Ria yang nyamperin saya di kosan.
"Ahmad Rafly Anhar. Fly itu dari Ra(Fly)," ujar Kak Ria
"Hah! bagus amat namanya." saya terkesima mendengar nama aslinya. Dan sosok Fly dalam benak saya benar-benar hilang setelah melihatnya langsung. Fly, penampilannya sederhana, santun dan rapih. Tak ada kesan punk sedikitpun.
Sampai di Saungelmu, saya dan Kak Ria memperhatikan Fly yang sedang mengajar anak-anak. dari mulai bercerita, sampai hitung-hitungan dilakukannya. Lima orang anak ada di