Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang dimiliki setiap orang sejak lahir, tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Sebagai anggota komunitas internasional, Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Komitmen ini tercermin dalam berbagai kebijakan, ratifikasi perjanjian internasional, dan upaya  memasukkan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam konstitusi. Namun, terlepas dari upaya tersebut, realitas perlindungan hak asasi manusia di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, antara lain pelanggaran hak asasi manusia, kesenjangan, dan kurangnya akuntabilitas. Sejak reformasi tahun 1998, hak asasi manusia telah menjadi salah satu isu utama dalam agenda pembangunan demokrasi di Indonesia. Amandemen UUD 1945 selanjutnya telah memperkuat landasan hukum  penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya melalui Pasal 28A hingga  28J yang  mengatur hak-hak dasar warga negara. Selain itu, pemerintah Indonesia telah menaati berbagai perjanjian internasional, antara lain Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), dan Konvensi Hak Anak (CRC). dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Di tingkat nasional, pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan tonggak penting dalam pemantauan dan pemajuan hak asasi manusia. Komnas HAM merupakan badan independen yang melakukan investigasi pelanggaran HAM dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Meskipun terdapat dasar hukum yang kuat, pelanggaran hak asasi manusia masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dilihat dalam berbagai dimensi, antara lain kekerasan terhadap masyarakat adat, kesenjangan gender, dan konflik agraria. Salah satu permasalahan terbesar adalah sengketa pertanahan, yang seringkali melibatkan masyarakat adat dan petani yang kehilangan akses terhadap tanah akibat proyek pembangunan skala besar seperti perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur. Dalam beberapa kasus, penggusuran  paksa terjadi tanpa konsultasi  atau kompensasi yang layak. Misalnya, konflik antara Papua dan Kalimantan seringkali mencerminkan ketidakadilan terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak mereka atas tanah leluhurnya. Sayangnya, pemerintah sering kali berpihak pada perusahaan besar, sehingga menciptakan kesenjangan struktural dan memperburuk pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi juga merupakan isu utama. Meskipun hak ini telah diabadikan dalam konstitusi, banyak kasus menunjukkan adanya upaya untuk membatasi hak ini. Aktivis, jurnalis, dan selebriti sering kali diancam, diintimidasi, dan bahkan dikriminalisasi karena mengkritik pemerintah. Misalnya, ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap digunakan untuk membungkam kritik di media sosial. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa ruang lingkup kebebasan berekspresi di Indonesia masih terbatas. Selain itu, pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti peristiwa 1965-1966, tragedi Talansari, dan kerusuhan Mei 1998, masih menjadi persoalan besar. Meskipun  mekanisme seperti pengadilan hak asasi manusia ad hoc telah dibentuk, para korban seringkali tidak mendapatkan keadilan. Hambatan hukum, politik dan sosial seringkali mempersulit korban dan keluarganya untuk menerima pengakuan dan reparasi. Pembelaan hak asasi manusia di Indonesia menghadapi banyak kendala sistemik. Kurangnya akuntabilitas seringkali menjadi alasan utama mengapa banyak pelanggaran HAM tidak ditindaklanjuti secara serius oleh lembaga penegak hukum dan pemerintah. Kelemahan dalam akuntabilitas ini seringkali disebabkan oleh  kepentingan politik atau ekonomi dari aktor-aktor berkuasa. Selain itu, budaya impunitas berarti bahwa banyak pelanggar hak asasi manusia tidak diadili atau dihukum sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sementara itu, pendidikan hak asasi manusia masih minim. Akibat kurangnya pendidikan hak asasi manusia di sekolah dan ruang publik, banyak masyarakat yang tidak memahami hak-hak dasar mereka.
KEMBALI KE ARTIKEL